KILAS BALIK /30 tahun kematian Teresa Teng, sang ikon budaya dari Taiwan

19/05/2025 21:09(Diperbaharui 19/05/2025 21:09)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Penyanyi Taiwan Teresa Teng bernyanyi dalam acara Penghargaan Golden Bell pada 16 Mei 1981. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Penyanyi Taiwan Teresa Teng bernyanyi dalam acara Penghargaan Golden Bell pada 16 Mei 1981. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Oleh Muhammad Irfan, penulis staf CNA

Bulan Mei, tepatnya pada tanggal 8 lalu, genap 30 tahun ikon Taiwan, Teresa Teng (鄧麗君) meninggal dunia. Ia adalah sesosok penyanyi Taiwan yang dihargai tidak hanya karena karya musikalnya tetapi pesonanya, hingga warisan karyanya yang dianggap sebagai sebuah fenomena kultural: Dari identitas ke-Tionghoa-an hingga budaya populer yang gaungnya terdengar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Penulis Taiwan-Amerika Hua Hsu (徐華) dalam artikelnya di New Yorker pada 2015 pernah menulis bahwa “Kemanapun orang Tionghoa pergi, akan selalu ada lagu Teresa Teng yang diputar.” Pernyataan penulis buku “Stay True” ini mungkin tak berlebihan, karena lagu Teng bergema dalam banyak kesempatan yang berhubungan dengan ke-Tionghoa-an.

Dalam perayaan sejumlah tradisi Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek misalnya, lagu Teng sering diputar sebagai latar pusat perbelanjaan. Lagu Teng pun sering diputar untuk bahan ajar bahasa Mandarin. Belum lagi, sebagai seorang poliglot yang menguasai banyak bahasa, lagu-lagu dari sang ikon budaya ini juga banyak diterjemahkan ke bahasa lain seperti Jepang bahkan Indonesia, membuatnya semakin mudah menembus batasan-batasan geografis, politik, dan bahasa. 

Bintang dari Yunlin

Teng lahir di Yunlin, Taiwan pada 29 Januari 1953 dari pasangan yang pindah ke Taiwan dari Tiongkok selama masa Perang Sipil di Daratan Utama. Meredith Schweig dalam “Legacy, Agency, and the Voice(s) of Teresa Teng" (2021) menulis sebagai anak dari serdadu Kuomintang (KMT), Teng kecil menghabiskan waktunya di sejumlah kompleks militer mulai dari Yunlin sampai Pingtung. 

Meski demikian, Teng mengenyam hampir seluruh jenjang pendidikannya di Kabupaten Taipei (kini Kota New Taipei) mulai dari SD di Luzhou hingga SMA di Sanchong. Teng tak pernah menamatkan pendidikan SMA-nya karena mulai fokus di bidang tarik suara.

Teresa Teng bernyanyi bersama militer di Kinmen pada 8 Maret 1991. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Teresa Teng bernyanyi bersama militer di Kinmen pada 8 Maret 1991. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Wang Hongliang dalam  “Teresa Teng: The Glory and Loneliness of the Wanderer” (2015) menulis, Teng memulai debutnya di usia yang sangat muda, dengan sempat jadi bintang di sebuah kelab malam mewah di Taipei bernama Paris Night pada akhir 1960-an dan bahkan memecahkan rekor tampil selama 70 hari berturut-turut, dengan penampilan 90 menit setiap malam.

Bertahap, Wang mencatat, Teng pun mulai mendapat lebih banyak tawaran tampil ke luar negeri dan punya banyak album rekaman sukses. Dengan penghasilannya, Teng mampu membawa keluarganya pindah dari Distrik Luzhou ke Distrik Beitou, Taipei, dan membeli rumah.

Sang “Military Sweetheart

Tumbuh dalam tensi panas Taiwan-Tiongkok, sosok Teresa Teng tak lepas dari dampak situasi politik saat itu. Teng, kerap tampil untuk menyemangati para serdadu KMT dan dijadikan sebagai “senjata propaganda psikologis” untuk menginfiltrasi publik Tiongkok yang saat itu masih sangat tertutup.

