Pengamat politik Indonesia di Taiwan: Publik harus pantau regulasi Pilkada, DPR mesti hati-hati memutuskan

23/08/2024 18:23(Diperbaharui 23/08/2024 18:28)
Massa aksi memadati jalan di depan Gedung DPR RI hari Kamis untuk memprotes RUU Pilkada. (Sumber Foto : Reuters)
Massa aksi memadati jalan di depan Gedung DPR RI hari Kamis untuk memprotes RUU Pilkada. (Sumber Foto : Reuters)

Taipei, 23 Agu. (CNA) Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia yang berbasis di Taiwan, R. Mokmahad Luthfi mengatakan kepada CNA, Jumat (23/8) bahwa ia menilai kemarahan publik terkait manuver Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terkait UU Pilkada adalah hal yang wajar, publik diminta memantau dan DPR mesti berhati-hati mengambil keputusan.

Luthfi mengatakan kepada CNA bahwa kecurigaan publik pada “Permainan elektoral elite” sudah terbangun sejak Pemilihan Presiden 2024 lalu, di mana ada manuver politik soal putusan MK terkait perubahan usia calon Wakil Presiden Republik Indonesia yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencalonkan diri sebagai Cawapres. 

Kini, RUU Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK juga dianggap publik sebagai upaya lain untuk meloloskan putra Jokowi lainnya pada pencalonan Pilkada.

“Kemudian ketika ada uji materi di MK kemarin, ini akan membuyarkan rencana tersebut. Tentu putusan MK ini jadi angin segar buat publik. Tetapi kemudian akan direvisi oleh RUU Pilkada yang bertentangan dengan putusan. Inilah yang jadi momentum penolakan keras masyarakat sipil mahasiswa, aktivis, bahkan pemengaruh,” ucap Luthfi.

Menurut pantauannya kecurigaan publik juga terbangun dari sejumlah anomali yang dilakukan DPR. Di antaranya, RUU Pilkada semula hendak disahkan secepat kilat padahal biasanya sejumlah RUU akan memakan waktu yang panjang sampai disahkan.

“Ini jadi catatan publik bahwa ada keanehan yang perlu diawasi,” ucap Luthfi yang kini sedang studi doktoral program Asia-Pasifik National Cheng Chi University Taiwan.

Publik harus memonitor

Di tengah unjuk rasa, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada dinyatakan batal. Menanggapi ini Luthfi menilai memang sudah seharusnya putusan MK jadi pegangan karena sifatnya yang final dan mengikat.

Kendati demikian, publik harus tetap memonitor dan DPR juga mesti berhati-hati melakukan manuver politik. 

“Saya yakin DPR juga akan melakukan refleksi. Ketergesaan DPR melakukan revisi ini selalu mendapat perhatian dari publik,” ucap Luthfi.

Latar belakang aksi

Sejumlah kota di Indonesia pada Kamis (22/8) diramaikan oleh aksi unjuk rasa menekan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) agar tunduk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pemilihan Kepala Daerah, semula DPR dianggap hendak menganulir putusan dengan merevisi UU Pilkada.

Dikutip dari Kantor Berita Indonesia ANTARA, putusan MK yang diterbitkan pada 20 Agustus 2024 menyinggung tentang ambang batas pencalonan dalam Pilkada 2024. 

Lewat putusan ini, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon. 

Pertimbangan MK terhadap meluluskan uji materi ambang batas pada UU Pilkada yang digugat oleh Partai Buruh dan Gelora mengingat akan dirugikannya hak konstitusional partai politik yang memiliki suara sah, namun tidak memiliki kursi di DPRD jika pencalonan kandidat didasarkan pada ambang batas yang tinggi.

Pada aturan lama ambang batas mencalonkan kepala daerah adalah 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen jumlah suara sah. Kini ambang batas berkisar antara 6,5 persen sampai 10 persen suara sah saat Pemilu DPRD 2024 tergantung jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah tersebut.

Masih mengutip ANTARA, sejumlah pakar menilai aturan baru ini dianggap mampu mencegah calon tunggal dalam Pilkada.

Di sisi lain, MK juga menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Oleh karena itu pembatasan usia minimal tetap mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Yakni minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, walikota, dan wakilnya.

Dinamika di DPR RI

Kurang dari 24 jam setelah MK memutus dua putusan ini Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui pembahasan RUU Pilkada yang disebut-sebut oleh sejumlah pihak berpotensi mengoreksi putusan MK. 

Misalnya, dikutip dari pemberitaan ANTARA, rumusan Daftar Inventarisir Masalah nomor 72 yang disetujui Panja RUU Pilkada itu berbunyi: "d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih." Poin ini dinilai akan menganulir putusan MK soal batas minimum pencalonan.

Kemudian hasil rapat Baleg DPR RI juga tetap mensyaratkan ambang batas pencalonan harus memiliki 20 persen kursi di parlemen atau DPRD Jakarta yang artinya akan menganulir putusan MK soal ambang batas.

Publik marah

Langkah DPR RI dan Pemerintah menuai kritik keras dari publik pada Rabu. Media sosial di Indonesia diramaikan dengan gambar burung Garuda lambang negara Republik Indonesia dengan latar warna biru dan tulisan “Peringatan Darurat”.

Pengumuman ini dilanjut dengan sejumlah ajakan aksi yang mewujud di sejumlah kota esok harinya.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/JC

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.