Jakarta, 25 Maret (CNA) Sutradara Lola Amalia mengunjungi 12 kota untuk merekam kisah orang-orang Indonesia yang hingga saat ini masih hidup di pengasingan di luar negeri. Ia mendokumentasikannya dalam film "Eksil" yang ditayangkan di Indonesia, dengan harapan Pemerintah Republik Indonesia mau menghadapi kebenaran sejarah dan mewujudkan keadilan.
Film dokumenter ini fokus pada orang-orang Indonesia yang selama periode 1965 hingga 1966 terpaksa tinggal di luar negeri sebagai orang yang diasingkan karena dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau pendukung Presiden Soekarno. Selama 32 tahun pemerintahan kediktatoran Soeharto, mereka terjebak di luar negeri dan tidak bisa kembali ke Indonesia.
Lola Amaria, seorang sutradara berusia 46 tahun, juga merupakan seorang aktris film terkenal di Indonesia. Ia telah lama fokus pada sejarah dan keadilan sosial, khususnya terkait dengan pembantaian anti-komunis tahun 1965 dan ketakutan terhadap komunisme yang masih dirasakan dalam masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Tiga bulan mengarungi 12 kota Eropa, Lola mewawancarai sekelompok orang Indonesia yang dikirim oleh Soekarno untuk belajar di luar negeri namun tidak bisa kembali ke Indonesia karena pembantaian anti-komunis.
Ia menggambarkan bahwa selama masa pemerintahan Soekarno, mulai dari tahun 1960, sebanyak 600 hingga 700 pelajar dikirim secara bertahap untuk melanjutkan studi di Uni Soviet, Hungaria, negara-negara Eropa Timur lainnya, dan Tiongkok. Namun, mereka terjebak di luar negeri karena terjadinya peristiwa berdarah itu. Beberapa di antara mereka juga tidak ingin kembali karena menentang rezim Soeharto, ujarnya.
Lola menceritakan bahwa para pelajar Indonesia yang sedang berada di Tiongkok pada masa itu juga melalui Revolusi Kebudayaan Tiongkok, sehingga mereka terjebak dan ditempatkan di sebuah pusat pengungsian yang dijaga ketat.
Mereka tertahan di balik tembok, tidak boleh bekerja atau sekolah, dan dilarang mengikuti kegiatan apa pun. Meski pemerintah Tiongkok menyediakan makanan, air dan tempat istirahat, namun mereka tetap merasa itu menyakitkan bagaikan dipenjara, ungkap Lola.
Lola juga menyampaikan bahwa setelah bertahan lima hingga enam tahun, mereka yang tidak tahan akhirnya memilih meninggalkan Tiongkok. Sebagian pergi ke Uni Soviet atau Swedia, banyak juga yang akhirnya mencari suaka di Belanda hingga kemudian menjadi warga negara Belanda.
Ketika berbicara secara pribadi dengan Lola, mereka yang hidup dalam pengasingan itu berbicara terbuka tentang komunisme, PKI dan bagaimana Soekarno mengirim mereka ke luar negeri untuk belajar. Namun, mereka menjadi takut setiap kali Lola mengeluarkan kamera.
Setelah "Peristiwa 30 September," partai komunis menjadi tabu dalam masyarakat Indonesia dan dinyatakan sebagai organisasi ilegal, simbol-simbol komunisme seperti palu arit juga dilarang. Berdasarkan konstitusi Indonesia dan peraturan legislatif terkait, partai komunis secara eksplisit dilarang, sehingga tidak memiliki ruang untuk eksis di Indonesia.
Para korban berpendapat bahwa sejarah ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa dibicarakan. Presiden Indonesia Joko Widodo sendiri juga pernah menyatakan penyesalan atas peristiwa pembantaian anti-komunis tersebut.
Lewat film dokumenter ini penonton diharapkan dapat melihat bagaimana negara memperlakukan para pengungsi dengan tidak manusiawi. "Mereka tidak salah apa-apa. Mereka orang-orang pintar yang dikirim untuk belajar kemudian akan kembali untuk membangun Indonesia," ujar Lola.
Lola berharap masyarakat Indonesia dapat mendiskusikan sejarah ini dan meninjau hak-hak dasar orang-orang yang diasingkan, sementara di saat yang bersamaan juga berharap negara dapat meminta maaf secara terbuka atau mengajukan kasus mereka ke pengadilan internasional untuk memperjuangkan keadilan mereka.
(Oleh Zachary Lee dan Antonius Agoeng Sunarto)
Selesai/JC/ML