Mahasiswa Taiwan gelar diskusi terbuka pekerja migran

12/08/2025 14:06(Diperbaharui 12/08/2025 14:06)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

"Seminar Gerakan Sosial di Bawah Kebangkitan Kaum Kanan 2025" di National Taiwan Normal University, Sabtu. (Sumber Foto : NTU Labor Club)
"Seminar Gerakan Sosial di Bawah Kebangkitan Kaum Kanan 2025" di National Taiwan Normal University, Sabtu. (Sumber Foto : NTU Labor Club)

Taipei, 12 Agu. (CNA) Mahasiswa National Taiwan University (NTU) dan National Taiwan Normal University (NTNU) hari Sabtu (9/8) menggelar diskusi terbuka tentang berbagai masalah yang dihadapi pekerja migran, menarik puluhan pelajar hingga aktivis datang bertukar pikiran.

Mary Jane, juru bicara Migrante Taiwan, dalam pemaparannya mengatakan pekerja migran wanita sehari-harinya menghadapi perjuangan di tengah kurangnya perlindungan sosial, keterpisahan dari keluarga, pekerjaan yang berat hingga berbahaya, permasalahan hukum, dan layanan yang kurang memadai.

Mereka tidak punya hak untuk libur, mendapatkan gaji yang sangat rendah, dan diperlakukan secara tidak adil, sementara tetap memikirkan bagaimana keadaan keluarga mereka di kampung halaman, kata wanita yang juga adalah pekerja migran asal Filipina tersebut.

Julia Mariano, mahasiswi sekaligus sekretaris Migrante Taiwan, mengatakan sering muncul pertanyaan bahwa jika kondisi di luar negeri buruk, mengapa orang tetap pergi. Namun, menurutnya, akar masalahnya juga melibatkan faktor struktural di negara asal yang membuat mereka bermigrasi.

Mary Jane (kanan) dan Julia Mariano (depan, kiri) dari Migrante Taiwan. (Sumber Foto : NTU Labor Club)
Mary Jane (kanan) dan Julia Mariano (depan, kiri) dari Migrante Taiwan. (Sumber Foto : NTU Labor Club)

Sementara itu, Lennon Wong (汪英達), direktur Departemen Kebijakan Pekerja Migran di Serve the People Association dalam pemaparannya mengatakan "Mayoritas pekerja migran di Taiwan saat ini termasuk korban perdagangan manusia."

"Sangat sulit untuk membuktikannya, dan ini termasuk hukum pidana, maka petugas penegak hukum, kejaksaan, dan hakim jarang mengakui suatu kasus sebagai perdagangan orang, karena ancaman hukumannya relatif tinggi," ujarnya.

Sementara itu, juga ada tindak kerja paksa, yang Wong katakan didefinisikan secara samar dan kuno oleh Pasal 5 Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan Taiwan dengan penekanan pada kekerasan fisik langsung, sementara pasal tersebut menurutnya belum pernah digunakan untuk menghukum pelaku.

Dalam 11 Indikator Kerja Paksa menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), tambah Wong, "Mayoritas besar pekerja migran di Taiwan masuk dalam kategori risiko kerja paksa."

Indikatornya, menurut Wong, termasuk dimanfaatkannya ketidakpahaman mereka akan hukum dan penipuan, isolasi melalui pembatasan ruang gerak dan kontak, ancaman deportasi, hingga ikatan utang akibat biaya yang dipungut agensi tenaga kerja maupun kebutuhan mendesak keluarga.

Lennon Wong, direktur Departemen Kebijakan Pekerja Migran di Serve the People Association. (Sumber Foto : NTU Labor Club)
Lennon Wong, direktur Departemen Kebijakan Pekerja Migran di Serve the People Association. (Sumber Foto : NTU Labor Club)

Terkait biaya agensi, ia mengatakan, "Pemerintah pura-pura tidak tahu dan sampai sekarang tetap tidak berubah. Mereka bilang agensi berhak memungut biaya layanan jika memberikan layanan. Tetapi, kalau Anda tanya semua pekerja migran, mereka akan bilang bahwa, mau ada layanan atau tidak, biaya tetap dipungut."

"Jika Taiwan serius ingin menghapus kerja paksa, langkah pertama adalah menghapus biaya agensi. Semua biaya harus dibayar majikan, seperti standar internasional," ujar Wong. "Sampai hari ini, pemerintah kita belum mau melakukan itu."

"Mereka (pemerintah) selalu berdalih bahwa ini akan membebani majikan dan memengaruhi daya saing industri. Namun, faktanya, banyak negara lain sudah menerapkan sistem bebas biaya bagi pekerja, dan industrinya tetap berjalan," tambahnya.

Terkait apa yang harus dilakukan masyarakat, Wong mengatakan bahwa mereka bisa membantu pekerja migran mengajukan keluhan, membentuk serikat, dan menjadi relawan di berbagai organisasi advokasi.

Sementara itu, para pekerja migran bisa membentuk serikat, "Agar lewat kekuatan kolektif mereka bisa memaksa pemberi kerja dan pemerintah menghapus peraturan yang tidak adil dan diskriminatif," ujarnya.

Dalam acara, para peserta juga diajak menyampaikan pandangan mereka dengan menuliskannya di notes tempel. Ada yang mengusulkan untuk mengadvokasi isu migran, melawan "ekonomi kolonial" bersama, membangun kesadaran di komunitas, hingga membentuk serikat lintas negara.

Diskusi ini adalah salah satu sesi dari acara yang diselenggarakan NTU Labor Club dan NTNU Humanities Club terkait aktivisme di tengah kebangkitan sayap kanan. Lima sesi lainnya mencakup pergerakan kiri, pendidikan, gender, Palestina, dan hak buruh.

Kepada CNA, Ketua NTU Labor Club Echo Chen (陳昶安) mengatakan mereka berharap acara ini dapat menjadi kesempatan bertukar pikiran. "Di satu sisi memperkenalkan isu pekerja migran kepada lebih banyak orang, dan di sisi lain mencari keterkaitan antara perjuangan pekerja migran dengan perjuangan lainnya. "

"Karena isu pekerja migran sangat penting, tenaga kerja mereka semakin berperan bagi Taiwan. Namun, perlindungan yang diberikan Taiwan kepada pekerja migran masih jauh tertinggal dibandingkan pekerja lokal," ujarnya.

(Oleh Jason Cahyadi)

Selesai/IF

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.