Jakarta, 10 Okt. (CNA) Empat dari 15 pengajar di Program Studi (Prodi) Cina Universitas Indonesia (UI) pernah menempuh studi di Taiwan, sedangkan ada dua yang belajar di Tiongkok, kata seorang dosen senior prodi tersebut.
Nurni Wahyu Wuryandari, dosen Prodi Cina UI yang meraih gelar doktornya di Tamkang University, menyatakan ia sangat menyukai lingkungan belajar dan metode pengajaran di Taiwan, serta mengungkapkan mata kuliah pilihan dari Taiwan sangat diminati mahasiswa Indonesia.
Kepada CNA, Nurni mengatakan ia awalnya pergi ke Taiwan hanya untuk belajar bahasa Mandarin, tetapi selama belajar di Program Bahasa Mandarin Internasional (ICLP) National Taiwan University (NTU), ia merasa sangat terkesan dengan metode pengajaran dan lingkungan riset akademis Taiwan.
Ini membuatnya memutuskan untuk melanjutkan studi doktoral di Taiwan, kata dosen senior yang memperoleh gelar doktornya pada 2013 silam tersebut.
Nurni menjelaskan bahwa lebih dari seperempat dari 15 pengajar di Prodi Cina UI pernah belajar di Taiwan, di mana hanya ada sedikit yang di Tiongkok, dan sebagian besar lainnya meraih gelar mereka di UI.
“Ada empat orang yang belajar di Taiwan, hanya satu orang yang lulus dari Zhejiang University di Tiongkok, dan satu orang lainnya pernah belajar bahasa Mandarin di Beijing,” katanya kepada CNA.
Nuri juga mengungkapkan bahwa "Terdapat beberapa perbedaan dalam penggunaan dan pengucapan bahasa Mandarin antara Tiongkok dan Taiwan, namun karena materi utama yang diajarkan adalah sejarah dan sastra Tiongkok, tidak akan ada banyak perbedaan dalam pengajaran dari dosen yang pernah belajar di Tiongkok."
Para mahasiswa mencatat bahwa karena latar belakang pendidikan para dosen yang berbeda, mereka sering menjelaskan perbedaan bahasa antara kedua wilayah tersebut di kelas.
Aisyah Nabilah, salah satu mahasiswi, memberi contoh bahwa dosen pernah memberi tahu mereka pelafalan kata "sampah" berbeda antara Tiongkok dan Taiwan.
Mahasiswa lain, Rizky, berpendapat, “Mereka (Tiongkok) tuh pakainya aksara yang sederhana, yang simplified gitu...Terus kalau yang di Taiwan, mereka pakainya yang aksara tradisional gitu, yang lebih sulit untuk ditulisnya gitu.”
Nurni mengatakan bahwa selain mengembangkan kemampuan bahasa Mandarin mahasiswa, Prodi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI juga sangat memerhatikan karya sastra dan sejarah Tiongkok.
Selain itu, katanya, disertasi doktoralnya di Tamkang University meneliti dokumen-dokumen terkait Jawa di "Siku Quanshu" (Ensiklopedia Dinasti Qing).
Rebecca, seorang mahasiswi lainnya, mengatakan kepada CNA bahwa di UI mereka harus belajar bahasa klasik Tiongkok, di mana “Saya merasa itu susah karena penggunaan bahasa klasik sendiri berbeda dengan bahasa modern yang digunakan sehari-hari.”
Nurni mengungkapkan bahwa Prodi Cina UI dan Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) di Indonesia sejak tahun lalu telah bersama-sama membuka mata kuliah pilihan “Pengantar Masyarakat dan Kebudayaan Taiwan”, yang memperkenalkan politik, ekonomi, dan budaya Taiwan.
Mata kuliah ini sangat diminati para mahasiswa, katanya, di mana mahasiswa dari kampus lain bahkan berebut untuk mengambilnya.
Nurni menyebutkan bahwa Fakultas Ilmu Budaya UI juga pernah mengundang akademisi Taiwan untuk mengajar secara daring, tetapi ia merasa pertukaran akademik antara kedua negara masih kurang.
Ia mencontohkan, “Sangat sedikit akademisi Taiwan yang bersedia mengajar di Indonesia, dan juga jarang ada orang Taiwan yang menempuh pendidikan di Indonesia.”
Nurni menyatakan bahwa ia berharap di masa depan akan ada lebih banyak kerja sama akademik antara Taiwan dan Indonesia, seperti dalam penelitian akademis.
(Oleh Zachary Lee dan Jason Cahyadi)
Selesai/ ML