Taipei, 10 Nov. (CNA) Peneliti Environmental Rights Foundation, Lin Jing-hau (林靖豪), mendesak perusahaan Taiwan yang berinvestasi di Indonesia, Walsin Lihwa, melakukan tindakan segera menangani pencemaran lingkungan di Sulawesi, merespons laporan dari sejumlah organisasi dan serikat di tempat perusahaan nikel tersebut beroperasi.
Dalam forum dua hari bertajuk Dampak Bisnis Taiwan di Indonesia dan Keberlanjutan Korporasi dalam Kerangka Uji Hukum yang digelar di Taipei, Sabtu (9/11) dan Minggu, ditemukan sejumlah dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel yang salah satunya dilakukan perusahaan Taiwan yang berinvestasi di Indonesia, Walsin Lihwa Corporation melalui anak perusahaannya Walsin Nickel Industrial Indonesia (WNII) di Sulawesi.
Aktivitas ini memicu polusi udara dan air imbas pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan dalam proses industri.
“Segera ambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan polusi udara dan air dan mencegah bahaya bagi anak-anak, perempuan, dan masyarakat sekitar,” kata Lin.
Pihaknya pun mendesak agar ada jadwal dan pendekatan khusus untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan beralih ke energi terbarukan dari proses hulu.
Selain itu, Lin menyebut harus ada publikasi laporan investigasi tentang kecelakaan fatal yang terjadi di WNII terkait kecelakaan kerja yang menewaskan satu pekerja pada tanggal 28 September lalu.
“Adakan diskusi yang setara dengan pekerja, serikat pekerja, dan pemangku kepentingan tentang reformasi menyeluruh terhadap sistem keselamatan dan kesehatan kerja serta kondisi kerja,” kata Lin.
Lin menambahkan harus ada kebijakan uji tuntas dan tetapkan serta terapkan tindakan untuk mencegah, menghentikan, dan memperbaiki dampak buruk terhadap hak asasi manusia dan lingkungan imbas dari aktivitas industri.
Selain itu, perlu ada rencana aksi khusus untuk memperluas keterlibatan pemangku kepentingan dan membangun mekanisme pengaduan yang efektif bagi individu dan kelompok yang terkena dampak.
Sebuah Ironi
Koordinator SaveSagea Coalition Adlunfiqri Paramadhani Sigoro mengatakan abainya perusahaan pada dampak kerusakan lingkungan dari aktivitas tambang adalah sebuah ironi. Menurut Fiqri saat negara maju bicara soal transisi energi ke energi bersih, justru proses produksinya di Indonesia menggunakan energi kotor yang berdampak pada masyarakat lokal.
Ini disampaikan Fiqri menyinggung nikel yang dipercaya bagus sebagai bahan baku daya bagi kendaraan listrik yang ramah lingkungan.
“Rendah karbon di hilir, tetapi tinggi karbon di hulu. Kami harus hidup dengan kerusakan yang ada,” kata Fiqri yang merupakan orang lokal Sagea, sebuah desa di Halmahera Tengah yang masuk kawasan industri Sulawesi.
Senada, Riski Saputra peneliti dari Action for Ecology and People’s Emancipation menyebut banyak warga yang tidak mendapatkan sosialisasi saat lahannya hendak dijadikan tambang. Hasilnya banyak dari mereka kehilangan ruang yang selama ini menjadi sumber penghidupan utama mereka, seperti akses pada dua sungai yang sekarang tercemar.
Patuhi aturan
Direktur Eksekutif Regional dari WALHI Sulawesi Tengah Sunardi mengatakan di kawasan industri Sulawesi Tengah banyak sekali investor asing yang masuk tidak hanya dari Taiwan tetapi Tiongkok yang selama ini dominan. Sayangnya menurut Sunardi, hampir semua perusahaan masih memberi dampak buruk pada kerusakan lingkungan dan HAM.
“Sejauh ini tidak diperhatikan (peraturan yang ada), padahal secara aturan sudah baik,” kata Sunardi.
Menurut Sunardi, sepanjang aktivitas tambang tidak merusak lingkungan dan HAM tentu tidak ada masalah, namun selama ini tata kelolanya karut marut.
