Oleh Muhammad Irfan dan Jason Cahyadi, reporter dan penulis staf CNA
Upaya Taiwan mengambil bagian pada penanggulangan tsunami Aceh diwarnai sandungan mulai dari keamanan dan hubungan antarpihak, namun Taiwan tetap mengupayakan bantuan terbaik mulai dari ratusan kilogram perlengkapan medis, kebutuhan pokok, hingga beasiswa.
Baca juga: 20 tahun tsunami Aceh (1): Hubungan Indonesia-Taiwan benahi bencana
Tahun 2004, saat tsunami Aceh terjadi, pemerintah Indonesia belum lama menerjunkan operasi militer di sana sebagai langkah merespons Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Taiwan cermat memahami situasi ini dengan memastikan tim bantuan yang mereka turunkan mendapat jaminan keamanan dari pemerintah Indonesia.
Oleh karena itu, atas sejumlah saran, tim Taiwan direkomendasikan untuk berbasis di Medan, Sumatera Utara, dan hanya dapat masuk lebih dalam ke daerah bencana jika pemerintah Indonesia dapat memberikan jaminan keamanan.
Di tengah situasi sulit ini, sempat ada keputusan tim untuk undur diri karena pemerintah Indonesia tidak kunjung memberikan jaminan keselamatan.
Namun, beberapa orang di antara mereka tetap tinggal untuk menjaga distribusi 1,5 ton persediaan medis yang tiba dan disalurkan lewat kelompok amal Yayasan Tzu Chi di Indonesia, kata sebuah sumber merujuk pada arsip CNA.
Menurut beberapa anggota tim, yayasan asal Taiwan tersebut saat itu menjadi organisasi yang dapat berkoordinasi dengan militer Indonesia untuk mengangkut bantuan ke daerah-daerah yang terdampak bencana di Aceh.
Selain masalah keamanan, status Taiwan di dunia internasional sempat jadi sandungan proses penanggulangan bencana ini.
Pada 5 Januari 2005, Indonesia menolak permintaan Taiwan untuk berpartisipasi dalam rapat koordinasi internasional tentang penanggulangan dampak tsunami Samudera Hindia.
Dalam arsip CNA, seorang pejabat dari kantor perwakilan Taiwan di Jakarta mengatakan hal itu disebabkan karena Republik Tiongkok, nama resmi Taiwan, bukan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sementara rapat itu dibuka untuk negara anggota dua organisasi tersebut.
Menanggapi ini, Menteri Luar Negeri Tan Sun Chen (陳唐山) mengatakan di Taipei bahwa Taiwan akan menyambut jika diberikan kesempatan untuk duduk sebagai pengamat dalam konferensi tersebut.
Tetap ulurkan tangan
Kendati hubungan formal yang mengendur, Taiwan terus memberikan bantuan kepada Indonesia.
Salah satu di antaranya adalah tim medis dari RS Min-Sheng Taoyuan yang berangkat dengan membawa ratusan kilo perlengkapan medis mulai dari obat, kantong mayat, serta kebutuhan pokok seperti makanan bergizi dan selimut.
Berturut-turut tim dari Rumah Sakit Taichung; Pemerintah Kota Taipei melalui tim dari rumah sakit, palang merah, dan LSM; hingga Ditjen Perlindungan Lingkungan Taiwan juga turun ke Aceh.
Pada 14 Januari, Perwakilan Taiwan untuk Indonesia, David Lin (林永樂), menyerahkan kiriman barang bantuan dari Taiwan, termasuk sembilan ton suplemen medis, kepada Palang Merah Indonesia untuk mendukung upaya bantuan kelompok tersebut di daerah Medan yang terdampak gempa dan tsunami.
Wakil Gubernur Sumatra Utara, Rudolf Pardede, menyaksikan upacara penyerahan di sebuah pusat bantuan, menurut pejabat Kantor Perwakilan Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) di Jakarta.
Untuk pemulihan pascatsunami, pada 18 Januari, Sekolah IMBA National Cheng Kung University (NCKU) juga memberikan dua beasiswa penuh kepada dua mahasiswa asal Indonesia – Ely Susanto dan Badri.
Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei saat itu, Ferry Yahya juga menulis surat untuk menyampaikan apresiasi atas nama pemerintah Indonesia kepada pemerintah dan rakyat Taiwan yang telah mengumpulkan lebih dari NT$400 juta untuk membantu Indonesia, menurut juru bicara pemerintah.
Saat itu, Ferry juga mengatakan bahwa pemerintah Indonesia membantu LSM Taiwan yang ditunjuk untuk menggunakan uang donasi tersebut dan melaksanakan rencana terkait di Indonesia, kata juru bicara tersebut.
Selesai/