FEATURE /Pelarangan ponsel di ruang kelas: Perdebatan lintas negara

08/07/2025 13:24(Diperbaharui 08/07/2025 13:24)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Seorang siswa memegang tanda yang menyerukan agar suara pelajar didengar di luar Kementerian Pendidikan di Taipei pada 24 Mei 2025. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Seorang siswa memegang tanda yang menyerukan agar suara pelajar didengar di luar Kementerian Pendidikan di Taipei pada 24 Mei 2025. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Oleh Jason Cahyadi, reporter staf CNA

Kementerian Pendidikan (MOE) Taiwan berencana mengumpulkan telepon genggam pelajar tingkatan tertentu selama di sekolah, sementara di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi telah melarang sebagian pelajar membawa ponsel. Kedua kebijakan yang serupa ini telah menarik komentar beragam.

Taiwan

MOE pada 21 Mei mengumumkan draf "Prinsip Pengelolaan Membawa Gawai ke Sekolah bagi Siswa SMA ke Bawah" yang direncanakan mulai diterapkan pada semester baru tahun ajaran 2025/2026 yang dimulai September.

Untuk SMA dan SMK, menurut draf, aturan terkait penggunaan ponsel disusun pihak sekolah, yang wajib menggelar rapat dengan perwakilan guru, orang tua, dan siswa dengan proporsi pelajar setidaknya sepertiga jumlah peserta. Hasil diskusi harus disahkan melalui rapat dewan.

Sementara itu, menurut draf, untuk siswa SD dan SMP, pengelolaan dilakukan melalui penyimpanan terpusat di tingkat sekolah atau kelas, tanpa perlu rapat tiga pihak serta cukup melalui persetujuan dan pengumuman hasil rapat dewan.

Sebelumnya, MOE pada 2020 telah mengumumkan "Prinsip Pengelolaan Penggunaan Gawai di Sekolah bagi SMA ke Bawah" yang bertujuan untuk menyeimbangkan manfaat perangkat digital dalam pembelajaran dan mencegah ketergantungan berlebihan, serta mengurangi fenomena "kecanduan internet" di sekolah.

Prinsip tersebut diperkuat dan diumumkan dalam bentuk draf tahun ini setelah MOE mengumpulkan berbagai masukan dan merujuk pada praktik internasional.

Jawa Barat

"Per hari ini anak SD dan SMP [di Jawa Barat] tidak boleh bawa motor dan HP," kata Dedi pada 2 Mei, dilansir CNN Indonesia. Menurut detik.com, hal ini ditetapkan seiring penilaiannya pada penggunaan ponsel oleh siswa yang kerap menimbulkan distraksi dalam kegiatan belajar.

Kebijakan ini disambut baik pemerintah, di mana Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid pada 14 Mei mengapresiasinya dengan menyebut Jawa Barat menjadi provinsi pertama yang siap menjalankan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

"Bahkan [implementasi PP Tunas] sudah dilengkapi dengan surat edaran yang mengatur agar di lingkungan sekolah tidak lagi boleh menggunakan gadget atau HP," kata Meutya. 

Menurut Meutya, tidak adanya penggunaan gawai di lingkungan sekolah oleh siswa melindungi mereka dari ancaman di dunia digital, seperti perundungan, pornografi, kekerasan digital, dan judi daring, dilansir Ayo Bandung.

PP Tunas, yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 28 Maret, bertujuan untuk mendukung upaya-upaya perlindungan anak saat mengakses ruang digital, namun tidak secara eksplisit melarang penggunaan ponsel di sekolah.

Kata masyarakat?

Secara umum, pengetatan penggunaan ponsel di sekolah oleh Dedi di Jawa Barat diterima positif oleh masyarakat. Survei Indikator Politik Indonesia pada 12-19 Mei, misalnya, menemukan 84,6 persen responden setuju hingga sangat setuju terhadap kebijakannya ini. Juga belum nampak adanya gerakan protes masif dari para pelajar.

