LINTAS SELAT /Pengamat: Pidato Presiden Lai tentang “Taiwan Berdaulat” bisa berdampak ke kawasan Asia Tenggara

07/10/2024 18:10(Diperbaharui 07/10/2024 18:10)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Presiden Lai Ching-te menyampaikan pidatonya dalam acara perayaan Hari Nasional yang diadakan di Taipei Dome pada Sabtu. (Sumber Foto : CNA, 5 Oktober 2024)
Presiden Lai Ching-te menyampaikan pidatonya dalam acara perayaan Hari Nasional yang diadakan di Taipei Dome pada Sabtu. (Sumber Foto : CNA, 5 Oktober 2024)

Taipei, 7 Okt. (CNA) Pengamat politik dan hubungan internasional dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang berbasis di Taiwan, R. Mokmahad Luthfi menilai pidato Presiden Lai Ching-te (賴清德) soal “Taiwan negara berdaulat” bisa berdampak tidak hanya pada Taiwan tetapi juga kawasan, Luthfi menilai pidato ini adalah langkah berani dari Lai untuk Taiwan.

Kepada CNA, Senin (7/10) Luthfi yang juga kandidat doktor di bidang kajian Asia Pasifik, National Chengchi University Taipei menyebut pidato Presiden Lai bisa jadi alasan Tiongkok untuk melakukan latihan militer skala besar di selat dan sekeliling Taiwan. 

Apalagi kalau dilihat dari momen politik beberapa tahun terakhir, latihan ini merupakan tren dari Tiongkok untuk merespons peristiwa penting yang terjadi di Taiwan.

“Baik itu berupa pidato presiden Taiwan, inaugurasi presiden yang dimenangkan calon dari DPP, maupun kunjungan pejabat politik AS ke Taiwan,” kata Luthfi. 

Dalam latihan militer yang mungkin dilakukan dalam beberapa hari ke depan, bisa saja Tiongkok akan melakukan latihan pengepungan Taiwan dari laut dan udara, bahkan meluncurkan peluru kendali ke arah Zona Pertahanan Udara Taiwan. Sejak 2023 lalu, Tiongkok melaksanakan latihan yang disebut “Joint Sword” dan menjadi tren penyebutan latihan militer sampai dengan tahun ini. 

“Latihan militer yang cenderung meningkat merupakan upaya Tiongkok untuk melakukan tekanan psikologis terhadap rakyat Taiwan dan sekaligus demoralisasi terhadap militer Taiwan. Meskipun sebenarnya, tanpa pidato Presiden Lai Ching-te pun, Tiongkok diyakini telah dan sedang melakukan tekanan politik, perang informasi, dan perang psikologi yang dikenal dengan taktik zona abu-abu (grey zone tactics) kepada Taiwan,” ucap Luthfi.

Kendati demikian, sebagian besar rakyat Taiwan ia yakin telah terbiasa dengan kondisi ini dan kehidupan akan berlangsung biasa saja di Taiwa. Sekaligus, tentu saja, militer dan Kementerian Pertahanan Taiwan akan memantau perkembangan situasi dengan cermat dan sebagaimana biasa memandang setiap latihan militer Tiongkok sebagai ancaman serius. 

Ancaman bagi kawasan Asia Tenggara

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang berbasis di Taiwan, R. Mokmahad Luthfi (Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi)
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang berbasis di Taiwan, R. Mokmahad Luthfi (Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi)

Luthfi menambahkan bagi negara kawasan seperti Asia Tenggara, latihan militer Tiongkok terhadap Taiwan merupakan hal yang menjadi kekhawatiran bersama. Apalagi terkait meningkatnya eskalasi dan potensi miskalkulasi dan konsekuensi yang tidak terduga dari latihan militer yang diarahkan kepada Taiwan tersebut. 

ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara berulangkali menyatakan keprihatinan mengenai perkembangan situasi di Selat Taiwan dan meminta para aktor di kawasan untuk menahan diri, terutama dalam penggunaan kekuatan militer untuk menekan aktor lain. 

Selain itu, latihan militer skala besar seperti ini dapat mengganggu rute penerbangan dan transportasi maritim sehingga dapat berdampak terhadap kelancaran transportasi dan mobilitas perdagangan kawasan. 

“Saya meyakini bahwa negara-negara di kawasan Asia dan bahkan luar kawasan, berharap bahwa perdamaian lintas selat antara Tiongkok dan Taiwan tetap terjaga, dan setiap masalah tidak semestinya menggunakan cara-cara koersif,” ucap dia.

Luthfi optimistis perwakilan Indonesia di Taipei, Beijing dan Hong Kong juga selalu memantau setiap perkembangan situasi dan terus berkoordinasi apabila terjadi latihan militer dan eksalasinya serta mengambil langkah terpadu jika ada sesuatu yang tidak dikehendaki.

Apalagi kepentingan Indonesia sangat besar di Taiwan dan jumlah diaspora yang juga besar.

“Jumlahnya lebih dari 300 ribu WNI, posisi Indonesia pasti menolak cara-cara koersif terhadap Taiwan, meskipun Indonesia mengakui kebijakan satu Tiongkok,” kata Luthfi.

Sebelumnya, Presiden Lai Ching-te dalam acara Hari Nasional hari Sabtu (5/10) mengatakan bahwa Taiwan adalah negara yang berdaulat dan merdeka yang harus dicintai rakyatnya, dan ia mengimbau warga untuk melindungi kebebasan dan demokrasinya.

"Kita adalah negara yang berdaulat dan merdeka, dan kita harus mencintai negara kita setiap saat," kata Lai, dalam sebuah perayaan di Taipei Dome, menjelang Hari Nasional ke-113 Republik Tiongkok (ROC), nama resmi Taiwan, pada 10 Oktober mendatang.

Rakyat Taiwan harus belajar dari semangat dan pengorbanan para leluhur dan para martir, serta bersatu untuk menjaga kedaulatan negara dan melindungi demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia, jika tidak, pengorbanan tersebut akan sia-sia, katanya.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/ ML

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.