WALHI juga menyebut absennya masyarakat lokal dalam pengelolaan tambang karena Free Prior and Informed Consent (FPIC) yang harusnya jadi syarat aktivitas penambangan tidak tercapai, belum lagi laporan kerusakan lingkungan, kecelakaan kerja, dan intimidasi hingga kriminalisasi terhadap masyarakat dan korupsi. Sebaliknya penegakan hukum pada perusahaan yang melanggar sangat lemah.
Problem perempuan
Siti Zulaika, manajer program dari Action for Ecology and People’s Emancipation mengatakan keberadaan industri juga mengubah lanskap kultural perempuan di wilayah tambang dari yang semula bertani dan melaut jadi bekerja. Perubahan ini terjadi karena laut tempat mereka mencari nafkah dan tanah tempat bercocok tanam sudah tercemar atau diambil alih oleh perluasan wilayah industri.
Ketika mereka bekerja, banyak juga kerentanan yang dialami perempuan misalnya ada beban ganda yang harus diemban sebagai perempuan yang bekerja dan juga kerja-kerja perawatan di rumah. Selain itu cuti haid, meskipun ada sulit didapat, kata perempuan yang akrab disapa Juli ini.
“Harus izin dua hari sebelumnya dan akhirnya enggak banyak yang ambil hak cuti haid ini,” ujarnya.
Selain itu juga ada proses marjinalisasi perempuan di luar kawasan industri. Hal ini disampaikan oleh lembaga Juli yang baru-baru ini dirilis.
Sementara itu, Yunita Harnita Pongarung dari Serikat Pekerja Industri Morowali membenarkan pernyataan Juli. Menurut dia, selama ini faktor keselamatan dan hak kerja perempuan masih diabaikan. Saat terjadi kecelakaan kerja, kompensasi yang diberikan juga tidak sepadan dengan nyawa korban yang melayang.
Bisnis yang pro-HAM
Dalam pernyataannya, TNCC Watch sebagai penyelenggara menyebutkan bawha forum ini digelar sebagai respons terhadap perubahan iklim dan pembangunan ekonomi global serta uji tuntas rantai pasokan yang telah menjadi tren internasional yang umum.
Untuk mempertahankan daya saing dalam rantai industri global, Taiwan harus mengatasi masalah ini secara proaktif. Mengingat tren investasi luar negeri Taiwan, khususnya yang dipengaruhi oleh Kebijakan Baru ke Arah Selatan dan pergeseran geopolitik dari perang dagang AS-Tiongkok, Indonesia semakin menjadi mitra dagang utama dan target investasi Taiwan.
TNCC Watch adalah sebuah koalisi yang dibentuk oleh Environmental Rights Foundation, Youth Labor Union 95, Taiwan Association for Victims of Occupational Injuries, Covenants Watch, Taiwan Association for Human Rights, Taiwan Labor Front, dan Environmental Jurists Association.
Koalisi ini telah bekerja sama dengan organisasi Indonesia yang terlibat secara mendalam dalam isu-isu lingkungan, hak asasi manusia, iklim, dan rantai pasokan. Mitra-mitra ini meliputi AEER (Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat), SAFETY (Perkumpulan Pegiat Kesehatan Masyarakat), WALHI (Forum Lingkungan Hidup Indonesia), dan kelompok-kelompok aktivis yang ingin memahami dampak bisnis Taiwan di Indonesia.
Selain mitra Indonesia, lapor TNCC Watch, forum ini juga mengundang kelompok masyarakat sipil, pengacara, dan akademisi dari Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain yang berkomitmen pada "Bisnis dan hak asasi manusia."
“Fokusnya adalah memajukan gerakan bisnis dan hak asasi manusia regional dan mempromosikan undang-undang uji tuntas yang berkelanjutan di seluruh negara. Forum ini berupaya untuk meningkatkan keterlibatan Taiwan dalam dialog bisnis dan hak asasi manusia, mendorong kemajuan hukum dan kebijakan, dan memperkuat hubungan Taiwan di Asia dan sekitarnya dalam domain hak asasi manusia,” ungkap TNCC Watch.
Acara ini dibuka oleh Menteri tanpa portofolio Lin Ming-Hsinchu dan wakil kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (NHRC) Wang Yu-ling.
Selesai/JA