Peneliti: Peningkatan ketegangan Tiongkok-Taiwan bisa korbankan pekerja migran

05/08/2024 14:14(Diperbaharui 20/08/2024 20:25)
Peneliti dari University of Western Australia, Ratih Kabinawa, Ph.D di Jakarta, hari Senin. (Sumber Foto : CNA, 5 Agustus 2024)
Peneliti dari University of Western Australia, Ratih Kabinawa, Ph.D di Jakarta, hari Senin. (Sumber Foto : CNA, 5 Agustus 2024)

Jakarta, 5 Agu. (CNA) Peneliti dari University of Western Australia, Ratih Kabinawa hari Senin (5/8) mengingatkan bahwa peningkatan ketegangan Tiongkok-Taiwan di Selat Taiwan dalam dua tahun terakhir harus menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Indonesia karena bisa mengorbankan ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang ada di Taiwan.

Dalam diskusi bertajuk “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia” yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia dan Paramidana Foreign Policy Institute di Jakarta hari Senin, Ratih menyebut harus ada rencana penyelamatan terpadu dari Pemerintah Indonesia pada warga negara Indonesia di Taiwan jika sewaktu-waktu situasi di Taiwan memanas. 

Ratih mengatakan hal ini, mengkaji perbedaan kebijakan Indonesia atas kebijakan satu Tiongkok dan reaksi Indonesia atas peningkatan eskalasi di Taiwan yang berbeda antara tahun 1995-1996 dan 2022.

Peningkatan eskalasi 1995-1996 dan 2022 bisa jadi acuan pembanding kebijakan Indonesia di Selat Taiwan mengingat tahun-tahun tersebut merupakan momen penting dari ketegangan di selat Taiwan, kata Ratih.

Ratih menjelaskan, di tahun 1995-1996, Tiongkok memulai latihan militer di dekat wilayah Taiwan setelah kedatangan mantan Presiden Taiwan, Lee Tung Hui (李登輝) ke Amerika Serikat dan berpidato tentang konsep dua negara.

Lalu, pada 2022, latihan militer Tiongkok makin dekat dan agresif sebagai respons Beijing atas kunjungan politisi AS, Nancy Pelosi ke Taiwan yang dianggap sebagai dukungan AS pada pemerintahan Taiwan, kata Ratih.

Menurut Ratih, di tahun 1995-1996, ASEAN, termasuk Indonesia, memilih tidak ikut campur pada ketegangan di Selat Taiwan dan menganggap hal itu merupakan urusan internal Tiongkok.

Namun, kata Ratih, di tahun 2022, ASEAN termasuk Indonesia secara individu mulai mengambil sikap meski netral dan menekankan pentingnya dialog antara kedua belah pihak.

“Perubahan sikap ini bisa dibaca karena ada perubahan lingkungan strategis antara ASEAN dengan Taiwan termasuk kerjasama ekonomi yang meningkat di bawah kebijakan New Southbound Policy,” kata Ratih.

Menurut Ratih, risiko terhadap PMI di Taiwan imbas dari ketegangan lintas selat terbukti pada awal Juli 2024 lalu, ketika militer Tiongkok menangkap kapal ikan Taiwan yang tiga dari lima awak kapal tersebut merupakan warga negara Indonesia di Taiwan.

Mereka bahkan sempat ditahan di Guangzhou, Tiongkok, yang membuat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia harus berkomunikasi dengan pihak Tiongkok, Taiwan, dan Konsulat Jenderal Indonesia di Guangzhou untuk melepas tiga WNI tersebut, menurut Ratih.

“Jadi salah besar kalau kita menganggap selat Taiwan bukan masalah Indonesia. Paling tidak setiap satu kapal ikan Taiwan itu punya satu awak Indonesia,” kata Ratih yang pernah mengenyam pendidikan di National Cheng Chi University dan National Sun Yat Sen University.

Oleh karena itu, rencana kontingensi amat penting dan harus dipikirkan lebih detail tidak hanya oleh Indonesia tetapi juga ASEAN, kata Ratih.

Berdasarkan data yang ia miliki, ada lebih dari 700 ribu orang dari Asia Tenggara di Taiwan yang hampir separuhnya berasal dari Indonesia, mayoritas dari mereka berada di Taiwan untuk bekerja.

Oleh karena itu, menurut Ratih, jika terjadi situasi yang buruk di Taiwan dan mengharuskan proses repatriasi WNI, tentu perlu penanganan yang mendetail.

“Ini akan ada banyak isu baru termasuk ketika direpatriasi bagaimana mereka akan bekerja? Oleh karena itu kepentingan kita sangat besar terhadap tensi di Taiwan meski bukan hal yang mudah,” kata Ratih.

Langkah Cermat Indonesia

Peneliti Paramadina Public Policy, Universitas Paramadina, Muhammad Iksan (kanan) dalam diskusi bertajuk “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia” di Jakarta hari Senin. (Sumber Foto : CNA, 5 Agustus 2024)
Peneliti Paramadina Public Policy, Universitas Paramadina, Muhammad Iksan (kanan) dalam diskusi bertajuk “Ketegangan Selat Taiwan, Reaksi Asia Tenggara, dan Dampak Bagi Indonesia” di Jakarta hari Senin. (Sumber Foto : CNA, 5 Agustus 2024)

Sementara itu, dosen dan peneliti Paramadina Public Policy, Universitas Paramadina, Muhammad Iksan menilai perlu langkah yang cermat dari Indonesia untuk mengorkestrasikan situasi ini.

Lulusan National Cheng Kung University Tainan ini mengatakan, sebagai negara dengan pengaruh yang tidak begitu besar bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk bersikap terang-terangan dan berpihak dalam isu ini, apa pun pilihannya.

Ia mengambil contoh kedatangan Menteri Investasi Republik Indonesia ke Taipei yang dikritik oleh Beijing beberapa waktu lalu, padahal investasi Taiwan cukup potensial bagi Indonesia.

Menurut Iksan, ini membuktikan kalau Indonesia tidak bisa gegabah dan harus bisa memahami konstelasi lintas selat.

“Indonesia harus sadar kalau kita bukan great power, tapi bagaimana memberi pemahaman ini kepada pemangku kebijakan? Itu yang kadang susah. Oleh karena itu kita harus realitis sehingga lebih banyak opsi yang bisa kita ambil,” kata Iksan.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/JC

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.