Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Taipei, 18 Nov. (CNA) Jelang larut hari Minggu (17/11) di Taman Zhongyang, Zhongli, penonton mulai berdatangan untuk menyaksikan pertunjukan seni tubuh yang mengisahkan kehidupan para migran melalui Song of Migration di festival tahunan Iron Rose.
Sanggar tari TAI Body Theatre yang berbasis di Hualien bersama dua aktivis budaya asal Taiwan Wu Ting Kuan dan Lan Yu-Chen bekerja sama dalam pagelaran berdurasi satu jam ini yang merupakan bagian dari Iron Rose.
Layaknya pagelaran seni tubuh, koreografi yang ditampilkan para penampil cukup abstrak dan penuh improvisasi. Adegan yang satu dengan yang lain nampak seperti fragmen yang meski terpisah namun sinambung nyatanya.
Para penonton dipersilakan duduk di panggung dan mengitari taman yang berbentuk lingkaran tersebut. Sementara penampil beraksi di tengah, dimulai dengan memutar sejumlah lagu, lalu tarian yang terpisah, dan berlarian naik turun lapangan dan panggung yang berbentuk ampiteater berulang kali sambil membacakan sejumlah teks dalam Bahasa Mandarin.
“Itu adalah terjemahan Bahasa Mandarin dari lagu-lagu yang dibuat oleh pekerja migran Indonesia di Taiwan,” kata Lan kepada CNA.
Sebagai aktivis budaya, Lan dan Wu memang sudah cukup lama melakukan riset tentang aktivitas bermusik para pekerja migran Indonesia di Taiwan. Mereka mendokumentasikan lagu-lagu tersebut untuk memahami perasaan para PMI. Bahkan riset yang mereka lakukan sudah dibukukan pada tahun 2021 lalu dengan judul “Nyanyian di Perantauan.” Kini mereka juga tengah mempersiapkan buku kedua.
“Kami sajikan lagu-lagu ini kepada para penampil dari TAI dan merekalah yang memilih untuk dibacakan sebagai bagian dari pertunjukkan,” ucap Lan.
Kebanyakan lagu-lagu yang disajikan dalam pertunjukkan merupakan lagu yang sarat kritik dan kerinduan pada kampung halaman, seperti “Dari Rakyat Untuk Rakyat” dari band punk Indonesia berbasis di Taiwan, Southern Riot.
Lagu dengan lirik tentang “Menggantungkan impian” sebagai alasan orang merantau dan “Gantung diri” yang menggambarkan kepedihan nasib para pekerja migran ini misalnya, diinterpretasikan dalam adegan di mana semua penampil berusaha berjalan di atas titian dengan tambang sebagai pegangan serupa dengan jembatan gantung.
“Dalam Bahasa Indonesia, kalau punya mimpi, ada istilah menggantungkan mimpi, tapi belum tentu dapat yang kita mau,” kata Wu.
Arti migran secara luas
TAI Body Performance diinisiasi oleh Watan Tusi, seorang seniman dari suku orang asli Taiwan yakni suku Truku (Toroko) sejak 2013. Sebagai bagian dari suku orang asli, migrasi juga menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Dulu, banyak sekali masyarakat orang asli Taiwan yang semula tinggal di pegunungan dituntut migrasi ke kota besar untuk memperbaiki ekonomi. Terdapat kesamaan perspektif antara orang asli Taiwan dengan Pekerja Migran Asing, namun tentu ada konteks yang berbeda antara pengalaman yang satu dengan yang lain sehingga ia enggan mewakili satu pihak saja dalam karyanya.
Oleh karena itu, konteks migran yang disajikan dalam pagelaran ini bersifat umum, yang menggambarkan pengalaman hidup yang bisa jadi dirasakan oleh banyak orang.
Dalam proses penggarapannya, Watan serta Lan dan Wu juga mendatangi beberapa komunitas migran di Taiwan dan terlibat dalam kegiatan mereka seperti di antaranya latihan dan penampilan musik.
Taman Zhongyang dipilih sebagai lokasi pertunjukan dengan tujuan membaurkan pagelaran ini ke dalam ruang publik. Zhongli, sebagai salah satu wilayah di Taiwan yang sangat beragam, menjadi rumah bagi sejumlah pekerja migran dari berbagai negara. Selain itu, daerah ini juga menjadi tempat bermukim bagi banyak masyarakat adat Taiwan yang merantau ke kota-kota besar.
Taman ini juga kerap digunakan para pekerja migran untuk kongkow dan bercengkerama di akhir pekan.
Bau yang jadi bagian dari penampilan
Selain pagelaran seni tubuh, tepat di seberang penonton ada juga meja yang berisi sejumlah bahan makanan seperti pisang, sayuran, dan mi instan. Bahan makanan ini dimasak oleh seorang warga negara Indonesia yang juga bekerja di Taiwan, Rimang. Menurut Lan, ini merupakan bagian dari pertunjukkan.
Lan menuturkan saat melakukan riset di Zhongli, para seniman menemukan begitu banyak restoran dari berbagai negara di tempat tersebut dan bau menjadi representasi yang khas dari kekayaan masyarakat Zhongli ini.
Oleh karena itu, Rimang sengaja memasak sejumlah bahan makanan yang berbau cukup tajam seperti sambal terasi agar bau itu dihirup oleh penonton.
“Idenya spontan, dan Watan menawarkan kami untuk ikut tampil dengan membuat warung kami sendiri. Karena peran warung tidak hanya sebagai tempat makan tetapi juga tempat berkumpul buat mereka yang rindu rumah,” kata Lan.
Menurut Wu, pagelaran ini ke depan mungkin akan terus dieksplorasi dan dikembangkan bersama dan sangat mungkin ditampilkan lagi di masa depan dengan struktur yang lebih kompleks.
Selesai/JA