Oleh Jay Chou dan Jason Cahyadi, reporter dan penulis staf CNA
Lee Po-ching (李柏青) lahir di Tainan, Taiwan pada 1922. Pemerintah kolonial Jepang membawanya ke Nusantara sebagai tentara. Pasca Perang Dunia II, yang berakhir tepat 80 tahun yang lalu, ia memilih menjadi pejuang Indonesia. Ia pun mengganti namanya menjadi Umar Hartono, dan menerima penghargaan dari presiden.
Lee mengambil nama Eiji Miyahara ketika keluarganya mengadopsi nama keluarga Jepang. Kala itu, Taiwan berada di bawah jajahan Negeri Matahari Terbit. Setelah pecahnya Perang Pasifik, ia bergabung sebagai prajurit sukarelawan di Angkatan Darat Jepang, dan bertempur di Filipina, Myanmar, serta Indonesia.
Usai Perang Dunia II yang berakhir 15 Agustus 1945, ia beranggapan bahwa Jepang akan jatuh menjadi koloni Amerika Serikat, sedangkan jika kembali ke Taiwan ia akan dianggap sebagai pengkhianat oleh pemerintah Republik Tiongkok. Karena itu, ia tidak menyerah kepada pasukan Sekutu.
Bersama lebih dari 900 tentara Jepang lainnya, ia memilih untuk membantu pasukan Indonesia dalam melawan tentara Belanda di Revolusi Nasional Indonesia, dengan menyediakan senjata dan perlengkapan yang dibutuhkan serta melatih personel. Sekitar setengah dari mereka gugur dalam membela Ibu Pertiwi.
Setelah perang, ia bekerja di bidang konstruksi sipil dan menikah dengan seorang wanita Tionghoa-Indonesia. Pada 1961, ia memperoleh kewarganegaraan Indonesia dan mengganti namanya menjadi Umar Hartono, serta dikaruniai tiga orang anak. Ia pun berperan aktif dalam kegiatan komunitas Jepang di Indonesia.
Sempat menyaksikan kerusuhan 1998, Umar mengatakan bahwa pada masa itu ia merasa takut berjalan di jalanan, dan menganggap peristiwa tersebut sebagai masa terburuk sejak kemerdekaan Indonesia.
Pada 2005, di perayaan hari kemerdekaan ke-60 Republik Indonesia, ia dianugerahi penghargaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadikannya orang kelahiran asing pertama yang diakui atas kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sementara itu, pemerintah Jepang pada 2009 memberikannya penghargaan bintang jasa atas kontribusinya dalam mempererat persahabatan antara kedua negara serta peningkatan kesejahteraan keturunan Jepang di Indonesia.
Umar, sang mantan letnan muda di Resimen Tirtayasa Divisi Siliwangi, wafat akibat gagal jantung pada 15 Oktober 2013 di sebuah rumah sakit di Jakarta, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.
CNA pernah mengunjungi Yayasan Warga Persahabatan yang didirikan olehnya. Poppy, salah satu staf yayasan, mengatakan bahwa Umar adalah pribadi yang ramah dan pendiam, namun tidak pernah melupakan asal-usulnya.
Menurut Poppy, meskipun Umar sehari-hari berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, putrinya fasih berbahasa Tionghoa berkat didikan sang ayah.
Wisatawan dari Taiwan yang berkunjung ke Indonesia kerap menyempatkan diri datang ke yayasan untuk menemuinya, dan ia juga memiliki sedikit hubungan dagang dengan Taiwan, menurut Poppy.
Hal menarik lainnya, setiap kali berkunjung ke Indonesia, mendiang mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe selalu meluangkan waktu khusus untuk datang ke yayasan tersebut dan menemui Umar sebagai bentuk penghormatan.
Dalam sebuah wawancara semasa hidupnya, Umar mengungkapkan bahwa ia pernah pulang ke Taiwan pada 1974, namun kembali pergi setelah pertemuan singkat dengan orang tuanya karena ia khawatir akan keselamatannya, seiring ia pernah bertempur melawan pasukan Nasionalis Tiongkok di Burma selama perang.
Pengalaman ikut dalam perang kemerdekaan Indonesia menjadi salah satu kebanggaan terbesar dalam hidup Umar. Cucunya, Jevan Purnawan (傑文), mengatakan bahwa kakeknya sering menceritakan kisah perjuangannya dan selalu merasa bangga telah berjuang dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Selesai/IF