Taipei, 6 Jan. (CNA) Mantan diplomat Amerika Serikat, Mike Pompeo, mengatakan pada Senin (6/1) bahwa ia meyakini pemerintahan AS yang akan datang akan melanjutkan kebijakan serupa terhadap masalah selat Taiwan seperti yang diterapkannya saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada 2018-2021.
Presiden terpilih AS, Donald Trump, yang akan dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Januari, telah memilih Marco Rubio, seorang pejabat yang mendukung Taiwan, untuk menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, kata Pompeo dalam sebuah forum di Taipei.
Baca juga: Ketua Parlemen Han Kuo-yu akan pimpin delegasi delapan anggota ke pelantikan Trump
Rubio "Memiliki pandangan yang sama dengan saya dan mengerti pentingnya hubungan bersama ini [antara Taiwan dan AS]," ujar Pompeo pada forum tersebut pada Senin pagi.
Setelah memberikan pidato selama 20 menit, Pompeo ditanya oleh para peserta mengenai pandangannya terhadap susunan kabinet baru Trump dan prediksinya mengenai kebijakan terhadap selat Taiwan di masa jabatan kedua presiden terpilih tersebut.
Dalam sesi tanya jawab, Pompeo mengatakan bahwa ia yakin Trump akan melanjutkan kebijakan yang sama terhadap Taiwan dan Tiongkok seperti yang diterapkannya pada masa jabatan pertama.
"Saya sepenuhnya berharap Anda akan melihat pandangan dunia yang hampir sama muncul dari Gedung Putih, secara umum, dan dari komunitas keamanan Amerika yang sama seperti yang terlihat pada empat tahun pertama," kata Pompeo. "Saya rasa itu tidak akan berbeda secara dramatis."
Ia mengatakan bahwa selama masa jabatan pertama Trump 2017-2021, pemerintahan mengembangkan "Model yang cukup efektif untuk penangkalan terhadap musuh yang ingin merusak seperangkat aturan dan nilai yang sangat dihargai oleh rakyat Taiwan dan rakyat Amerika, yang merupakan seperangkat nilai yang sangat berbeda dari yang ada di Tiongkok daratan dalam Partai Komunis Tiongkok."
Sementara itu, dalam pidatonya di forum tersebut, Pompeo mengulangi pandangannya bahwa AS harus meninggalkan kebijakan "Ambiguitas strategis" terhadap Taiwan, yang telah diterapkan sejak hubungan diplomatik antara kedua belah pihak diputus pada 1979.
Mempertahankan ambiguitas mengenai apakah AS akan membantu membela Taiwan jika terjadi invasi oleh Tiongkok, katanya, "Menciptakan risiko," bisa "Menyesatkan komunitas internasional," dan "Meningkatkan agresi di kawasan."
"Salah satu hal yang paling saya banggakan, yang saya pikir Presiden Trump akan lakukan lagi, adalah menerima dunia seperti apa adanya, dan fakta seperti apa adanya, dan mencapai hasil yang lebih baik, bukan dari suatu ideal atau fantasi, tetapi berdasarkan kenyataan," kata Pompeo, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA) pada 2017-2018 sebelum diangkat menjadi Menteri Luar Negeri.
Mengenai ancaman kenaikan tarif yang mungkin diberlakukan Trump saat kembali ke Gedung Putih, Pompeo mengatakan Taiwan memang memiliki surplus perdagangan dengan AS yang "Tidak dapat diabaikan."
"Jadi kalian semua harus memikirkan itu saat berinteraksi dengan Amerika Serikat ke depannya," tambahnya.
Taiwan harus memikirkan alat-alat yang dapat digunakan untuk terus menghasilkan hasil yang baik bagi dirinya sendiri, kata Pompeo.
"Kalian harus mengutamakan Taiwan, seperti halnya Presiden Trump mengutamakan Amerika," sarannya.
Pompeo, yang menghadiri forum tersebut atas undangan dari LSM berbasis di Taipei, Formosa Republican Association, , merupakan kunjungannya yang kedua ke Taiwan dalam waktu kurang dari delapan bulan, setelah menghadiri upacara pelantikan Presiden Lai Ching-te (賴清德) pada 20 Mei 2024.
Saat menjadi bagian dari pemerintahan Trump yang pertama, pemerintah Taiwan memandang Pompeo sebagai "endukung teguh hubungan Taiwan-AS," karena ia telah menyetujui beberapa penjualan senjata ke Taiwan dan mengangkat beberapa pembatasan pada pertukaran bilateral resmi.
Beberapa kemitraan bilateral juga diluncurkan selama masa jabatan Pompeo sebagai Menteri Luar Negeri, termasuk Inisiatif Pendidikan, Dialog Kemitraan Kemakmuran Ekonomi, Konsultasi tentang Tata Pemerintahan Demokratis di Kawasan Indo-Pasifik, dan Perjanjian Kerja Sama Ilmiah dan Teknologi, menurut Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Selesai/IF