FEATURE /Peran pemuda Tionghoa dalam Sumpah Pemuda hingga suar kebangsaan nasionalis Tiongkok

28/10/2024 20:31(Diperbaharui 30/10/2024 01:07)
Para peserta Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27-28 Oktober dan melahirkan Sumpah Pemuda. (Sumber Foto : Museum Sumpah Pemuda)
Para peserta Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27-28 Oktober dan melahirkan Sumpah Pemuda. (Sumber Foto : Museum Sumpah Pemuda)

Oleh Jason Cahyadi, penulis staf CNA

Hari ini, 96 tahun lalu, pemuda dari berbagai etnis di nusantara mengikrarkan sumpah berbangsa satu, yang menjadi pemantik semangat nasionalisme Indonesia hingga kokoh berdiri sebagai republik hingga kini. Ada peran orang-orang Tionghoa dalam momen sakral ini. Di sisi lain, semangat kebangsaan Indonesia juga mendapat bahan bakar dari semangat nasionalis Republik Tiongkok (ROC) yang kini berbasis di Pulau Taiwan.

Adalah Sie Kong Lian, seorang Tionghoa yang menyediakan rumahnya di Jalan Kramat Raya No. 106 Jakarta sebagai tempat digelarnya Kongres Pemuda, tempat para putra dan putri Indonesia mengikrarkan diri untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu yakni Indonesia. Kini rumah Sie dikenal sebagai Museum Sumpah Pemuda.

Selain Sie, dilansir dari Historia, ada empat pemuda Tionghoa yang hadir dalam kongres tersebut, yakni Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond yang saat itu berusia 15 tahun serta teman-temannya yakni Liauw Tjoan-hok, Oei Kay-siang, dan Tjio Dinkwie.

Semangat Antikolonialisme

"Kami merasa senasib dan sependeritaan, menghadapi lawan yang sama, yaitu kolonialisme Belanda," kata Kwee yang hadir di Kongres saat ia masih duduk di bangku sekolah setingkat SMP, dilansir Historia.

Semangat antikolonial ini yang melandasi Kwee, Sie, dan banyak pemuda etnis Tionghoa di Hindia Belanda (nama sebelum Indonesia) lainnya untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan cara-cara yang mereka bisa. 

Misalnya Surat Kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po menjadi media massa pertama yang memuat lagu "Indonesia Raya" gubahan komposer Wage Rudolf Supratman.

Lagu ini diperkenalkan pertama kali di Kongres Pemuda dan kini menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia.

Pengusaha Tionghoa pemilik perusahaan rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung bahkan memuat utuh syairnya dalam buku peringatan lima tahun perusahaan tersebut.

Menurut Historia, lagu yang digubah WR Supratman ini juga dicetak dalam format piringan hitam oleh seorang Tionghoa, Yo Kim Tjan.

Apa yang dilakukan mereka, di masa kolonialisme Belanda tentu melanggar hukum. Namun semangat antikolonialisme membuat para pemuda ini berani bersikap.

Apalagi menurut Kweek Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa memang sangat baik.

Bangunan diadakannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. (Sumber Foto : Museum Sumpah Pemuda)
Bangunan diadakannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. (Sumber Foto : Museum Sumpah Pemuda)

Sementara itu, pemilik tempat diadakannya Kongres, Sie Kong Lian, memilih untuk menghibahkan rumahnya kepada negara. Menurut salah satu cucunya, Leny Atmadja, dikutip dari detik.com, sumbangsih ini diberikan untuk bangsa dan negara sehingga rumah tersebut bisa terus dipergunakan generasi Indonesia di masa depan.

"Kami serahkan dengan setulus hati, digunakan untuk kelanjutan sejarah kesatuan dari pemuda-pemudi Indonesia," kata Leny.

Dilansir BBC, rumah tersebut sejatinya adalah indekos sejumlah pemuda yang berperan penting dalam sejarah Indonesia, termasuk Ketua Kongres Pemuda II, Sugondo Djojopoespito; perumus naskah atau ikrar Sumpah Pemuda, Muhammad Yamin; hingga salah satu pentolan Partai Komunis Indonesia, Amir Syarifuddin.

Dilansir Historia, beberapa keturunan Tionghoa juga masuk militer hingga laskar perjuangan.

