Kaohsiung, 11 Agu. (CNA) Sejumlah pekerja migran dari Indonesia dan Filipina bersolidaritas pada Pekerja Migran Asing (PMA) sektor laut, Minggu (8/11) dalam acara bertajuk “Sing for Fishers” yang digelar di Pantai Cijin, Kaohsiung.
Digagas oleh Stella Maris Kaohsiung, lembaga keagamaan yang berfokus pada pemberdayaan PMA sektor laut di selatan Taiwan, acara ini mengundang sejumlah asosiasi penangkap ikan migran dari beberapa pelabuhan di Taiwan Selatan seperti Cijin, E’waliao, dan Donggang.
Ada pula kampanye Wi-fi Now for Fishers’ Rights at Sea yang mengkampanyekan kebutuhan wi-fi bagi nelayan migran.
Sedangkan penampil dalam acara ini adalah band dan musisi yang juga berasal dari komunitas PMA di Taiwan seperti Umi Khadiyah, FakeSHINE, dan Southern Riot dari komunitas pekerja migran Indonesia dan Even Horizon serta Guhit band dari komunitas pekerja migran Filipina.
Kepada CNA, Romo Nguyen Duy Trinh, direktur Stella Maris Kaohsiung menyebut acara ini digagas untuk meningkatkan kepedulian masyarakat pada kerja-kerja PMA sektor laut yang ikut menopang ekonomi Taiwan.
“Juga untuk mendukung mereka dalam menuntut kemajuan pada lingkungan kerja para Anak Buah Kapal (ABK) agar lebih baik,” kata pria yang akrab disapa Romo Trinh ini.
Romo Trinh mengatakan dibanding beberapa tahun lalu ada banyak kemajuan dalam pengelolaan pekerja migran sektor laut di Taiwan. Namun tentu hal ini belum cukup karena banyak sekali masalah yang harus dibenahi termasuk kondisi kehidupan mereka di atas kapal.
“Seperti misalnya mereka menghabiskan enam bulan di atas laut tanpa ada komunikasi karena tidak ada jaringan internet, jauh dari keluarga tanpa tahu kabar mereka, tentu ini sangat sulit bagi para ABK,” ucap dia.
Menurut Romo Trinh, pihaknya sudah kerja bersama sejumlah asosiasi nelayan migran di selatan Taiwan dalam waktu yang panjang.
Sehingga ketika pihaknya menginisiasi acara ini, dukungan datang dari berbagai macam pihak.
“Staf kami bekerja bersama dengan mereka, melihat kehidupan mereka, mendengarkan cerita mereka, dan ini sangat membantu untuk memahami bagaimana kondisi mereka di Taiwan,” ucap dia.
Sementara itu, Analis Bidang Tenaga Kerja Kantor dan Dagang Ekonomi Indonesia di Taiwan, Kadir dalam pidatonya mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi acara seperti ini mengingat kebanyakan pekerja migran sektor laut di Taiwan berasal dari Indonesia.
Kadir menyebut saat ini sudah ada kerjasama yang baik antara pemerintah Taiwan dengan Indonesia terkait penempatan PMI dan juga penyesuaian gaji PMI di berbagai sektor baik formal maupun informal.
Kendati demikian, Kadir menyebut masih ada hal yang perlu terus dibenahi di antaranya perlindungan bagi ABK kapal longline.
Musik yang memerdekakan
Southern Riot, band Indonesia yang berbasis di Taiwan mengaku antusias berpartisipasi dalam acara ini.
Rivai, pemain bass band punk ini mengaku tertarik terlibat dalam acara ini karena bersolidaritas pada sesama pekerja sangatlah penting. Apalagi para personel Southern Riot juga adalah pekerja di Taiwan.
“Apalagi eksploitasi PMA masih terjadi baik secara verbal maupun fisik, sehingga solidaritas seperti ini menjadi bagian dari gerakan kami dan juga musik kami,” kata Southern Riot.
Rivai menyampaikan musik adalah medium yang cukup mudah digunakan sebagai penyampai pesan. Ia pun berharap melalui musik, Southern Riot bisa menjadi suara dari mereka yang tak bisa bersuara.
“Sangat penting menyampaikan perjuangan teman-teman baik di Taiwan atau di mana pun melalui musik. Kami harap musik kami selalu bisa menjadi sarana untuk kami menyampaikan pesan-pesan kritis kami,” kata dia mewakili band yang beranggotakan Dandi (gitar), Bobo (drum), dan Rudi (vokal) ini.
Sementara itu, FakeSHINE, penampil Indonesia lainnya, menyebut sebagai sesama orang Indonesia di Taiwan dan juga bekerja, perlakuan tidak mengenakan memang kerap ditemui.
Namun, Krsna vokalis dari FakeSHINE menilai kondisi PMA sektor laut mungkin lebih rentan karena situasi di lingkungan kerja mereka yang ia nilai lebih tak menentu.
"Apalagi tadi katanya sulit untuk berkomunikasi ke darat. Oleh karena itu kami merasa perlu ikut bersolidaritas dengan teman-teman nelayan," ucap Krsna.
Band yang juga diisi oleh Biru (bass), Timur (gitar), dan Justin (drum) ini menyebut musik menjadi hal yang kini sangat mudah ditemui dan juga mudah menjangkau pendengar lewat menjamurnya platform musik daring yang tak sulit diakses.
"Dari situ kita bisa membuat lirik yang sekiranya mengajak perilaku positif," kata dia.
Sementara itu, Guhit band Filipina pengusung musik reggae yang juga berbasis di Taiwan mengatakan musik yang mereka mainkan banyak mengampanyekan pesan cinta damai dan juga pikiran yang terbuka.
Mereka berharap melalui musik seperti ini, Guhit bisa menyemangati dan berbagi inspirasi dengan para PMA lain di Taiwan tak terkecuali mereka yang bekerja di sektor laut.
Selesai/JC