KILAS BALIK /Mei 1998: Demonstrasi di Taiwan dan kunjungan delegasi ke Indonesia

20/05/2025 18:49(Diperbaharui 20/05/2025 19:00)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Sebuah aksi protes terhadap kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia diadakan di depan KDEI Taipei pada 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sebuah aksi protes terhadap kekerasan anti-Tionghoa di Indonesia diadakan di depan KDEI Taipei pada 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Oleh Jason Cahyadi dan Muhammad Irfan, penulis staf CNA

Mei 1998 menjadi momen penting bagi demokrasi Indonesia, di mana Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun mundur. Namun, proses ini melibatkan kerusuhan horizontal, dengan etnis Tionghoa banyak menjadi korban. Hal ini memicu kemarahan masyarakat Taiwan. Mereka yang bersolidaritas pun bergerak menggelar berbagai protes. Bahkan, ada yang mengirimkan delegasi ke Jakarta.

Baca bagian sebelumnya: Mei 1998: Warga Taiwan dalam pusaran kerusuhan Mei Indonesia

Tekanan ke Jakarta

Pada 28 Juli 1998, kelompok perempuan Taiwan yang didampingi sejumlah legislator mendatangi Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei untuk menyerahkan petisi protes. Mereka juga mendatangi Kementerian Luar Negeri (MOFA) untuk meminta pemerintah menyampaikan protes.

Di sisi lain, juga digelar sejumlah demonstrasi. Salah satu yang dicatat CNA terjadi pada 3 Agustus 1998, ketika sekitar 200 pengunjuk rasa mengunjungi KDEI.

Mereka bertemu Wakil Kepala KDEI, yang kemudian menyatakan penyesalan atas kekejaman tersebut dan mengatakan pemerintah Republik Indonesia (RI) sedang merawat dan melindungi para korban, dan penyelidikan atas kejadian tersebut sedang dilakukan.

Seorang anak kecil memegang spanduk bertuliskan "Hentikan pemerkosaan!!!" dalam aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Seorang anak kecil memegang spanduk bertuliskan "Hentikan pemerkosaan!!!" dalam aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Di sana, Legislator Lee Ching-hua (李慶華) dari Partai Baru menyerukan pemerintah untuk menghukum para pemerkosa, segera meminta maaf atas kekejaman kerusuhan, memberikan perawatan medis dan kompensasi kepada korban, serta memberikan jaminan kejadian serupa tidak akan terjadi kembali.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Tionghoa Luar Negeri Indonesia, yang lahir di Indonesia dan belajar di Taiwan, meminta pemerintah RI melindungi dan menghormati hak asasi manusia, serta memperlakukan semua warga Tionghoa secara adil sesuai Undang-Undang Dasar 1945.

Kelompok tersebut juga mengunjungi MOFA. Di sana, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jason Hu (胡志強) mendesak Jakarta untuk mempertimbangkan perasaan rakyat Taiwan dan melakukan penyelidikan yang tepat. Ia juga menekankan kebijakan Taipei terhadap Indonesia maupun kesediaan perusahaan Taiwan untuk berinvestasi di sana dapat terpengaruh insiden Mei.

Sejumlah perwakilan wanita pada 10 Agustus 1998 mengunjungi Majelis Nasional di ChungShan Hall Yangmingshan, menyampaikan protes atas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sejumlah perwakilan wanita pada 10 Agustus 1998 mengunjungi Majelis Nasional di ChungShan Hall Yangmingshan, menyampaikan protes atas kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Selang dua hari dari demo tersebut, Chan Hou-sheng (詹火生), ketua Dewan Urusan Ketenagakerjaan, saat bertemu sekelompok legislator Partai Baru mengatakan bahwa Taiwan mungkin akan menangguhkan kedatangan pekerja Indonesia jika Jakarta gagal memberikan hukuman yang tegas terhadap para pelaku kekerasan.

Dari kalangan penulis, protes digelar di Taipei oleh Konferensi Penulis Tionghoa Dunia ketiga yang membandingkan penganiayaan yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia dengan kekejaman Tentara Kekaisaran Jepang dan Nazi selama Perang Dunia II.

Selain mendesak otoritas Indonesia hingga pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa bergerak, kelompok tersebut juga meluncurkan kampanye penggalangan dana dan mengumpulkan bantuan untuk para korban.

Sejumlah massa juga menargetkan demonstrasi di depan Menteri Negara Investasi Indonesia, Hamzah Haz yang pada 10 Agustus dijadwalkan akan mengunjungi Taipei, namun ia membatalkan kunjungannya.