Sejumlah perwakilan kelompok pelajar didampingi dua legislator Partai Progresif Demokratik pada 22 Mei menggelar konferensi pers menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Sejumlah perwakilan kelompok pelajar didampingi dua legislator Partai Progresif Demokratik pada 22 Mei menggelar konferensi pers menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sementara itu, di Taiwan, sejumlah orang tua dan kelompok pendidikan menyetujui pengelolaan berdasarkan usia. Namun, kekhawatiran muncul karena otonomi sekolah yang tinggi dapat menimbulkan perbedaan perlakuan antarsekolah.

Ketua National Alliance of Presidents of Parents Associations, Chen Chung-liang (陳崇良) menekankan bahwa kunci utamanya adalah membentuk kebiasaan disiplin diri siswa. Ia menilai orang tua harus bertanggung jawab dalam mendidik dan berkomunikasi agar anak bisa menghindari bahaya di dunia digital.

Namun, di kalangan siswa, Taiwan memberikan resistensi yang lebih kentara. Meskipun banyak kelompok pelajar mendukung prinsip pengelolaan ini, terutama dalam pendekatan bertingkat berdasarkan usia, mereka mengkritisi kurangnya kekuasaan siswa dalam pengambilan keputusan dan pembatasan waktu penggunaan.

Organisasi siswa EdYouth menekankan bahwa pengelolaan sebaiknya hanya selama jam pelajaran, bukan sepanjang waktu di sekolah. Ketuanya, Tsai Chi-yeh (蔡其曄), mengatakan larangan sepanjang hari mengabaikan kebutuhan pelajar untuk istirahat dan belajar mandiri.

Taiwan Students Association berpendapat bahwa pembatasan gawai berpotensi melanggar hak dasar, karena perangkat tersebut sering menjadi satu-satunya alat pelajar merekam bukti kasus perundungan atau kekerasan di sekolah.

Kelompok pelajar mengadakan aksi duduk diam di depan Gedung Kementerian Pendidikan pada 24 Mei untuk menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Kelompok pelajar mengadakan aksi duduk diam di depan Gedung Kementerian Pendidikan pada 24 Mei untuk menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Siswa harus dilibatkan

Pada 24 Mei, pelajar dari berbagai SMA melancarkan protes dengan duduk di luar gedung MOE. Salah satu perwakilan mengatakan tuntutan utama mereka adalah agar draf ini dicabut.

Menurutnya, MOE tidak pernah menanyakan kepada siswa apakah mereka membutuhkan pedoman tersebut, dan tidak ada survei sebelum draf diumumkan. Meskipun kementerian telah mengadakan dengar pendapat publik, ujarnya, skalanya terlalu kecil dan banyak siswa yang bahkan tidak mengetahuinya.

Ia juga menyatakan bahwa mewajibkan siswa untuk menyimpan ponsel secara kolektif tidak bermanfaat bagi pendidikan di masa depan, dan hanya membatasi penggunaan perangkat tanpa mengatasi akar permasalahan.

Seorang pelajar lainnya mengatakan bahwa siswa SMA seharusnya belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri alih-alih terlalu dibatasi. Ia menekankan bahwa teknologi baru bisa menjadi alat bantu mengajar yang efektif.

Sehari menjelang aksi, MOE menyatakan bahwa rancangan pedoman ini tidak dimaksudkan untuk membatasi penggunaan perangkat seluler, tetapi untuk memastikan para siswa dapat menggunakan alat tersebut dengan tepat melalui prinsip-prinsip yang jelas dan fleksibel.

Kementerian Pendidikan pada 1 Juni mengadakan forum dialog nasional terkait draf bersama pelajar. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Kementerian Pendidikan pada 1 Juni mengadakan forum dialog nasional terkait draf bersama pelajar. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Pada 1 Juni, MOE mengadakan forum, mengundang perwakilan pemuda dan pelajar untuk menyampaikan pendapat. Seorang pelajar menyatakan bahwa penyimpanan kolektif perangkat seluler membuat tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan sulit ditentukan.

