Taipei, 9 Mei (CNA) Lembaga pengawas pemerintah tertinggi Taiwan hari Kamis (8/5) memerintahkan Direktorat Jenderal Perikanan (FA) melakukan perbaikan setelah 14 anak buah kapal (ABK) migran Indonesia sempat terjebak satu hingga dua tahun di Mauritius dan ditunggak gajinya.
Anggota Yuan Kontrol Chi Hui-jung (紀惠容) dalam sebuah rilis pers mengatakan bahwa kapal penangkap ikan laut jauh Taiwan, "Shin Lian Fa No. 168" tidak bisa diperbaiki akibat utang pemiliknya, sehingga terpaksa berlabuh di pelabuhan Mauritius dan dialihkan kepemilikannya kepada agen sebagai pelunasan.
Sebelas ABK migran Indonesia yang mengawaki kapal itu baru bisa kembali ke tanah air selepas satu tahun, setelah gaji mereka dibayarkan terlebih dahulu oleh agensi tenaga kerja, kata Chi.
Namun, tiga kru lainnya ditahan hingga dua tahun, tidak mendapatkan gaji maupun makanan, dan baru bisa kembali ke Indonesia setelah adanya advokasi kelompok masyarakat, ujarnya, menyebut bahwa situasi ini sangat merugikan hak-hak awak kapal.
Baca juga: FA: Akan cari solusi terkait tiga ABK migran Indonesia di Mauritius
Chi menambahkan, meskipun FA memiliki pejabat perikanan di luar negeri yang membantu proses pemulangan, mereka telah lalai dalam memverifikasi pernyataan pemilik kapal.
Pejabat luar negeri ditjen tersebut pun hanya bisa melakukan kunjungan pada awak kapal yang bukan menjadi tanggung jawab utama mereka, tergantung pada kemampuan dan sumber daya yang tersedia, ujarnya.
Selain itu, karena keterbatasan jumlah petugas inspeksi serta kondisi diplomatik, pemeriksaan umumnya hanya bisa dilakukan saat kapal kembali ke Taiwan, menyebabkan hilangnya kesempatan untuk menyelidiki lebih awal, kata Chi, mencatat bahwa hal ini perlu segera dievaluasi dan diperbaiki.
Chi berpendapat bahwa sebagai lembaga utama yang bertanggung jawab atas perlindungan hak tenaga kerja perikanan migran berdasarkan UU Pencegahan Perdagangan Manusia, FA seharusnya secara proaktif menangani masalah ini.
Namun, ketika pemerintah Mauritius menetapkan bahwa tiga awak harus tetap tinggal di kapal, FA tidak menempatkan hak-hak mereka sebagai prioritas utama, tambahnya.
Ini mengakibatkan munculnya kritik dari kelompok masyarakat sipil yang mempertanyakan mengapa FA rela mengorbankan hak-hak pekerja perikanan demi kelancaran operasional industri Taiwan, yang pada akhirnya merusak citra pemerintah, kata Chi.
Baca juga: FA tanggapi laporan Greenpeace terkait dugaan eksploitasi ABK Indonesia di kapal Taiwan
Chi juga mencatat bahwa karena kasus ini melibatkan peraturan negara pelabuhan dan dinamika perikanan internasional, ada kemungkinan terjadinya kejadian serupa di masa depan, sehingga FA perlu menjadikannya pelajaran dan segera merancang strategi tanggapan yang seimbang dan efektif.
Terakhir, Chi mengatakan bahwa ketika ketiga ABK Indonesia yang tertahan hendak meninggalkan Mauritius, seandainya mereka memilih datang ke Taiwan, hal itu bisa membantu proses identifikasi korban perdagangan manusia.
Namun, lanjutnya, FA tidak memberikan penjelasan kepada para awak mengenai keuntungan dan kerugian antara kembali ke Indonesia atau datang ke Taiwan, sehingga mereka hanya mengikuti saran agensi tenaga kerja karena menganggap kembali ke tanah air akan mempercepat penerimaan gaji yang tertunggak.
Baca juga: ABK migran Indonesia yang terjebak di Mauritius telah dipulangkan
Ia pun menyatakan harapannya agar FA ke depannya dapat memberikan penjelasan yang memadai guna menjamin perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak hukum para pekerja.
(Oleh Kao Hua-chien dan Jason Cahyadi)
Selesai/IF