Taipei, 11 Des. (CNA) Menghadapi tantangan demokrasi, Presiden Taiwan Foundation for Democracy (TFD) Liao Da-chi (廖達琪) menilai pentingnya untuk kembali ke akar dan menjalin hubungan dengan masyarakat demokratis lain di berbagai wilayah, disampaikan kepada CNA usai diskusi panel dalam rangkaian acara penghargaan Asia Democracy and Human Rights 2025 yang digelar di Taipei, Kamis (11/12).
Liao menyebut sejak 2006, TFD telah menganugerahkan penghargaan Asia Democracy and Human Rights ini kepada dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal Indonesia yakni Jaringan Gusdurian pada 2018 dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) di tahun 2025 ini.
PBHI: Penghargaan ini untuk korban pelanggaran HAM yang berani melawan
Menurut Liao, pemberitaan terkini tentang demokratisasi di Indonesia mungkin cenderung memperlihatkan kemunduran ketimbang kemajuan. Kendati demikian, keberadaan LSM yang konsisten pada penegakan demokrasi dan HAM seperti PBHI dan Gusdurian menunjukkan masih adanya harapan pada masa depan demokrasi di Indonesia.
“Demokrasi bukanlah sebuah jalan yang selalu mulus. Tetapi naik dan turun. Indonesia mungkin saat ini menghadapi situasi yang berbeda. Namun selagi masih banyak LSM yang bekerja keras dan bekerja bersama seperti PBHI, menggunakan narasi dan bakat spesialnya untuk menolong orang, maka selalu akan ada harapan,” kata Liao seraya mengatakan sebelum ditetapkan sebagai pemenang penghargaan, ada lima nominasi yang kemudian dinilai dalam dua tahap penilaian oleh sejumlah juri yang kompeten.
Adapun terkait peran Taiwan dalam menjalin solidaritas dengan gerakan demokrasi di Asia, Liao menyebut TFD melakukan upaya yang lebih banyak untuk menjaga solidaritas ini yang menghubungkan masyarakat demokratis di berbagai wilayah. Misalnya, TFD punya agenda reguler East Asia Democracy Forum yang menghubungkan jaringan gerakan masyarakat sipil dan organisasi yang mempromosikan dan memperkuat pembangunan demokrasi di kawasan tersebut.
“Menghubungkan masyarakat demokratis bersama-sama adalah cara lain meningkatkan solidaritas,” kata Liao.
Indonesia-Taiwan saling belajar dalam demokrasi
Dalam kesempatan yang sama, Profesor dari departemen Asia Tenggara National Chi Nan University James Wang (王文岳) menyebut Indonesia dan Taiwan saling belajar dalam demokrasi, meskipun tidak ada keterikatan langsung, tetapi momentum demokrasi yang dibangun di masa yang sama, memicu efek bola salju bagi demokrasi di dua negara, disampaikan dalam
Wang menyebut Taiwan dan Indonesia mengalami transisi politik yang sama di tahun 1970-an di mana kedua masyarakat di kedua negara berjuang untuk mewujudkan demokratisasi, begitu juga di tahun 1990-an ketika Taiwan mendapat kesempatan untuk menjadi negara yang lebih demokratis, di dekade yang sama juga kekuatan rakyat bangkit di Asia Tenggara seperti reformasi Indonesia di tahun 1998 dan juga gerakan rakyat di Filipina.
Menurut Wang, hal ini menunjukkan meski jejaring Taiwan dan Asia Tenggara tidak secara langsung saling terhubung tetapi apa yang terjadi di satu negara dengan negara lain saling memengaruhi dan memupuk solidaritas, dan itu berlangsung dalam beberapa gelombang demokratisasi yang terjadi di sejumlah negara di wilayah Asia Pasifik.
“Jadi kami sangat senang memiliki PBHI di ajang penghargaan ini. Kita bisa melihat bagaimana masyarakat sipil dapat terkoneksi satu sama lain. Walaupun pemerintahnya mungkin punya perspektif politik yang berbeda, tapi masyarakat mampu berdiri bersama dan berjuang untuk demokrasi,” kata Wang.
Terkait dengan Indonesia, Taiwan tentu memiliki keterikatan lebih mengingat banyak masyarakat Indonesia yang kini tinggal di Taiwan baik sebagai pekerja, pelajar, atau yang pindah karena pernikahan, kata Wang.
“Dan ketika kita berbicara tentang kerja-kerja NGO Indonesia terkait hak pekerja di Indonesia, tentunya mereka juga bisa membantu untuk melindungi hak-hak pekerja saudara-saudara Indonesia kami yang ada di Taiwan,” kata Wang.
Selesai/JA