Di antaranya, di Pemalang muncul Laskar Pemuda Tionghoa, di mana tokohnya, Tan Djiem Kwan, giat memberikan kursus antikolonialisme pada pemuda Tionghoa dan mendorong pengibaran bendera Merah Putih.

Sementara itu, di Surakarta, terdapat Barisan Pemberontak Tionghoa yang dipimpin Yap Tek Thoh, yang menurut koran Gelora Rakjat memiliki asas dan tujuan untuk "Mempererat tali persaudaraan antara saudara-saudara Indonesia dan Tionghoa, juga menjunjung tinggi asas yang diwariskan oleh Dr. Sun Yat-sen, bapak dari Republik Tiongkok, menjaga keamanan umum dan menurut [kepada] peraturan dari pemerintah Republik Indonesia."

Napas nasionalisme dari Tiongkok


Tujuh belas tahun sebelum Kongres Pemuda, orang-orang Tionghoa baru saja merayakan kemenangan mereka, setelah Revolusi Xinhai, yang dimulai pada Pemberontakan Wuchang di Hari Sepuluh Kembar 10 Oktober 1911, mengantarkan keberhasilan mereka dalam meruntuhkan penjajahan Dinasti Qing.

Pergerakan kebangsaan ini menuntun pendirian Republik Tiongkok (ROC) pada 1912, sebuah negara-bangsa yang berlandaskan nasionalisme Tionghoa.

Sun Yat-sen (depan, ketiga dari kiri) berfoto bersama para menteri dan kepala dewan Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok dan yang lainnya. (Sumber Foto : Sun Yat-Sen Studies Database)
Sun Yat-sen (depan, ketiga dari kiri) berfoto bersama para menteri dan kepala dewan Pemerintahan Sementara Republik Tiongkok dan yang lainnya. (Sumber Foto : Sun Yat-Sen Studies Database)

Mundur ke akhir abad ke-19, tepatnya pada 1895, seorang pejuang revolusi Tiongkok yang memegang prinsip nasionalisme bangsa Tionghoa, Sun Yat-sen (孫中山), merencanakan sebuah pemberontakan terhadap Dinasti Qing.

Upaya Sun sempat gagal dan membuat dirinya harus memulai perjalanan pengasingannya di luar negeri selama 16 tahun.

Namun, di pengasingan ia justru mampu mempersatukan orang-orang Tionghoa perantauan baik di Eropa, Amerika, hingga Asia Tenggara untuk mendukung pergerakan kebangsaan mereka.

Pada Agustus 1905, di Jepang, Sun dan teman-teman seperjuangannya mendirikan Tongmenghui, perkumpulan rahasia yang memperjuangkan revolusi Tiongkok. Perkumpulan ini semakin besar dan memiliki cabang di sejumlah tempat di seluruh dunia.

Pengaruh nasionalisme Sun Yat-sen di Hindia Belanda

Peringatan ulang tahun ke-100 Lo Fu-hsing pada 1985 di Dahu, Miaoli, dihadiri banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk cucu Sun Yat-sen, Sun Tse-keong, dan istrinya. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Peringatan ulang tahun ke-100 Lo Fu-hsing pada 1985 di Dahu, Miaoli, dihadiri banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk cucu Sun Yat-sen, Sun Tse-keong, dan istrinya. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)


Di Hindia Belanda, seorang Tionghoa peranakan, Lo Fu-hsing (羅福星), menjadi salah satu pemuda yang terpapar semangat gerakan ini.

Lahir pada 1886 di Batavia (sekarang Jakarta), Lo terpapar ajaran Sun tentang nasionalisme revolusioner saat ia menempuh pendidikan di sekolah yang dinaungi Tiong Hoa Hwee Koan, sebuah organisasi yang didirikan tahun 1900 di Batavia. Beberapa pengajar di sekolah itu adalah pengikut dan bahkan asisten Sun.

Lo sempat pindah ke Miaoli, Taiwan pada 1903, sebelum akhirnya ia pergi ke Guangdong, Tiongkok pada 1906 dan bergabung dengan Tongmenghui setahun setelahnya. Ia kemudian kembali ke Batavia untuk menjadi guru di sekolah Tionghoa, sambil secara diam-diam merekrut para Tionghoa perantauan untuk ikut dalam perjuangan revolusi.

