Aktivis: Jadi ruang aman buat pembela HAM Asia, Taiwan harus punya regulasi

01/11/2024 18:18(Diperbaharui 01/11/2024 19:38)
(Sumber foto: #ACFW2024)
(Sumber foto: #ACFW2024)

Taipei, 01 Nov. (CNA) Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia menilai Taiwan mesti memiliki kepastian regulasi jika hendak menjadi ruang aman bagi pembela HAM terutama di Asia, hal ini disampaikan dalam forum Asia Citizen Future Week 2024 di Taipei, Jumat (31/10)

Hal tersebut salah satunya disampaikan oleh Fatia Maulidiyanti, direktur International Federation for Human Rights. Menurut Fatia hal jangka panjang yang perlu dipikirkan adalah apa yang perlu dilakukan setelah merelokasi pejuang HAM dari ancaman rezim di negaranya.

Forum yang digelar oleh Asia Citizen Future Association (ACFA) ini memang digagas di antaranya untuk menyikapi terancamnya ruang sipil di beberapa negara Asia terutama Asia Tenggara seiring konstelasi politik yang berubah.

Fatia yang merupakan perwakilan dari Indonesia mengatakan, jika niat baik Taiwan hendak membuka kemungkinan sebagai shelter bagi pembela HAM di Asia yang terancam maka perlu regulasi yang progresif dalam mengakui status pejuang HAM itu sendiri.

“Kita perlu regulasi yang pasti dan tidak hanya mengambil celah dari payung hukum untuk migrasi dan pengungsi,” kata Fatia.

Selain itu perlu juga dibangun akses yang lebih inklusif terutama dalam mengatasi hambatan bahasa dan membuat jejaring yang kokoh dengan kelompok-kelompok lokal.

Meski demikian, Fatia tak menampik potensi Taiwan sebagai salah satu ruang aman bagi pejuang HAM untuk kawasan Asia.

Ancaman Transnasional

Sementara itu, Joseph Benedict peneliti dari CIVICUS menyebut selama ini banyak para pejuang HAM mencari suaka ke Eropa saat diancam oleh rezim di negara. Taiwan, bisa mengambil peluang ini terlebih dalam komitmennya sebagai negara pengusu demokrasi di Asia.

Namun senada dengan Fatia, Joseph menyebut belakangan ancaman rezim tidak hanya secara fisik tetapi juga digital. Bahkan rezim tiran kerap tidak hanya mengancam individu pejuang HAM-nya tetapi juga keluarganya.

“Bagaimana menangani ancaman seperti ini? Belum lagi tekanan transnasional yang melintasi batas-batas negara. Bagaimana Taiwan memainkan perannya?,” tanya Joseph.

Hye-Joon Lee dari Forum-Asia sepaham dengan Joseph dengan mengatakan bahwa tekanan transnasional kini menjadi isu yang serius. Sebagai lembaga sosial yang bekerja di banyak kawasan, pihaknya menemukan beberapa kasus seperti ini.

Misalnya, sejumlah aktivis Asia Tenggara yang berlindung ke Thailand, nyatanya masih menemui risiko dari otoritas lokal. 

“Taiwan benar-benar terbuka dalam membicarakan isu HAM dan ini merupakan potensi. Tetapi regulasi yang aman dan hukum yang lebih fleksibel tentu dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Lee.

Sebelumnya, direktur ACFA, Leah Lin menyebut Sebagai salah satu negara demokratis di Asia, Taiwan harus ambil bagian pada perubahan konstelasi politik di Asia yang membungkam ruang-ruang sipil tadi.

Bangkok dan Hong Kong, kata Lin, pernah menjadi pusat regional yang penting bagi organisasi masyarakat sipil di Asia Timur dan Tenggara di mana organisasi akar rumput, aktivis, yayasan internasional, dan organisasi nonpemerintah internasional (INGO) melakukan semua jenis advokasi, pelatihan, debat, jaringan, dan kolaborasi untuk berbagai isu di pusat-pusat ini. 

Namun saat ini, publik masih berduka atas pertumpahan darah dan krisis di Hong Kong danpada saat yang, Bangkok yang pernah dianggap sebagai ibu kota LSM Asia Tenggara, justru menjadi hutan belantara yang berbahaya bagi pencari suaka, pembela hak asasi manusia, pembangkang, dan LSM. 

Prosesnya cepat dari tanda-tanda awal kemerosotan ruang sipil hingga penutupan totalnya. 

“Kita telah melihat menjamurnya kontrol politik dan sosial, dengan pembenaran keamanan nasional, kesehatan publik, pembangunan, dan sebagainya, yang merasuki kehidupan kita sehari-hari yang membuat praktik hak asasi manusia menjadi mahal. Pelanggaran pidana berat tidak lagi hanya diperuntukkan bagi para pemimpin gerakan sosial terkemuka atau pembangkang politik, tetapi kelangsungan hidup organisasi masyarakat sipil (CSO) sendiri dipertaruhkan,” kata Lin.

Merespons hal ini, Lin menilai perlunya Taiwan memberikan dukungan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup CSO untuk menghadapi kemerosotan ruang sipil regional. Dalam konteks Taiwan pihaknya telah melakukan sejumlah poyek penelitian di antaranya "Meneliti Aksesibilitas Taiwan bagi CSO dari Asia Tenggara" dan laporan penelitian "Menjelajahi Peran Taiwan di Tengah Krisis Penutupan Ruang Sipil di Asia Tenggara".

“Laporan ini juga merupakan respons kami terhadap pertanyaan mendesak: 'peran apa yang dapat dimainkan Taiwan di tengah krisis penutupan ruang sipil di Asia Tenggara?',” kata Lin.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/ ML

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.