Nasib PMI hadapi kecelakaan kerja di Taiwan

06/01/2025 16:58(Diperbaharui 06/01/2025 16:58)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Seorang pekerja migran Indonesia, Anas (kiri), dalam aksi protes di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 
Seorang pekerja migran Indonesia, Anas (kiri), dalam aksi protes di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 

Taipei, 6 Jan. (CNA) Tiga pekerja migran Indonesia sektor manufaktur berbagi pengalaman mereka menghadapi kecelakaan kerja di Taiwan dalam aksi yang digelar di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan (MOL), Minggu (5/1), dari biaya penyembuhan yang tidak ditanggung perusahaan hingga pemutusan kontrak sepihak masih jadi beban yang menghantui keselamatan dan pengabaian hak para pekerja.

Anas, seorang PMI yang telah bekerja di Taiwan selama 11 tahun, mengalami cedera pinggang parah setelah mengangkat material seberat 20 hingga 80 kilogram tanpa alat bantu di pabrik pencetakan besi sejak 2012.

Anas mengungkapkan bahwa pada tahun ke-11 bekerja, ia mulai merasakan keluhan yang semakin parah, hingga harus libur tujuh hingga sepuluh hari setiap tiga hingga empat bulan karena rasa sakit yang tak tertahankan. Pada tahun 2024, ia akhirnya memeriksakan diri ke dokter dan didiagnosis menderita syaraf kejepit serta pergeseran tulang.

“Akhirnya dokter mengharuskan saya operasi pencakokan tulang karena kalau tidak di operasi sakitnya tidak bisa sembuh. Tetapi anehnya majikan saya tidak mau mengklaim penyakit saya disebabkan oleh kecelakaan kerja, sehingga saya membayar sendiri biaya operasi dan setelah dua bulan masa pemulihan saya di PHK dan majikan enggan memberikan saya pesangon dan ganti rugi,” kata Anas.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Sutar, PMI lain yang telah bekerja di Taiwan selama delapan tahun di sebuah perusahaan kecil dan menengah. Ia melakukan lima pekerjaan yang masing-masing sangat berat, seperti mengangkat beban minimal dua hingga tiga ton setiap hari.

“Karena saya telah lama melakukan banyak pekerjaan menahan beban, tulang belakang pinggang saya mulai terasa sakit pada bulan September 2022. Saya pergi ke dokter di klinik dekat perusahaan dengan majikan saya, karena saya adalah satu-satunya karyawan di seluruh pabrik, dan bos sedang terburu-buru untuk mengirimkan barang, saya tidak punya pilihan selain menahan rasa sakit dan bekerja lembur. Saya bekerja seperti ini hingga Juni 2023,” kata Sutar.

Aksi protes aliansi migran di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 
Aksi protes aliansi migran di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 

Jika Anas menderita syaraf kejepit, Sutar didiagnosa mengalami herniasi diskus pada tulang belakang akibat pekerjaannya. Namun, karena ia baru bekerja di Taiwan selama tujuh tahun, dibutuhkan waktu minimal delapan hingga 10 tahun agar penyakitnya dapat diakui sebagai penyakit akibat kerja.

“Lima tahun saya bekerja sebagai sopir truk besar di Indonesia tidak termasuk dalam perhitungan oleh Biro Asuransi Tenaga Kerja pada saat pergantian pekerjaan. Oleh karena itu, walaupun saya menderita herniasi diskus akibat mengangkat benda berat dalam jumlah besar dalam waktu yang lama, namun tetap tidak dianggap sebagai sakit akibat kerja,” ucap Sutar yang diminta dokter untuk beristirahat dan memakai penyangga untuk melindungi tulang belakangnya selama tiga bulan. 

Karena majikannya tidak memberi izin untuk beristirahat, Sutar terpaksa berhenti bekerja lebih dari lima bulan setelah kontraknya diputus. Namun, karena tekanan finansial untuk menghidupi keluarga, ia merasa terpaksa untuk tetap bekerja.

