ANALISIS /Ragam penilaian akademisi Indonesia di Taiwan soal pidato Hari Nasional Lai

11/10/2024 18:59(Diperbaharui 11/10/2024 22:43)
Presiden Lai Ching-te berpidato pada acara perayaan Hari Nasional di depan Kantor Kepresidenan, Kamis. (Sumber Foto : CNA, 10 Oktober 2024)
Presiden Lai Ching-te berpidato pada acara perayaan Hari Nasional di depan Kantor Kepresidenan, Kamis. (Sumber Foto : CNA, 10 Oktober 2024)

Taipei 11 Okt. (CNA) Pengamat asal Indonesia di Taiwan buka suara terhadap pidato Presiden Lai Ching-te (賴清德) di Hari Nasional Republik Tiongkok (ROC), nama resmi Taiwan, Kamis (10/10), yang tidak hanya menegaskan posisi Taiwan yang berbeda dengan Republik Rakyat Tiongkok (PRC), namun juga menyentil situasi politik dalam negeri antara kelompok prounifikasi dan prokemerdekaan.

Tidak provokatif

Peneliti asal Indonesia di Taiwan dari University of Western Australia, Ratih Kabinawa kepada CNA mengatakan pernyataan Lai pada pidato Hari Nasional hanya menegaskan kembali sikap yang selama ini disampaikan pendahulunya, mantan Presiden Tsai Ing-wen (蔡英文) dan tidak bersifat provokatif.

Menurut Ratih, pidato Lai juga memaparkan fakta bahwa Tiongkok saat ini yang dipimpin PRC baru dimulai pada 1949, berbeda dengan Republik Tiongkok yang dibentuk Sun Yat Sen pada 1912.

"Sampai sini tidak ada hal yang provokatif karena semuanya fakta. Ini menjadi sebuah pengingat saja," kata Ratih yang berbasis di Taipei.

Kendati demikian, Ratih menilai pidato ini ditanggapi hangat oleh berbagai pihak karena momentum beruntun yang terjadi belakangan terkait Taiwan.

Misalnya, belum lama ini, kata dia, beberapa negara menyuarakan dipertimbangkannya partisipasi Taiwan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Majelis Umum PBB, yang kemudian diikuti beberapa pidato Lai sebelum Hari Nasional seperti tentang "PRC tidak memiliki hak untuk mewakili Taiwan".

Selain itu, apa yang ditetapkan Lai sebagai Presiden dari Partai Progresif Demokratik (DPP) juga selalu dianggap provokatif oleh publik internasional karena ketidakpahaman mereka pada situasi domestik di Taiwan, tambah Ratih.

"Perhatian internasional terhadap Lai lebih ke karakter dia sebelum dia jadi presiden dengan menganggap ia terpilih untuk mengimbangi Tsai Ing Wen yang cukup ke tengah. Padahal di DPP ada banyak faksi. Ini enggak banyak dipahami oleh publik internasional," kata Ratih.

Tak serta merta picu eskalasi

Ratih menampik anggapan sebagian pihak yang menilai pernyataan Lai bisa membahayakan masyarakat Taiwan dan memicu peningkatan ancaman dari Tiongkok kepada Taiwan. Soalnya, menurut dia, Lai justru menyampaikan apa yang dirasakan publik Taiwan saat ini.

Mengacu pada survei rutin yang dilakukan National Chengchi University (NCCU), dia mengungkapkan, peningkatan jumlah orang Taiwan yang mengidentifikasi dirinya sebagai "Orang Taiwan" dari pada "Orang Tiongkok" semakin besar, begitu juga dengan persepsi masyarakat pada status quo.

Lagi pula faktor yang mungkin memicu eskalasi di Selat Taiwan tidak hanya bergantung pada sikap Taiwan, tetapi bisa dipengaruhi faktor eksternal seperti Pemilihan Umum Amerika Serikat hingga situasi di Timur Tengah, tambah Ratih.

"Saat ini harapan publik Taiwan juga lebih fokus pada kesejahteraan ekonomi di dalam negeri ketimbang masalah Tiongkok," ucap dia.

Menentang "Prinsip Satu Tiongkok"

Sementara itu, kandidat doktor asal Indonesia di Program Doktoral Asia-Pasifik NCCU, Aswin Lin, mengatakan ia tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan Lai soal saling tidak tunduknya ROC dengan PRC, yang merupakan pendirian yang juga dimiliki Kuomintang (KMT), partai oposisi terbesar Taiwan.

Namun, berbeda dengan Ratih, Aswin mengatakan kepada CNA bahwa ia menilai poin ucapan Lai di pidato Kamis yang menentang "Prinsip Satu Tiongkok" dapat memicu eskalasi situasi.

Menurut dia, Taiwan adalah entitas yang tidak terpisahkan dari Tiongkok sehingga hubungan diplomatik hanya dapat dilakukan dengan pihak yang diakui sebagai Tiongkok yang sah, baik itu PRC yang beribukota di Beijing ataupun ROC yang beribukota di Taipei.

Aswin menjelaskan ROC adalah rezim yang kalah di Perang Saudara Tiongkok dan mendirikan pemerintah darurat dengan ibu kota di Taipei.

Ia mengatakan bahwa pernyataan Lai yang menyebutkan Tiongkok tidak memiliki hak untuk mewakili Taiwan bersifat provokatif.

Aswin juga menambahkan Lai harus berhati-hati terkait pernyataannya yang menyebutkan ROC telah mengakar di Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu, karena pemilihnya di pemilihan presiden Januari hanya sekitar 40 persen, tidak mayoritas.

Jangan keras hati

Aswin menambahkan DPP sebagai partai penguasa di Taiwan saat ini mestinya bijak mengelola hubungan asimetris dengan Beijing, karena jika terjadi eskalasi masyarakat Taiwan yang akan menjadi korban.

"Hubungan asimetris Beijing-Taipei tidak bisa dikelola bermodalkan keras hati," kata pria yang juga pernah menempuh studi di jurusan hubungan internasional Universitas Katolik Parahyangan dan Mingchuan University tersebut.

Menurut Aswin, DPP tidak rasional dalam mengelola hubungan lintas Selat Taiwan dengan menolak Konsensus 1992 dan memikirkan alternatif untuk meredam situasi yang semakin memanas.

"DPP hanya mengandalkan fakta di mana Amerika Serikat akan menolong Taiwan ketika invasi terjadi. DPP hanya mengeksploitasi rasa benci masyarakat terhadap pemerintah Beijing untuk meraih suara dalam pemilihan umum," kata dia.

Aswin mengarisbawahi bahwa DPP tidak melihat bahwa permasalahan utama ketika invasi terjadi adalah kerusakan yang diderita Taiwan.

Selain itu, ia mengecam orang-orang yang menanamkan ide bahwa Hari Nasional Sepuluh Kembar adalah hari kemerdekaan Taiwan, dengan menegaskan hari tersebut adalah peringatan dimulainya Revolusi Xinhai pada 10 Oktober 1911, yang akhirnya mengarah pada pembentukan Republik Tiongkok.

(Oleh Muhammad Irfan dan Jason Cahyadi)

Selesai/ ML

Simak tanggapan akademisi lain di Akademisi: Pidato Hari Nasional Lai berusaha jelaskan hubungan lintas selat

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.