Pada 1911, ia memimpin lebih dari dua ribu milisi yang direkrut di Jawa kembali ke Guangdong dan terlibat dalam Pemberontakan Guangzhou Kedua yang berakhir gagal. Setelah itu, ia melarikan diri ke Batavia dan bertemu Huang Hsing (黃興), orang terpenting kedua di Tongmenghui setelah Sun, dan merencanakan pemberontakan dari sana.

Pada malam hari 10 Oktober 1911, Pemberontakan Wuchang meletus. Huang mengirimkan pesan rahasia kepada penerbit Tionghoa di Batavia, untuk meminta bantuan. Mengetahui hal ini, Lo segera merekrut lebih dari 2.000 tentara rakyat untuk membantu. Setelah melewati berbagai lika-liku, ROC pun resmi berdiri pada 1912.

Presiden yang menjabat saat itu, Ma Ying-jeou (kedua dari kiri), di peringatan 100 tahun pengorbanan Lo Fu-hsing di Dahu, Miaoli pada 2014. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Presiden yang menjabat saat itu, Ma Ying-jeou (kedua dari kiri), di peringatan 100 tahun pengorbanan Lo Fu-hsing di Dahu, Miaoli pada 2014. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sukarno: Terima kasih Dr. Sun Yat-sen

Semangat Sun tidak hanya mengilhami orang Tionghoa seperti Lo, tetapi juga proklamator Republik Indonesia (RI), Sukarno. Pada rapat BPUPKI di 1 Juni 1945, Sukarno beberapa kali merujuk Sun Yat-sen atas gagasan kemerdekaan Indonesia yang ia perjuangkan. 

Dalam rapat yang bertujuan membahas dasar negara RI yang akan didirikan itu, Sukarno mengatakan, meski ROC baru berdiri pada 1912, rancangan dasarnya sudah dibangun sejak 1885.

"Di dalam tahun 1912 Sun Yat-sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi weltanschauung (pandangan hidup)-nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan," kata Sukarno, yang melanjutkan dengan menanyakan "Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa?"

Di pidato 1 Juni itu, Sukarno menjelaskan gagasan tentang Pancasila, yang akhirnya dijadikan dasar negara RI yang diproklamasikan merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sukarno menyampaikan pidato di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. (Sumber Foto : Arsip Nasional Republik Indonesia)
Sukarno menyampaikan pidato di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. (Sumber Foto : Arsip Nasional Republik Indonesia)

Sukarno pun menyebut Sun sebagai seorang inspirator yang menanamkan rasa kebangsaan dalam dirinya, yang juga mendirikan partai bercorak nasionalisme, Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.

"Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat-sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat-sen," ujar Sukarno.

Pada pidato hari kemerdekaan di tahun 1959, Sukarno mengutip kata-kata Sun bahwa "Rintangan yang paling besar bagi demokrasi datang dari mereka yang menganjurkan demokrasi-politik tanpa batas, tetapi juga dari mereka yang tidak berani lagi menganjurkan demokrasi."

Titik akhir?

Lo Chiu-chao (depan, kedua dari kanan), keturunan Lo Fu-hsing (yang fotonya ada di kiri), pada 2014 berbicara di sebelah dinding bekas Penjara Taipei, tempat pejuang tersebut dihukum gantung. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Lo Chiu-chao (depan, kedua dari kanan), keturunan Lo Fu-hsing (yang fotonya ada di kiri), pada 2014 berbicara di sebelah dinding bekas Penjara Taipei, tempat pejuang tersebut dihukum gantung. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Kembali ke perjuangan Lo Fu-hsing, anggota Tongmenghui yang didirikan Sun dari Hindia Belanda. Setelah ROC berdiri, ia tak lantas menghentikan perjuangan revolusi nasionalisnya. Ia pergi ke Taiwan yang saat itu dijajah Jepang dan mendirikan cabang Tongmenghui di sana.

Ia pun melakukan kegiatan gerakan bawah tanah melawan Jepang dengan basis di Dadaocheng (sekarang bagian dari Distrik Datong, Kota Taipei), dan berulang kali pergi ke Taipei dan Miaoli.

Lo menggunakan berbagai organisasi revolusi untuk merekrut lebih banyak peserta, serta menyelundupkan senjata dari Tiongkok ke Taiwan untuk mengusulkan revolusi guna menggulingkan pemerintah kolonial Jepang.