Sementara itu, lanjutnya, banyak guru di sekolah mereka menggunakan ponsel saat mengajar dan proses pengumpulan serta pembagian ulang ponsel memakan waktu.

Seorang pelajar lainnya menyatakan bahwa rancangan kebijakan ini hanya berupa panduan administratif yang tidak memiliki mekanisme penegakan hukum.

Wu Ying-tien (吳穎沺), direktur Departemen Pendidikan Informasi dan Teknologi MOE, mengatakan kementerian akan meninjau kembali prinsip-prinsip dalam draf sebagai respons kekhawatiran para pelajar.

Namun, hingga kini, belum ada perkembangan resmi yang diumumkan.

Ilusi?

"Kami memperkirakan besar kemungkinan rancangan itu tetap akan diberlakukan pada semester berikutnya," kata Tsai Cheng-yu (蔡承佑), penanggung jawab Action to Defend the Student Rights in Taiwan yang terlibat dalam protes, dalam wawancara bersama CNA.

"Saya percaya sebagian besar pelajar, seperti kami, juga sangat menentang kebijakan penyitaan ponsel secara paksa seperti ini. Karena sejujurnya kebijakan seperti ini tidak memberikan manfaat bagi kami, malah menimbulkan lebih banyak ketidaknyamanan," ujarnya.

"Saya rasa Taiwan juga perlu secara perlahan mengubah pola pikir pendidikannya. Saya percaya bahwa pendekatan yang bersifat membimbing lebih efektif daripada pendekatan yang memaksa atau represif," kata Tsai.

Misalnya, kata Tsai, adalah dengan mengarahkan bagaimana menggunakan ponsel secara sehat dan positif. "Mengarahkan lebih baik daripada memaksa, apalagi melalui kekuasaan pemerintah untuk menyita ponsel."

Aksi kelompok pelajar 24 Mei untuk menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Aksi kelompok pelajar 24 Mei untuk menentang draf. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Menanggapi pertanyaan CNA tentang bagaimana jika ada yang berpendapat pengetatan ini dapat membuat pelajar lebih disiplin, Tsai mengatakan, "Pendekatan pendidikan yang hanya mengejar 'disiplin' hanya akan menciptakan siswa yang seperti mesin penghafal ujian, atau siswa yang seragam tanpa ciri khas."

Menurutnya, itu bukanlah hal yang diharapkan sistem pendidikan di Taiwan. "Sistem pendidikan kita secara keseluruhan telah berubah dari masa lalu yang otoriter menuju sistem yang lebih terbuka dan beragam. Kita terus melakukan perbaikan untuk mendukung kebebasan dan keberagaman."

"Kalau hanya demi mengejar 'disiplin' kita ingin kembali ke sistem lama, saya rasa itu tidak sesuai dengan kebutuhan siswa zaman sekarang maupun perkembangan masyarakat ke depan, baik dari segi sosial, karier, maupun masa depan individu siswa," tambahnya.

Tsai juga menepis pembatasan akses ke ponsel dapat membuat pelajar "Akan langsung belajar seperti yang diharapkan orang tua atau pemerintah," seiring "Mereka tidak akan langsung termotivasi untuk meningkatkan diri hanya karena ponselnya disita." Menurutnya, mereka bisa jadi malah hanya mencari hiburan lainnya.

"Sangat tidak realistis. Gagasan bahwa menyita ponsel akan langsung membuat siswa belajar adalah pandangan yang keliru. Saya pikir hal seperti itu jarang sekali benar-benar terjadi. Itu hanya sebuah ilusi yang terlalu disederhanakan," kata Tsai.

Selesai/IF

(Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
(Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.