Taipei, 20 Nov. (CNA) Kantor Kepresidenan Taiwan, Selasa (19/11) menanggapi pemenjaraan 45 mantan politisi dan aktivis di Hong Kong dalam kasus keamanan negara, menyebutnya sebagai pukulan bagi upaya kota tersebut dalam mengejar kebebasan dan demokrasi.
Dalam sebuah pernyataan pers, juru bicara Kantor Presiden Karen Kuo (郭雅慧) mengatakan bahwa pemenjaraan 45 orang tersebut dari empat hingga sepuluh tahun adalah pelanggaran berat terhadap upaya masyarakat Hong Kong mengejar kebebasan dan demokrasi.
Kuo mengecam keras Beijing atas penggunaan sistem peradilan untuk membatasi partisipasi politik dan kebebasan berbicara para aktivis prodemokrasi di Hong Kong tersebut, menambahkan bahwa langkah itu semakin menunjukkan bahwa kebijakan politik "satu negara, dua sistem" yang diterapkan di Hong Kong tidak layak.
Juru bicara tersebut mengulangi penolakan mantan Presiden Tsai Ing-wen (蔡英文) terhadap formula "Satu negara, dua sistem" untuk Taiwan yang diusulkan pemimpin Tiongkok Xi Jinping pada 2019.
Ia menambahkan bahwa Taiwan akan terus mendukung masyarakat Hong Kong dalam upaya mereka mencari kebebasan dan demokrasi serta meminta komunitas internasional untuk terus memantau apa yang terjadi di kota tersebut.
Sementara itu, Hong Kong Outlanders -- sebuah kelompok sipil beranggotakan orang Hong Kong yang berbasis di Taiwan -- mengatakan dalam pernyataan terpisah bahwa mereka akan terus angkat suara melawan ketidakadilan meski tetap menduga otoritas Beijing dan Hong Kong akan terus memberi tekanan pada aktivis prodemokrasi.
Kelompok tersebut juga meminta lebih banyak tindakan dari pemerintah Taiwan untuk melindungi hak-hak warga Hong Kong dan memastikan mereka dapat hidup di Taiwan dengan damai dan bebas dari ancaman represi lintas batas Beijing.
Sebelumnya, pada Selasa, 45 aktivis prodemokrasi, termasuk Joshua Wong (黃之鋒) -- tokoh penting sejak Gerakan Payung di Hong Kong pada 2014 -- dipenjara pengadilan tinggi kota tersebut atas tindakan konspirasi untuk melakukan subversi.
Wong adalah salah satu dari 47 aktivis prodemokrasi yang ditangkap dan dituntut pada 2021 di bawah hukum yang diberlakukan Beijing karena keterlibatan mereka dalam "pemilihan primer" yang diadakan kubu prodemokrasi pada Juli 2020 untuk memilih kandidat untuk pemilihan legislatif mendatang di kota tersebut.
Benny Tai (戴耀廷), mantan profesor hukum di Universitas Hong Kong, dihukum sepuluh tahun penjara.
Selesai/IF