Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Tanggal 9 Februari di Indonesia diperingati sebagai Hari Pers Nasional, yang berawal dari pendirian Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1978. Namun, sejarah pers Indonesia tidak dimulai pada tahun tersebut. Ia merupakan hasil dari perjuangan panjang yang dibangun melalui proses berkelanjutan oleh para pahlawan pena, baik dari kalangan bumi putera, Arab, maupun etnis Tionghoa.
Bicara peran komunitas Tionghoa dalam pers nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan kemerdekaan Indonesia sendiri. Dalam “Peran Etnis Tionghoa Dalam Pergerakan Nasional” disebutkan bahwa bisnis surat kabar yang dikelola oleh komunitas Tionghoa Peranakan sudah dimulai sejak awal abad ke-20 lewat surat kabar seperti Li Po di Sukabumi, Jawa Barat; surat kabar pewarta Soerabaia, terbit di Surabaya; Warna Warta di Semarang; dan Sin Po di Jakarta.
Sin Tit Po dan semangat kebangsaan
Terkait gagasan nasionalis Indonesia, jurnal dari Universitas Sebelas Maret ini juga menyatakan Sin Tit Po sebagai salah satu surat kabar yang dikelola etnis Tionghoa yang secara jelas mendukung gagasan mengenai semangat perjuangan untuk menggapai kemerdekaan Indonesia, mengingat keberadaannya yang terkait dengan Partai Tionghoa Indonesia, sebuah partai politik untuk mendukung pergerakan nasional Indonesia.
Sin Tit Po dikenal sebagai media inklusif yang berusaha merangkul berbagai kalangan, termasuk orang-orang non-Tionghoa, seperti komunitas Arab. Abdurrahman Baswedan, kakek dari mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, juga tumbuh dalam lingkungan jurnalistik Sin Tit Po.
Sebagaimana sebuah komunitas yang besar, tidak heran kalau kemudian pers Tionghoa juga memiliki banyak kecenderungan politik. Didi Kwartanada dalam “Belajar dari Liem, Baswedan, dan Sin Tit Po” yang terbit di TEMPO pada 2019 menyebut koran yang dinakhodai Liem Koen Hian (1896-1952) ini sejak semula sudah dikenal tegas dalam menunjukkan kecondongan ideologisnya pada kemerdekaan Indonesia. Berbeda dengan Sin Po yang lebih condong ke nasionalisme Tiongkok dan Chuang Hua Hui yang justru mendukung kolonialisme Belanda.
Siswantari dalam “Surat kabar Sin Tit Po 1929-1949 sikap politik surat kabar Tionghoa peranakan dalam pergerakan Nasional Indonesia” yang terbit pada 2006 menulis sejak dimulai dari tahun 1929 sampai tahun 1942. Sejak diterbitkan pada tahun 1929, surat kabar Sin Tit Po selalu berpihak pada pergerakan nasional Indonesi.
Dalam tulisannya, ia menyatakan, "Amat jelas terlihat sikap politik Sin Tit Po yang mendukung pergerakan nasional. Sikap politik Sin Tit Po yang berpihak pada pergerakan nasional ini tetap tidak berubah sampai surat kabar Sin Tit Po ditutup oleh Pemerintah Pendudukan Jepang tahun 1942."
Pers Republik Tiongkok (Taiwan) di Indonesia
Dalam penelusuran arsip CNA, Republik Tiongkok (nama resmi Taiwan) juga ikut ambil bagian pada aktivitas pers di Indonesia terutama dalam kebutuhannya menjalin relasi dengan Indonesia. Ma Shuli (馬樹禮) adalah salah satunya yang pemimpin surat kabar Zhong Hua Shang Bao di Jakarta.
Kemudian ada Hsu Chu-ching (徐琚清), Presiden Kamar Dagang Tionghoa Jakarta dan Ketua Freedom News dan pasangan Chiu Cheng-ou (丘正歐), Pemimpin Redaksi Thien Sung Yit Po.
Leo Suryadinata dalam “Prominent Indonesian Chinese” menyebut Ma bahkan menulis sejumlah karya soal Indonesia yakni Yinni Duli Yundong Shih [Sejarah Gerakan Kemerdekaan Indonesia] (Hong Kong, 1957) dan Yinni de Bian yu Luan [Perubahan dan Kekacauan di Indonesia] (Taipei, 1963).
Buku-buku seperti Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang disusun oleh Ma Shuli diakui oleh masyarakat akademis sebagai karya klasik sejarah Indonesia modern yang ditulis dalam bahasa Mandarin.
Namun, seperti yang ditulis oleh Leo Suryadinata, karena aktivitasnya sebagai perwakilan partai Kuomintang (KMT) di Indonesia, Ma Shuli sempat ditahan oleh pihak berwenang pada tahun 1958 akibat friksi politik yang terjadi saat itu. Pada 1959, Ma bersama sejumlah petinggi KMT di Indonesia bahkan diusir dari Jakarta. Di Taiwan, ia kemudian menjadi anggota Dewan Legislatif Taiwan dan kepala Bagian Ketiga Komite Pusat KMT. Ma Shuli meninggal di Taipei pada 19 Juli 2006.
Justus M Van de Kroef dalam “Chinese Assimilation in Indonesia” (1953) menulis Thien Sung Yit Po adalah media KMT di Jakarta yang sangat nasionalis sehingga banyak perang-narasi dengan Tiongkok komunis —yang kemudian menjadi Republik Rakyat Tiongkok (PRC)— untuk mengambil hati pembaca Tionghoa di Indonesia.
Sementara Tsuda Koji dalam “Kung Yung Pao, The Only Daily Newspaper for ethnic Chinese in Java during Japanese Occupation: An Overview” menulis di era pra-kemerdekaan sangat banyak media Tionghoa baik yang berbahasa Melayu dan Mandarin terbit di Indonesia.
Kroef juga menulis, pertumbuhan pers Tiongkok sangat penting dalam memberi karakter mandiri bagi komunitas Indo-Tiongkok modern. Koran Tiongkok tertua, Sin Po, yang didirikan pada tahun 1910, sejak awal mencerminkan dengan saksama aspirasi baru komunitas Indo-Tiongkok.
Pers berbahasa Indonesia di Taiwan
Sementara itu, saat ini, seiring migrasi orang Indonesia ke Taiwan terutama untuk kebutuhan kerja selama beberapa dekade, media informasi juga menjadi hal yang sangat penting. Untuk memenuhi kebutuhan informasi tersebut media cetak yang mewartakan informasi dalam Bahasa Indonesia muncul di Taiwan terutama di era 2000-an. Meski kemudian banyak di antaranya yang gugur seiring digitalisasi media, bentuk-bentuk media baru berbahasa Indonesia yang ditujukan untuk kebutuhan diaspora Indonesia di Taiwan makin bermunculan.
Ketua International Migrant Alliance (IMA) Eni Lestari Andayani dalam salah satu wawancara dengan CNA menyebut informasi adalah kunci dari migrasi. Oleh karena itu Eni mengapresiasi rekan-rekan di Taiwan yang berinisiatif membangun jalur komunikasinya.
Mengutip data dari Kementerian Luar Negeri Taiwan (MOFA) berdasarkan laporan Reporters Sans Frontières (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Global 2022, Taiwan menempati urutan ke-38 secara global dan urutan pertama di Asia sebagai "Negara Bebas". Selain itu, tingkat kebebasan dan keragaman masyarakat di Taiwan juga menempati urutan kedua di Asia selama dua tahun berturut-turut.
Selesai/JA