Kelompok yang rencananya menggelar aksi itu mengatakan bahwa mereka menjalankan kampanye jangka panjang untuk mendorong masyarakat Tionghoa di seluruh dunia "Memberikan pendidikan yang layak kepada rakyat Indonesia" guna menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di masa mendatang.

Sejumlah LSM mengunjungi KDEI Taipei pada 27 Juli 1998 untuk menyerahkan surat protes dan berdiskusi mengenai bantuan bagi korban kerusuhan di Indonesia dari kalangan Tionghoa. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sejumlah LSM mengunjungi KDEI Taipei pada 27 Juli 1998 untuk menyerahkan surat protes dan berdiskusi mengenai bantuan bagi korban kerusuhan di Indonesia dari kalangan Tionghoa. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Pada 14 September, sejumlah aktivis mendatangi KDEI untuk memprotes apa yang mereka sebut sebagai "Upaya penutupan pemerintah RI terhadap kekejaman yang dialami perempuan etnis Tionghoa di kerusuhan," setelah seorang pejabat Jakarta dilaporkan mengatakan Taiwan telah dibodohi terkait tuduhan pemerkosaan massal.

Mereka pun menyerahkan boneka pinokio berhidung panjang yang melambangkan seorang pembohong, yang diterima Wakil Kepala KDEI beserta janji bahwa ia akan mengirimkan foto boneka itu kepada pihak berwenang di Jakarta.

Delegasi Taiwan ke Indonesia

Pada 2 Agustus 1998, sembilan orang dari empat kelompok hak perempuan di Taiwan tiba di Indonesia untuk menyampaikan keprihatinan mereka kepada para perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban kerusuhan.

Wang Ching-feng (王清峰), seorang aktivis hak perempuan dan mantan anggota Yuan Kontrol yang memimpin delegasi, mengatakan mereka berencana untuk bertemu beberapa perempuan Tionghoa yang menjadi korban, dengan bantuan kelompok masyarakat Indonesia.

Ia menekankan bahwa pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang Tionghoa di Indonesia telah menimbulkan kemarahan di Taiwan, dan sudah saatnya untuk mengambil tindakan.

Wang, bersama beberapa kelompok hak-hak perempuan serta Voice of Taipei Broadcasting Co., sebelumnya telah meluncurkan kampanye penggalangan dana untuk membantu perempuan Tionghoa di Indonesia. Dalam tiga hari, total NT$150.000 telah terkumpul, NT$50.000 di antaranya berasal dari Menlu Hu.

Sejumlah LSM mengadakan acara "Menghentikan Kekerasan dengan Cinta - Doa untuk Perempuan yang Mengalami Kekerasan di Indonesia" di Sun Yat-sen Memorial Hall di Taipei pada 16 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sejumlah LSM mengadakan acara "Menghentikan Kekerasan dengan Cinta - Doa untuk Perempuan yang Mengalami Kekerasan di Indonesia" di Sun Yat-sen Memorial Hall di Taipei pada 16 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sehari setelah tiba, kelompok tersebut bertemu Menteri Negara Peranan Wanita Indonesia, Tuty Alawiyah, mendesak pemerintah RI untuk memberi perhatian pada kekerasan terhadap para perempuan Tionghoa.

"Penyelidik Indonesia harus melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap petunjuk yang diberikan pihak ketiga demi menemukan para korban dan pelaku atau penyerang mereka," kata Wang.

Kelompok tersebut juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mendorong keharmonisan antaretnis, serta memberikan dukungan, dorongan, dan bantuan kepada lembaga swadaya masyarakat untuk mempromosikan integrasi dan kerja sama antarras.

Menanggapi itu, Tuty mengatakan ia telah meminta sejumlah polisi wanita dan sukarelawan Indonesia untuk membantu menyelidiki dan mewawancarai terduga korban. Namun, ia mengatakan banyak orang Indonesia tidak percaya jumlah korban setinggi 168 – angka yang kerap diberitakan saat itu.

Saat kembali ke Taipei setelah empat hari di Indonesia, Wang mengatakan perjalanan kelompoknya cukup berhasil meskipun gagal bertemu korban dari etnis Tionghoa atau mengatur perjalanan salah satu dari mereka ke Taiwan untuk menerima pengobatan medis.

