Oleh Evelyn Yang, Jason Cahyadi, dan Rick Yi, reporter staf CNA
"Nyatanya hak kami dirampas, dibungkam dengan sebuah ancaman. Di sini kami berdiri melawan sistem perbudakan."
Di ruangan yang penuh sesak di sebuah bar di Kaohsiung, band rock Indonesia Southern Riot naik ke panggung dan membawakan lagu asli mereka yang khas, "Lagu Cinta dari BMI (buruh migran Indonesia)".
"Ya sindiran juga lah. Itu kan bentuk luapan emosi dari kita semua yang merasa ada beberapa hak kita yang tidak tercapai," kata gitaris berusia 26 tahun, Danddy dalam wawancara dengan CNA, "Mungkin dari cinta itu kan, maksudnya cinta kan bisa jadi jahat atau baik."
Dengan penonton yang berteriak dan menari dengan semangat selama pertunjukan 40 menit tersebut, band yang beranggotakan vokalis utama Rudi, gitaris Danddy, bassis Vai, dan drumer Bobo ini membawakan enam lagu.
"Kami adalah pekerja migran dari Pingtung, Tainan, dan Kaohsiung. Kami akan menyampaikan pesan kepada para penonton di sini karena kami pekerja migran punya masalah," kata Vai yang berusia 26 tahun dari Indramayu, kepada penonton dalam bahasa Inggris di sela-sela lagu.
"Bisa bantu saya? Bisa? Jika kami bilang 'agensi,' kalian bilang 'berantakan,'" kata Vai kepada penonton, kali ini dalam bahasa Mandarin.
Dimulai dengan pertemuan kamerad
Band ini dibentuk sekitar Januari 2022, tepat sebelum aksi protes pekerja migran. Pada saat itu, mereka tampil di demonstrasi untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap ketidakmampuan pekerja migran untuk bebas berganti majikan.
Peserta dalam demonstrasi juga menyerukan perekrutan langsung oleh pemerintah dan diakhirinya agensi.
Pada saat itu, Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa setiap metode perekrutan masih perlu "Mematuhi mekanisme pasar," tanpa memperluasnya.
Diawali dari sebuah trio, band ini berevolusi setelah mantan vokalis utama kembali ke Indonesia dan anggota lainnya tetap di Taiwan.
Dandy menjelaskan bahwa anggota saat ini bertemu dan berkumpul secara berkala untuk menongkrong.
Ia menyebut bahwa banyak inspirasi mereka berasal dari teman-teman yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau yang lainnya, yang mengungkapkan keluh kesah mereka tentang agensi maupun pekerjaan ketika menongkrong dan mengobrol bersama.
Istilah "Sistem perbudakan" muncul dalam lagu mereka. Gitaris tersebut menekankan bahwa frasa itu dimaksudkan untuk menjadi sindiran: "Karena ya tadi, Kenapa kita enggak dilihat?"
"Ya ada beberapa sistem, yang dijelaskan teman saya juga kan, tidak transparan."
Saat ini ada lebih dari 750.000 pekerja migran di Taiwan. Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan kelompok terbesar, mencapai 30 persen, diikuti oleh pekerja dari Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Meskipun Pemerintah Taiwan berjanji untuk meningkatkan hak-hak pekerja migran, kemajuan masih terbatas. Banyak yang masih menghadapi tantangan seperti upah rendah dan kondisi kerja yang buruk yang diberlakukan oleh majikan dan agensi.
Penyambung lidah pekerja migran
"Dari awal suka Southern Riot karena lagu-lagunya pertama kan lagu dari para PMI kan, dari kita-kita PMI," kata Annie Hsu, seorang perawat orang tua migran Indonesia di Taipei, yang bepergian ke Kaohsiung demi pertunjukan tersebut.
"[Mereka] menyuarakan keluh-kesah PMI di sini," tambahnya.
Yusuf Fahrezi, lulusan baru dari Cheng Shiu University di Kaohsiung, menjelaskan kekagumannya terhadap band tersebut: "Suka sama Southern Riot juga karena kebanyakan lagunya itu menyuarakan tentang keresahan-keresahan para pekerja migran di Taiwan."
"Jadi enggak cuma sekadar lagu, jadi ada maknanya yang tersirat dalam lagu itu, jadi [saya] suka." lanjutnya.
Meskipun band ini tidak mencari ketenaran, anggotanya berharap bahwa dengan meningkatnya popularitas lagu-lagu mereka, Pemerintah Taiwan dan pihak terkait akan lebih memerhatikan komunitas pekerja migran.
"Kita disini itu kan sebagai pekerja juga, jangan terlalu membeda-bedakan lah," kata Danddy, menambahkan bahwa mereka "Sama-sama mencari uang."
Situasinya
Migrant Empowerment Network in Taiwan (MENT), sebuah aliansi dari asosiasi pekerja migran mengatakan ada lebih dari seribu agensi lokal, banyak yang beroperasi secara internasional dan menghasilkan biaya dari negara asal pekerja maupun dalam negeri.
Organisasi ini mengatakan pemerintah harus mengambil tanggung jawab untuk pekerja migran yang dipekerjakan di Taiwan, atau agensi akan terus mengendalikan ketat peluang pekerjaan pekerja.
Pekerja migran umumnya tidak dapat mengganti majikan selama masa kerja mereka, kecuali dalam kasus yang tidak disebabkan oleh pekerja.
Kementerian Ketenagakerjaan mengatakan bahwa pekerja dapat mengganti majikan dengan mendaftar di agensi tenaga kerja publik atau melalui kesepakatan bersama dengan kedua majikan. Jika majikan asli melanggar hukum, pekerja dapat beralih majikan dengan persetujuan majikan baru.
Menurut survei oleh kementerian tersebut, rata-rata total gaji untuk perawat rumah tangga migran tahun lalu adalah NT$22.638 (Rp11.039.099). Ini di bawah upah minimum NT$27.470 yang diwajibkan bagi semua pekerja lain di Taiwan.
Ditambah dengan kecilnya kemungkinan para pekerja migran untuk mendapatkan izin tinggal permanen ataupun kewarganegaraan, kecil sekali peluang bagi mereka untuk meningkatkan kondisi mereka.
Selesai/IF