Bahkan pada 1980-an, lagu-lagu Teng diputar di pengeras suara raksasa di Pulau Kinmen yang sengaja diarahkan ke Daratan Utama Tiongkok untuk mempromosikan "Tiongkok Bebas" yang digaungkan pemerintah KMT Taiwan.

Andrew F. Jones menulis ini merupakan perang sonik antara Taiwan-Tiongkok dengan lagu-lagu dan pesan-pesan patriotiknya yang disiarkan dari Kinmen ke Tiongkok “Menggunakan pengeras suara Beishan, yang mampu memproyeksikan suara hingga dua puluh lima kilometer jauhnya.”

Kedekatannya dengan militer juga membuatnya dijuluki sebagai “Military Sweetheart” atau kekasih para militer. 

Teresa Teng bersama anggota militer di Kinmen pada 8 Maret 1991. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Teresa Teng bersama anggota militer di Kinmen pada 8 Maret 1991. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sebaliknya, di Daratan Utama, lagu-lagu Teng dibungkam karena dianggap kontrarevolusi oleh pemerintah Partai Komunis Tiongkok. Namun, lagu-lagunya tetap masuk melalui pasar gelap hingga akhirnya larangan tersebut dicabut pertengahan 1980-an.

Pada 1982, Free China Review (kini Taiwan Today), sebuah publikasi dari Tiongkok nasionalis yang terbit di Taiwan sejak 1951, menulis Teng dikenal di Tiongkok sebagai “Teng Kecil” sebagai perbandingan dengan pemimpin Republik Rakyat Tiongkok saat itu, Deng Xiaoping (鄧小平) yang kebetulan punya marga yang sama.

Sehingga, jika “Teng Besar” didengar warga di siang hari sebagai sebuah kewajiban, maka “Teng Kecil” didengar masyarakat di malam hari atas keinginan mereka sendiri -- melahirkan slogan populer "Siang dengar Teng besar, malam dengar Teng kecil."

Teresa Teng dan Indonesia

Dikenal sebagai jembatan antara Asia Timur dengan Tenggara, karya-karya Teng juga populer di Indonesia. Ia bahkan merekam setidaknya 28 lagu dalam bahasa Indonesia antara tahun 1977 dan 1978 yang dirilis di Nusantara melalui label rekaman Indra Records.

Beberapa lagu Teng dalam bahasa Indonesia yang dikenal luas di antaranya "Goodbye My Love", "Tiada Lagi", "Impian", "Lagu Untukmu", dan "Mila". Selain itu, ia juga merekam lagu "Sekuntum Mawar Merah", "Bunga Matahari", dan "Kisah Remaja". Sampai saat ini, tembangnya masih sering diputar dan dibawakan, terutama di kalangan Tionghoa.

Terkait Indonesia, pernah juga terjadi satu insiden yang menimpa Teng. Taiwan Panorama pada 2013 menulis di tahun 1979, ada kontroversi ketika Teng memasuki Jepang dengan paspor Indonesia.

Teresa Teng kembali ke Taipei dari Tokyo pada 22 Januari 1978 pagi untuk merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarganya. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Teresa Teng kembali ke Taipei dari Tokyo pada 22 Januari 1978 pagi untuk merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarganya. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Saat itu, karena kedua negara tidak lagi memiliki hubungan diplomatik resmi, warga Taiwan yang ingin pergi ke Jepang harus terlebih dahulu mengajukan dokumen khusus dari pemerintah Jepang. Namun, Teng yang sering bepergian, menilai lebih mudah baginya untuk menggunakan paspor lain.

Banyak informasi beredar mengenai hal ini. Dalam obituarium di media Inggris The Independent, disebutkan bahwa paspor Indonesia yang ia pegang palsu dan dibeli dengan US$20.000. Namun, ada juga yang berpendapat paspor tersebut resmi meski dicurigai palsu oleh otoritas Jepang. 

