Washington, 18 Agu. (CNA) Taiwan perlu menghadapi realitas baru berupa tarif AS yang lebih tinggi dalam beberapa tahun mendatang, kata seorang mantan pejabat Gedung Putih hari Minggu (17/8), seraya mencatat bahwa pemerintahan Trump memandang kebijakan perdagangan terpisah dari kebijakan strategis, meski tetap menganggap Taipei sebagai mitra strategis utama.
Alexander Gray, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil asisten presiden dan kepala staf Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih selama masa jabatan pertama Trump, menyampaikan komentar tersebut dalam sebuah wawancara dengan CNA.
Gray baru-baru ini menyelesaikan kunjungan ke Taiwan di mana ia berbicara di Forum Ketagalan tahunan -- Dialog Keamanan Indo-Pasifik di Taipei awal bulan ini.
Ketika ditanya tentang beberapa topik yang ia angkat selama kunjungannya ke Taipei, Gray mengatakan kepada CNA bahwa banyak percakapannya di Taiwan pada dasarnya adalah mendengarkan orang-orang "Mengeluh tentang kebijakan perdagangan Presiden Trump."
"Dan ini [tarif yang lebih tinggi] tidak akan berubah. Dan saya tidak berpikir presiden berikutnya, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, akan mengubahnya juga," katanya.
"Itu adalah realitas baru yang harus kita hadapi ... dan jika kita terus memperdebatkan premisnya, kita hanya membuang-buang waktu dan mengalihkan perhatian kita," tambahnya.
Menurut mantan pejabat AS tersebut, Trump telah menekankan bahwa ia memandang kebijakan perdagangan "Terpisah dari kebijakan strategis."
"Dia [Trump] berpikir kita bisa memiliki hubungan strategis yang hebat sambil tetap memiliki kekhawatiran nyata tentang kebijakan perdagangan suatu negara."
Gray, anggota tim transisi presiden 2016 di Departemen Luar Negeri, mengungkapkan bahwa selama masa jabatan pertamanya, Trump berupaya memberlakukan tarif yang lebih tinggi pada beberapa negara tetapi dihentikan oleh menteri pertahanan, menteri luar negeri, dan penasihat keamanan nasional, yang mengutip kekhawatiran atas kemitraan strategis.
"Itu semua tidak terjadi lagi, karena ada pemahaman di pemerintahan ini bahwa ini adalah dua isu yang terpisah," dan ia mengatakan Taiwan harus menerima realitas baru ini.
Gray menyarankan bahwa Taiwan dapat mengambil beberapa langkah untuk menarik perhatian Trump dalam perdagangan bilateral, termasuk meningkatkan investasi dan membuat komitmen untuk "Melakukan hal-hal di AS yang menciptakan lapangan kerja" sebagai cara untuk mendapatkan tarif yang lebih rendah.
Amerika Serikat memberlakukan tarif dasar sebesar 20 persen pada barang-barang buatan Taiwan yang mulai berlaku pada 7 Agustus, lebih tinggi dari tarif 15 persen yang dikenakan pada barang-barang buatan Jepang dan Korea Selatan, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas dampak tarif tersebut terhadap ekonomi Taiwan.
Setelah pengumuman tarif 20 persen, Presiden Lai Ching-te (賴清德) mengatakan AS tetap terbuka untuk diskusi tarif lebih lanjut dengan Taiwan, karena kedua pihak belum merampungkan kesepakatan perdagangan mereka, dan menyebut tarif tersebut sebagai "sementara."
Taiwan bukan alat tawar-menawar
Gray juga mengatakan kepada CNA bahwa ia yakin Trump tidak akan pernah menggunakan Taiwan sebagai alat tawar-menawar saat bernegosiasi dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping (習近平).
"Taiwan telah menjadi kepentingan nasional inti Amerika Serikat. Otonomi dan kedaulatan Taiwan telah menjadi kepentingan inti kami selama beberapa dekade.
"Saya tidak melihat alasan mengapa Presiden Trump, untuk pertama kalinya dalam delapan tahun masa jabatannya, akan berkompromi pada kepentingan inti Amerika Serikat."
Namun, ia menyatakan keprihatinan bahwa karena politik domestik, Taiwan belum menunjukkan tekad yang cukup untuk meningkatkan anggaran pertahanannya, merujuk pada fakta bahwa partai oposisi di Taiwan telah mencoba memotong dan/atau membekukan sebagian anggaran pertahanan.
"Sepertinya Taiwan tidak memiliki kapasitas politik domestik untuk melakukan investasi besar [di bidang pertahanan]."
Meskipun ia percaya Taiwan berada di jalur yang benar dengan reformasi pertahanannya, Gray mengatakan skala peningkatan anggaran pertahanan yang direncanakan Taipei tidak cukup untuk mengatasi besarnya ancaman yang ditimbulkan oleh Tiongkok.
"Skala ancaman yang kalian hadapi dari Tiongkok sangat besar, dan skala, ancaman yang ditimbulkannya terhadap kemampuan kami untuk campur tangan dengan sukses, juga sangat besar sehingga peningkatan bertahap yang kalian lakukan masih belum cukup."
Pada tahun 2025, Kabinet Taiwan mengalokasikan NT$647 miliar (Rp 348 triliun) untuk anggaran pertahanan, yang setara dengan 2,45 persen dari PDB. Pemerintahan Presiden Lai Ching-te (賴清德) telah berulang kali berjanji untuk menaikkan anggaran militer menjadi lebih dari 3 persen dari PDB.
Sementara itu, di Taipei, ketika diminta mengomentari pernyataan Gray, Anggota Dewan Kota Taipei Vincent Chao (趙怡翔) mengatakan kepada CNA bahwa Washington telah lama menegaskan bahwa kebijakan tarifnya tidak ada hubungannya dengan kebijakan Indo-Pasifiknya.
Chao, dari Partai Progresif Demokratik yang berkuasa, pernah menjabat sebagai direktur divisi politik di kantor perwakilan Taiwan di Amerika Serikat dari 2019 hingga 2021.
Ia mengatakan bahwa Trump telah memprioritaskan beberapa kebijakan sejak kembali ke Gedung Putih awal tahun ini, yang mencerminkan ideologi jangka panjangnya "America first."
Sementara pemimpin Amerika tersebut berupaya meyakinkan sekutu atas komitmen keamanan AS, ia juga percaya bahwa mereka -- termasuk Taiwan -- harus berinvestasi jauh lebih besar dalam pertahanan mereka sendiri daripada hanya mengandalkan Washington, kata Chao.
Dalam hal perdagangan, tambahnya, Trump fokus pada penciptaan lapangan kerja di AS dan percaya bahwa negara tersebut telah dimanfaatkan oleh mitra dagangnya selama beberapa dekade.
Selesai/ML