Selain bertemu Tuty dan pejabat senior Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, Wang mengatakan delegasi tersebut berhasil bertemu pemimpin partai oposisi utama Indonesia dan beberapa organisasi penyelamat serta kelompok bantuan nonpemerintah.

"Melalui percakapan dengan mereka, kami memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang penderitaan yang dialami perempuan dan gadis etnis Tionghoa selama kerusuhan Mei," kata Wang, menambahkan bahwa setidaknya 150 wanita dan gadis etnis Tionghoa diperkosa selama periode tersebut.

"Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa kejadian serupa masih terus terjadi," kata Wang, mengutip bahwa kantor Jakarta dari lembaga amal Taiwan, Yayasan Buddha Tzu Chi, menangani kasus yang melibatkan seorang perempuan etnis Tionghoa yang diperkosa orang Indonesia pada Juli.

Sebuah tim dari Taiwan yang dibentuk untuk memerhatikan wanita korban kekerasan Mei mengadakan konferensi pers pada 6 Agustus 1998 setelah kembali dari Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sebuah tim dari Taiwan yang dibentuk untuk memerhatikan wanita korban kekerasan Mei mengadakan konferensi pers pada 6 Agustus 1998 setelah kembali dari Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Wang mengutip pemimpin organisasi penyelamat Indonesia yang mengatakan bahwa beberapa perempuan Tionghoa yang disiksa telah bunuh diri atau dilaporkan hilang. "Beberapa korban bahkan hamil setelah diperkosa."

Ia mengatakan ada cukup bukti yang membuktikan bahwa kekejaman yang dilakukan terhadap perempuan etnis Tionghoa merupakan tindakan yang terorganisir dan direncanakan. 

Wang mengatakan bahwa aktivis hak-hak perempuan Indonesia dan Tionghoa telah menyarankan agar kelompok-kelompok hak perempuan Taiwan mengirimkan sukarelawan untuk membantu korban yang disiksa melupakan penderitaan pahit mereka dan mendapatkan kembali ketenangan pikiran.

Delegasi itu mengatakan mereka akan terus memberikan dukungan jangka panjang, termasuk konseling profesional, seiring mereka menemukan Indonesia masih kekurangan pengalaman dan sistem dukungan untuk membantu para korban.

Dari pertemuan dengan kelompok perempuan Indonesia, Wang menegaskan bahwa terdapat 168 kasus pelecehan seksual yang telah terverifikasi terjadi selama kerusuhan.

Resolusi (?)

Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dirilis pada 23 Oktober 1999, sekitar 85 kasus kekerasan seksual dilaporkan selama kerusuhan, termasuk pemerkosaan kelompok, mutilasi organ genital, dan pembunuhan setelah pemerkosaan.

Namun, banyak aktivis hak asasi manusia dan organisasi perempuan percaya bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi, karena banyak penyintas yang enggan atau takut untuk melapor.

Menurut laporan TFPF, "Terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga adanya keterlibatan sejumlah anggota dan unsur di dalam ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang di luar kendali dalam kerusuhan ini."

Aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998, menuntut pelaku kekerasan dalam kerusuhan Mei diadili. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).
Aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998, menuntut pelaku kekerasan dalam kerusuhan Mei diadili. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).

Menanggapi laporan TGPF, Taipei Women's Rescue Foundation mendesak pemerintah RI untuk meminta maaf secara publik. Sementara itu, MOFA menyatakan keprihatinannya dan mengharapkan pemerintah RI menuntut para pelaku yang bertanggung jawab.

Peneliti Eunike Mutiara Himawan menulis, pasca kerusuhan, berbagai organisasi masyarakat sipil dan kelompok perempuan mencoba mendokumentasikan dan memberikan dukungan kepada para penyintas, meskipun menghadapi berbagai rintangan.

Misalnya, organisasi seperti Solidaritas Perempuan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (SPAK) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK) aktif mendampingi korban, menyuarakan keadilan, dan menuntut pertanggungjawaban negara.

Kendati demikian, trauma, ketakutan terhadap stigma sosial, dan tidak adanya perlindungan hukum membuat banyak penyintas memilih diam. Hingga kini, belum ada tindakan tegas terhadap para pelaku. Beberapa di antara mereka mungkin masih berkeliaran dengan bebas di masyarakat.

Selesai/JA

Seorang anak kecil melempar telur ke bendera Indonesia dalam aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).
Seorang anak kecil melempar telur ke bendera Indonesia dalam aksi di depan KDEI Taipei, 3 Agustus 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).
How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.