Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Suara denting gelas yang dicuci, kasak kusuk keramaian pagi, dan dendang dangdut yang mengalun dari pelantang suara seadanya menjadi cara bagaimana Shzr Ee Tan, seorang peneliti dari Royal Holloway, University of London untuk memahami hidup para pekerja migran Asing di Singapura.
Dalam pemaparan riset bertajuk Acoustic Regime of Labor di National Chengchi University (NCCU) pada Selasa (31/12), Tan merangkum pengalaman sonik para Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor domestik di Singapura dalam satu hari penuh untuk memahami hubungan antara suara dan kehidupan para PMI.
Istilah sound diary yang digunakan Tan menggambarkan cara ia mengungkapkan keseharian yang ia tangkap dalam riset tersebut.
“Mengungkap bagaimana teknologi digital – yang diakses melalui antarmuka ponsel, koneksi wifi berkecepatan tinggi di rumah majikan, serta pemahaman praktis tentang perangkat lunak gratis melalui pendekatan “life hacking” – telah, dan terus menjadi, krusial bagi jaringan sosial pekerja migran,” kata Tan.
Menurutnya, sebagai pekerja migran domestik yang hampir 24 jam dalam sepekan tinggal bersama majikan, hal ini membatasi mobilitas fisik dan geografis pekerja migran, terutama selama masa pandemi.
Dalam ruang terbatas tersebut, banyak di antara mereka yang telah memanfaatkan internet dan teknologi sebagai solusi untuk membangun komunitas dan melakukan pertukaran sosial, bahkan jauh sebelum berbagai lembaga nasional dan internasional beralih ke solusi berbasis teknologi selama masa karantina pada puncak pandemi Covid-19, ujar Tan yang melakukan risetnya pada tahun 2021.
Menurut Tan, dalam arti tertentu, pekerja migran sudah “Lebih maju dalam permainan teknologi” dan yang menarik adalah bagaimana musik, suara yang dihasilkan dari kerja, dan akustik lingkungan dapat secara sadar dipahami sebagai hal yang berperan penting dalam kehidupan mereka.
“Baik secara langsung, rekaman, dimediasi, tatap muka, maupun daring – dalam mendisiplinkan, membingkai, mendukung, dan mendorong kehidupan, pekerjaan, dan waktu luang pekerja migran,” kata Tan.
Merekam kegiatan
Salah satu responden penelitian Tan adalah Suprihatin Nengsih atau Neng, seorang PMI asal Serang yang telah bekerja di Singapura sejak tahun 2007 untuk satu majikan.
Di luar kesibukannya sebagai PMI, ia adalah pendiri PIS NUR ASSYFA, sebuah grup seni salawat untuk perempuan Muslim yang didirikan sejak 17 Agustus 2015. Neng juga aktif di Migrant Writers Singapore dan berpartisipasi dalam kegiatan donor darah dari tahun 2018 hingga 2021.
Dalam proses risetnya, Neng merekam suara dari seluruh kegiatannya yang dimulai pada 5.30 pagi dengan suara alarm dan ditutup pada pukul 22.00 untuk istirahat.
Selain Neng, ada pula Meikhan Sri Bandar, seorang PMI asal Batang, Jawa Tengah, yang tiba di Singapura pada akhir Januari 2003. Seperti Neng, Meikhan juga bekerja dengan satu majikan selama belasan tahun.
Meikhan memiliki hobi menyanyi lagu dangdut dan campursari, serta menulis cerpen dan puisi. Beberapa tulisannya telah diterbitkan dalam antologi dan lirik lagu. Hingga Juli 2016, ia telah menerbitkan 11 lagu.
Dalam risetnya mengenai Meikhan, Tan menggali suara-suara yang mengingatkannya pada rumah, seperti suara pesawat terbang. Meikhan mengungkapkan bahwa ia merasa takut naik pesawat setiap kali pulang ke Indonesia, meskipun ia selalu naik pesawat saat kembali ke tanah air. Selain itu, suara sepeda motor juga menjadi kenangan, karena sepeda motor adalah alat transportasi paling umum di kampung halamannya.
Menurut riset Tan, suara yang menurut Meikhan akan selalu ia ingat adalah suara majikan dan keluarga mereka, terutama cara mereka memanggil namanya dengan intonasi yang berbeda-beda.
Makna suara
Dari riset ini Tan menyadari bahwa suara dan musik memainkan peran yang jauh lebih besar daripada yang kebanyakan orang kira dalam mengisi kehidupan dan kerja pekerja migran.
Banyak pekerja memulai harinya dengan bunyi alarm, atau lebih sering – rekaman khusus yang dipilih di ponsel mereka. Suara atau musik juga sering menandai momen terakhir mereka sebelum tidur, beberapa mendengarkan daftar putar salawat, lagu Bollywood, atau hanya suara kipas angin, demikian penelitian Tan.
Tan memaknai bahwa sepanjang hari, cara memahami ulang hari kerja yang berpusat pada suara memberikan wawasan baru tentang temporalitas, memori, hubungan kekuasaan, ruang aman (baik secara sonik maupun lainnya), agensi pribadi, dan aspek lainnya.
Misalnya, menurut Tan, dialog drama Korea berbahasa Mandarin yang ditonton oleh orang tua lanjut usia di rumah majikan menjadi semacam pelajaran bahasa yang dipaksakan, namun juga berguna bagi pekerja rumah tangga yang berbagi ruang pendengaran dengan anggota keluarga lainnya.
Di penghujung hari, suara jangkrik yang terdengar di malam hari di ruang kota Singapura yang padat namun hijau dapat membangkitkan kenangan kehidupan desa di pedesaan Indonesia bagi para pekerja.
Selesai/JA