Peneliti Andrew F. Jones, menulis insiden paspor ini terjadi sebagai konsekuensi hilangnya pengaruh Taiwan di dunia internasional setelah Republik Tiongkok (ROC) dikeluarkan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan digantikan Republik Rakyat Tiongkok sebagai satu-satunya perwakilan Tiongkok yang sah.

Menurut Jones, Teng takut kehilangan aksesnya ke sirkuit hiburan Jepang, dan membuatnya memilih untuk membeli paspor Indonesia palsu di Hong Kong untuk sebuah konser di Negeri Matahari Terbit.

“Namun, setibanya di Bandara Haneda di Tokyo, dia diinterogasi, ditahan, dan dideportasi,” tulis Jones dalam penelitiannya yang terbit di tahun 2020. Teng pun dicekal untuk masuk Jepang selama kurang lebih setahun.

Akibat pencekalannya di Jepang, Teng mengalami titik balik yang tak terduga pada kariernya. Setelah negosiasi yang rumit, ia dibebaskan untuk pergi ke Amerika Serikat, tempat ia menghabiskan satu setengah tahun berikutnya.

Di Taiwan, patriotismenya dipertanyakan, yang kemudian dijawab oleh sang ayah bahwa alasan Teng memiliki paspor Indonesia hanya untuk alasan kenyamanan.

Wafat di Chiang Mai

Teng meninggal dunia di Chiang Mai, Thailand pada usia 42 tahun. Dalam obituarium yang diterbitkan media Inggris The Independent, Teng disebut rentan terhadap masalah pernapasan, dan sejumlah sumber menyebut ia terserang flu parah dan pneumonia saat kunjungan terakhirnya ke Taipei selama Tahun Baru Imlek 1995.

Situasi ini yang kemudian dianggap memicu kematiannya yang cukup mendadak, saat sedang berlibur dengan sekelompok teman, termasuk pacarnya, orang Prancis, di resor Thailand di Chiang Mai. Dalam laporan itu ditulis “Ia terserang asma parah dan meninggal karena gagal jantung setelah ambulans yang membawanya ke rumah sakit swasta tertunda oleh lalu lintas yang padat.”

Pemakaman Teresa Teng, 28 Mei 1995. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Pemakaman Teresa Teng, 28 Mei 1995. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sebagai seorang diva di Asia, Teng kemudian dihormati lewat berbagai cara. Media Sina News menulis, di tahun tersebut pemakaman Teng menjadi pengebumian yang disponsori negara terbesar dalam sejarah Taiwan -- kedua setelah pemimpin ROC, Chiang Kai-shek (蔣中正). Lebih dari 200.000 orang berbaris di luar rumah duka, menunggu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Teng, menyebabkan lalu lintas Taipei macet total.

Sementara itu, media musik Billboard menulis pemakamannya disiarkan di stasiun televisi di banyak negara Asia, sementara stasiun radio di Taiwan, Tiongkok, dan Hong Kong mendedikasikan seluruh jadwal program mereka untuk musiknya selama dua hari.

Arsip United Press International menulis Teng diberi penghormatan kenegaraan di pemakamannya, dengan bendera ROC dililitkan di sekitar peti jenazahnya. Ratusan pejabat tinggi, termasuk komandan dari tiga cabang militer, menghadiri pemakaman dan mengiringi peti jenazah Teng ke liang lahatnya. Hari berkabung nasional ditetapkan dan Presiden Lee Teng-hui (李登輝) termasuk di antara ribuan orang yang hadir.

Teng secara anumerta dianugerahi penghargaan tertinggi Kementerian Pertahanan Nasional untuk warga sipil, "Medali Kelas Satu Hua-hsia" dari KMT, "Medali Kelas Satu Hua Guang" dari Komisi Urusan Diaspora Tionghoa, dan pujian dari presiden.

Teng dimakamkan di sebuah makam di lereng gunung di Chin Pao San, sebuah pemakaman di Jinshan, Kota New Taipei yang menghadap ke pantai utara Taiwan.

Selesai/JC

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.