Sutradara Taiwan ulik kehidupan multikultur anak migran baru Indonesia lewat film dokumenter

17/11/2024 12:25(Diperbaharui 17/11/2024 12:29)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Tsai Chia-hsuan (kanan) di Subang. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)
Tsai Chia-hsuan (kanan) di Subang. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)

Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA

Taipei, 17 Nov. (CNA) Tsai Chia-hsuan, seorang sutradara film dokumenter muda asal Taiwan mengulik kehidupan multikultur anak migran baru Indonesia lewat film dokumenter terbarunya "Childhood in Between," yang akan ditampilkan pada 24 November di New Taipei City International Documentary Month.

Cuaca Taiwan yang mulai dingin ditambah aktivitasnya yang padat seiring setumpuk perencanaan untuk memutar film terbarunya "Childhood in Between" membuat kesehatannya agak terganggu. Namun Tsai tetap antusias saat diwawancarai The Central News Agency (CNA). "Film berperan penting dalam mengedukasi dan menginspirasi banyak orang," kata Tsai.

Pernyataan tegas Tsai didasari pada tekadnya saat merampungkan"Childhood in Between" yang memulai pengambilan gambar di tahun 2023 lalu. 

Film ini menceritakan kisah dua anak dari pernikahan campur Indonesia-Taiwan yang menghadapi pertemuan dua latar belakang berbeda: budaya Taiwan tempat mereka dibesarkan, dan warisan budaya Indonesia dari ibu mereka. Perjalanan mereka mengungkap berbagai penelaahan baru tentang identitas, keluarga, dan makna keberagaman.

Sebagai orang Taiwan, Tsai melihat orang Indonesia sudah menjadi bagian dari masyarakat Taiwan namun masih banyak orang Taiwan yang tidak mengenal kehidupan orang Indonesia di Taiwan.

"Saya mendapati bahwa masih ada banyak stereotip dan minimnya pemahaman tentang realitas yang dihadapi orang Indonesia," kata Tsai seraya berharap filmnya bisa menjadi salah satu referensi bagi orang Taiwan untuk mengenal orang Indonesia.

Simak video wawancara eksklusif CNA bersama Tsai di https://youtu.be/sjGcw6rz1c8

Tsai Chia-hsuan merekam kedua anak Euis di Bandara Internasional Taoyuan. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)
Tsai Chia-hsuan merekam kedua anak Euis di Bandara Internasional Taoyuan. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)

Berangkat dari ilmu sosial

Tsai lulus dari National Cheng Chi University, sebuah kampus ilmu sosial bergengsi yang ada di Taipei. Lingkungan ini, ditambah kegemarannya untuk menyelami banyak hal baru terutama tentang persilangan budaya, memantik dirinya untuk lebih dalam memahami kehidupan pekerja migran Indonesia (PMI) di Taiwan.

Saat menggarap karya pertamanya, "Mimi's Utopia" -- tentang Harmony Home, tempat penampungan anak-anak dari PMI yang tidak terdokumentasi -- dua tahun lalu, Tsai bertemu Euis, seorang mantan PMI asal Subang, Jawa Barat yang menikah dengan orang Taiwan dan memiliki dua anak. Pertemuan dengan Euis ini mengilhami dirinya membuat karya baru "Childhood in Between".

"Setelah Mimi's Utopia saya terus merekam orang tua dan anak-anak di Harmony Home tanpa arah yang jelas. Namun saya ingin fokus pada perspektif anak-anak, karena dokumenter tentang mereka masih sedikit," kata Tsai.

Awalnya Euis, kini bekerja sebagai staf di Harmony Home, enggan tampil di film Tsai. Meski demikian, karena Euis amat ramah dan antusias, ia tidak keberatan saat Tsai merekam momen-momen Euis bekerja. Di musim panas 2023, Euis menawarkan Tsai untuk ikut ke Indonesia untuk melihat upacara khitanan anak laki-laki Euis.

Ini menjadi kesempatan yang tak dilewatkan oleh Tsai. Apalagi ia hendak menangkap pengalaman unik anak Euis yang lahir dan besar di Taiwan dan berjarak dengan budaya Indonesia.

"Saya ingin menunjukkan perspektif  dan wawasan mereka tentang dunia, termasuk kunjungan ke Jawa Barat untuk acara khitanan ini. Itulah yang ingin saya tangkap dalam film ini," kata Tsai.

Anak laki-laki Euis dalam sebuah upacara adat di Subang. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)
Anak laki-laki Euis dalam sebuah upacara adat di Subang. (Sumber Foto : Tsai Chia-hsuan)

Pengalaman baru 

Proses pengambilan gambar di Indonesia juga menjadi pengalaman baru bagi Tsai. Ia cukup gugup karena sangat sedikit informasi mengenai Subang dalam bahasa Inggris dan Mandarin di internet. Jadi Tsai tak punya bayangan tentang seperti apa Subang dan harus bagaimana ia bersikap.

Apalagi, Euis sempat mewanti-wanti Tsai untuk berhati-hati. Soalnya banyak geng motor yang suka merampok bahkan membunuh.

Namun ketika ia sampai dan melakukan proses pengambilan gambar di Subang, semua berjalan dengan baik. 

Tsai tinggal selama delapan hari di rumah sepupu Euis dan bahkan menghadiri sejumlah momen penting seperti pengajian.

"Euis juga sangat senang karena cerita dan ritual tradisionalnya didokumentasikan. Anak laki-lakinya juga sangat suka dan senang untuk menunjukkan hidupnya kepada orang lain," kata Tsai.

Dapat penghargaan

Untuk film terbarunya ini, Tsai mendapat juara tiga di Penghargaan Film Dokumenter New Taipei City (NTCDF). Menurut Tsai, juri menyebut ada beberapa hal yang menarik dalam film yang ia garap di antaranya tentang impian anak laki-laki ini yang bertentangan dengan masa lalu ibunya.

Film Tsai akan diputar pertama kali pada 24 November ini di Fuzhong 15 Theater saat New Taipei City International Documentary Month. Penayangan dilakukan pada pukul 14.00 sampai 16.00.

"Saya berharap penonton bisa mengambil pelajaran hidup dari mereka melalui film saya," kata Tsai.

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.