“Tulang belakang pinggang saya masih sakit, setelah bekerja dalam waktu yang lama. Saya hanya bisa melakukan senam gunakan handuk setiap hari sebelum dan sesudah bekerja untuk mengurangi sakit pada tulang belakang,” ucap dia.

Dipaksa tandatangan

Sementara Muchsin merasa diperlakukan tidak adil oleh agensi dan perusahaan tempatnya bekerja, karena ia tidak menerima kompensasi gaji setelah mengalami cedera parah pada kaki akibat kecelakaan kerja. Ia bahkan harus menjalani beberapa operasi, dan pada operasi kedua, ia terpaksa membayar biaya sendiri.

"Ketika hendak menjalani operasi kedua, agensi memaksa saya untuk menandatangani surat yang menyatakan bahwa semua tanggung jawab atas perawatan medis, akomodasi, dan makanan adalah saya sendiri. Jika saya menolak untuk menandatanganinya, saya akan dibatalkan operasinya dan dideportasi," kata Muchsin, yang terpaksa menandatangani surat tersebut meskipun semua itu memerlukan biaya besar.

Kejelasan regulasi

Saat ini ketiga kasus mereka sudah dan sedang dilakukan mediasi dan advokasi oleh sejumlah pihak. Anas misalnya, kini penyakitnya sudah diakui penyakit akibat kerja dan akan mendapatkan pesangon dan ganti rugi. Namun, kata dia, perjalanan kasusnya sangat rumit karena kurangnya perhatian dari pemerintah akan peraturan tersebut.

“Kami adalah manusia, dan kesehatan adalah segalanya bagi kita. Di mana pun kita bekerja, selama penyakit ini disebabkan oleh pekerjaan, seluruh masa kerja harus dihitung, dan penyakit tersebut juga harus diakui sebagai penyakit akibat kerja,” kata Anas.

Aksi protes aliansi migran di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 
Aksi protes aliansi migran di depan Kementerian Ketenagakerjaan di Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 5 Januari 2025) 

Senada, Sutar juga berharap agar penyakit yang ia alami segera bisa dianggap sebagai penyakit akibat kecelakaan kerja. Adapun Muchsin masih kecewa karena kecelakaannya tidak dapat asuransi dengan alasan bukan kehilangan dan fungsi anggota tubuh. Sedangkan untuk mendapatkan pekerjaan kembali juga sangat tidak mudah karena riwayat kecelakaan bukan hal ringan, kata dia.

“Calon majikan pasti berpikir pada dampak pekerjaan saya. Dari kasus saya ini saya sangat berharap kepada pemerintah taiwan untuk lebih memperhatikan dan mengupayakan perbaikan kebijakan yang selama ini belum maksimal,” kata dia.

Sudah inspeksi

Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) Taiwan pada Minggu menyatakan bahwa mereka telah melakukan inspeksi ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan dengan risiko tinggi dan yang rentan terhadap kecelakaan kerja, yang mempekerjakan pekerja migran.

Kepala Departemen Keamanan dan Kesehatan Pekerjaan MOL, Chu Wen-yung (朱文勇), mengatakan kepada CNA bahwa dalam tiga tahun terakhir (2022 hingga 2024), telah dilakukan sebanyak 22.764 inspeksi ketenagakerjaan.

Di antaranya, ujar Chu, terdapat 186 kasus penghentian kerja dan 983 kasus yang didenda, dengan total denda mencapai NT$69,52 juta (Rp34,24 miliar).

Chu menyebut jika pekerja migran menemukan pelanggaran keselamatan tenaga kerja oleh majikan, mereka dapat mengajukan keluhan melalui saluran siaga 1955, yang telah menyediakan layanan dalam berbagai bahasa untuk menangani laporan pekerja kapan saja.

(Oleh Muhammad Irfan, Sean Lin, dan Jason Cahyadi)

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.