Taipei, 11 Sep (CNA) Sejumlah lembaga non-profit yang bergerak di bidang hak tenagakerja menilai Taiwan tidak serius mencegah praktik kerja paksa di bidang perikanan, ini dikatakan menanggapi Taiwan yang tetap berada di dalam Daftar Barang yang Diproduksi oleh Pekerja Anak atau Tenaga Kerja Paksa, yang dirilis Departemen Tenaga Kerja (DOL) Amerika Serikat pekan lalu.
Kepada CNA, Valery Alzaga, Wakil Direktur Global Labor Justice mengatakan fakta ini sungguh menyedihkan namun sekaligus tidak mengherankan.
Ia pun menilai, untuk mengakhiri kerja paksa di industri makanan laut seluruh pemangku kebijakan di industri perikanan di Taiwan seperti lembaga pemerintah, pemilik kapal, dan merek dagang harus mengatasi hambatan struktural yang menghalangi pekerja.
Hal ini di antaranya memastikan bahwa pekerja memiliki akses terhadap komunikasi, seperti Wi-Fi yang aman, saat mereka berada di laut untuk memastikan mereka dibayar dan dapat berkomunikasi dengan serikat pekerja mereka.
"Banyak nelayan migran dari Asia Tenggara mengalami kondisi yang sangat buruk di laut selama berbulan-bulan sambil menangkap tuna untuk merek-merek besar global. Industri makanan laut harus mengambil tindakan untuk menghilangkan kerja paksa dari rantai pasokannya dengan memastikan bahwa nelayan memiliki akses terhadap serikat pekerja mereka dan melakukan advokasi untuk mencegah pelanggaran,” kata Alzaga.
Shih Yi-hsiang (施逸翔), peneliti senior di Asosiasi Hak Asasi Manusia Taiwan (TAHR) mengatakan industri penangkapan ikan laut jauh di Taiwan secara sistematis menciptakan kondisi kerja paksa.
Kasus kapal 'You Fu Ten' baru-baru ini memberikan contoh nyata kerja paksa di armada Taiwan.
Setelah 15 bulan di laut, nelayan migran 'You Fu Ten' kembali ke Taiwan tanpa upah yang mana ini memenuhi unsur kerja paksa seperti pencurian upah dan kondisi kerja yang kejam.
"Berapa tahun ikan tangkapan Taiwan harus dimasukkan dalam daftar kerja paksa sebelum pemerintah Taiwan mengambil tindakan nyata untuk mengatasi krisis ini dan melakukan tindakan pencegahan?," kata Shih.
Sebelumnya DOL mencatat, Anak Buah Kapal (ABK) migran di kapal penangkapan ikan jarak jauh Taiwan kerap ditipu agensi tenaga kerja yang memberikan informasi palsu tentang upah dan kontrak.
Para ABK ini dipaksa membayar biaya perantara dan menandatangani perjanjian pinjaman, yang mengakibatkan hutang besar. Upah mereka juga sering dipotong secara ilegal, menurut DOL.
Ini adalah kali ketiga berturut-turut, setelah 2020 dan 2022, ikan yang ditangkap Taiwan masuk dalam daftar tersebut.
Upaya pemerintah
Menanggapi ikan yang ditangkap Taiwan dimasukkan dalam daftar, Direktorat Jenderal Perikanan (FA) mengatakan bahwa mereka meluncurkan "Rencana Aksi Perikanan dan Hak Asasi Manusia" dua tahun lalu untuk secara sistematis meningkatkan hak-hak ABK asing dalam berbagai aspek, termasuk kondisi kerja, kondisi hidup, dan manajemen perantara.
Langkah-langkah yang diambil termasuk meningkatkan upah minimum dan cakupan asuransi untuk ABK migran, menuntut pembayaran upah langsung dan penuh, menjaga catatan kehadiran di kapal, dan memasang sistem pengawasan kapal di kapal.
Ditjen tersebut mengatakan mereka juga merekrut 60 personel inspeksi tambahan sejak peluncuran rencana tersebut dan meningkatkan inspeksi. Akibatnya, proporsi ABK migran yang menerima pembayaran upah penuh sesuai dengan peraturan mencapai 98 persen pada paruh pertama tahun 2024.
Ditjen tersebut menambahkan bahwa mereka telah berkomunikasi aktif dengan AS tentang peningkatan hak-hak ABK di Taiwan, dan mengundang pejabat DOL ke Taiwan untuk mengamati situasi tersebut.
FA juga menekankan komitmennya untuk sepenuhnya menerapkan "Rencana Aksi Perikanan dan Hak Asasi Manusia." Ditjen tersebut mengajak industri untuk secara aktif meningkatkan kondisi kerja kru asing, memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan, serta berkolaborasi dengan pelaut dan kelompok masyarakat sipil untuk melindungi hak-hak para kru.
Selesai/ ML