Hingga Februari 1913, ia telah memiliki sekitar 500 anggota. Nahas, gerakan Lo tercium penjajah Jepang dan membuat ia serta 19 rekannya dihukum gantung di Penjara Taipei. Ia menutup usia pada usia 28 tahun.

Ketua Kuomintang saat itu, Ma Ying-jeou (depan, kelima dari kiri), didampingi para anggota partai yang didirikan Sun Yat-sen tersebut, meletakkan bunga di patung perunggu Lo Fu-hsing di Maolishan Park, Miaoli pada 2005. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Ketua Kuomintang saat itu, Ma Ying-jeou (depan, kelima dari kiri), didampingi para anggota partai yang didirikan Sun Yat-sen tersebut, meletakkan bunga di patung perunggu Lo Fu-hsing di Maolishan Park, Miaoli pada 2005. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sementara itu, revolusi Tiongkok kembali terpukul ketika Sun tidak memegang kekuasaan atas ROC. Republik yang baru berdiri tersebut pecah dan Sun wafat sebelum menyaksikan penyatuan kembali negara-bangsa yang ia dirikan itu.

ROC baru kembali berhasil menguatkan pijakannya saat Kuomintang (KMT), partai nasionalis yang sempat didirikan ulang Sun pada 1919, memegang kendali terhadap pemerintahan dan wilayahnya. Namun, republik tersebut mesti menelan kekalahan dalam Perang Saudara Tiongkok dari Partai Komunis Tiongkok (CCP).

Pemindahan peti mati Sun Yat-sen dari Beijing ke Nanjing pada upacara pemakaman resmi yang dilakukan pada 1929. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Pemindahan peti mati Sun Yat-sen dari Beijing ke Nanjing pada upacara pemakaman resmi yang dilakukan pada 1929. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Saat RI yang mempersatukan bangsa Indonesia telah berdiri 79 tahun, ROC, yang diperjuangkan Sun, Lo, dan para pejuang nasionalis Tionghoa lainnya, akhirnya terpaksa pindah ke Taiwan setelah dikalahkan komunis Tiongkok pada 1949.

Hingga saat ini, ROC secara defacto hanya berdiri di pulau Taiwan, Penghu, Kinmen, dan Matsu, sementara daratan utama Tiongkok berada di bawah kendali Republik Rakyat Tiongkok (PRC).

Pada 1971, Majelis Umum PBB memilih untuk mengeluarkan ROC dan menerima PRC, yang kemudian menggantikan posisi ROC di PBB serta menjadi salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Saat ini, hanya ada 12 negara di dunia yang secara resmi mengakui ROC.

Mantan pengawal Sun Yat-sen, Chou Chih-niu, memegang bendera Kuomintang yang ia terima dari Huang Hsing, setelah bertemu Lo Fu-hsing. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Mantan pengawal Sun Yat-sen, Chou Chih-niu, memegang bendera Kuomintang yang ia terima dari Huang Hsing, setelah bertemu Lo Fu-hsing. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Ketua Yuan Legislatif (Parlemen) saat ini yang berasal dari KMT, Han Kuo-yu (韓國瑜), dalam pidatonya di peringatan Hari Sepuluh Kembar 2024 -- yang memperingati 113 tahun Pemberontakan Wuchang -- menekankan pentingnya orang-orang untuk mengetahui tentang ROC, yang ia sebut keberadaannya tidak pernah mudah.

Meskipun tidak mungkin untuk menampilkan bendera kebangsaan ROC di banyak acara internasional, Han menekankan "Dengan harga diri dan keberanian, (kita) harus membuat dunia dan generasi muda mengetahui tentang keberadaan ROC."

Han juga mengucapkan terima kasih kepada para diaspora Tionghoa, di mana "Sejak permulaan revolusi bapak bangsa Sun Yat-sen, diaspora menjadi pendorong penting diberdirikannya ROC," dan mereka berjuang dengan susah payah di perantauan.

"Kalian adalah kesayangan yang paling disayang ROC," kata Han, seraya menambahkan ia berterima kasih kepada para diaspora serta berharap mereka datang mengunjungi Taiwan, di mana "ROC menyambut teman-teman diaspora Tionghoa kapan pun."

Selesai/IF

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.