Taipei, 18 Mei (CNA) Unit kegiatan mahasiswa National Taiwan University (NTU) yang bergerak dalam bidang perburuhan hari Kamis (15/5) mengundang seorang perwakilan LSM untuk membahas permasalahan pekerja migran asing (PMA), termasuk biaya agensi, kerja di luar kontrak, hingga pembatasan masa kerja.
Direktur Departemen Kebijakan Pekerja Migran di Serve the People Association (SPA) Lennon Wong (汪英達) dalam sebuah pertemuan yang digelar NTU Labor hari Kamis mengatakan bahwa PMA mulanya didatangkan bukan karena Taiwan kehabisan pekerja, melainkan karena kurangnya buruh berupah murah.
Dari situ, ia menerangkan bagaimana agensi tenaga kerja memintai PMA biaya saat mereka melamar, yang terkadang memaksa mereka berutang dengan cicilan tinggi. Banyak dari mereka yang datang ke Taiwan karena masalah ekonomi pun berpotensi terlambat menyetor, lalu diperintahkan pengadilan untuk membayar kompensasi.
"Banyak pekerja migran yang secara tidak masuk akal dipotong uangnya karena ini." Menurut Wong, biaya agensi seharusnya dibayar majikan, bukannya PMA.
Selain itu, Wong mencatat bahwa PMA yang memiliki keterbatasan bahasa dan pengetahuan hukum kerap diminta menandatangani berkas yang tidak mereka kuasai.
Ia juga menyebutkan bagaimana agensi terkadang menahan dokumen pribadi PMA, yang membuat mereka sulit berkutik.
Wong juga menjelaskan masalah kerja di luar kontrak. Menurutnya, pemerintah kurang menekankan bahwa majikan tidak boleh meminta PMA mereka melakukan pekerjaan yang berada di luar janji kerja, mencontohkan ada perawat yang diminta bekerja di restoran milik pemberi kerjanya.
Dengan menyebut contoh beberapa kasus, ia juga menjelaskan bagaimana perawat migran rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, hingga pelecehan seksual, seiring banyak dari mereka tinggal di rumah majikannya.
Penindakan hukum juga sulit dilakukan, menurut Wong, karena PMA memiliki ruang terbatas dalam mengumpulkan bukti sementara majikan dapat menekan mereka, belum lagi mereka takut dideportasi.
Meskipun pemerintah Taiwan memiliki saluran siaga 1955 untuk PMA, kata Wong, kanal ini tidak selalu memberi solusi, seiring aduan yang diajukan terkadang hanya dianggap konsultasi dan tidak ditindaklanjuti sebagai kasus hukum.
PMA juga sulit berganti pemberi kerja, yang akhirnya menciptakan praktik ilegal "membeli pekerjaan", di mana mereka diminta uang tambahan oleh agensi jika ingin pindah kerja, kata Wong.
"Hampir tidak ada pekerjaan yang tidak mengharuskan pekerja migran untuk membayar sebelum mereka mendapatkan pekerjaan baru. Tetapi pemerintah kita (Taiwan) sama sekali tidak peduli. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas apa yang saya katakan. Saya tidak peduli [konsekuensi mengatakan itu]," cakapnya.
"Saya merasa Kementerian Ketenagakerjaan sengaja melepaskan para agensi agar mereka dapat terus menagih uang," kata Wong.
Ia juga mengkritik sistem Sertifikat Penduduk Tetap Asing (APRC) karena menurutnya kebijakan saat ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada majikan, seiring PMA yang ingin mendaftar harus memiliki upah lebih tinggi dari standar dan mendapat persetujuan pemberi kerja.
Wong juga menyinggung hak hamil PMA, yang masih dipandang sebelah mata seiring majikan merasa mereka datang ke Taiwan hanya untuk bekerja. Padahal, "Hukum kita menjamin semua orang, tidak membeda-bedakan kewarganegaraan," ujarnya.
Menghadapi berbagai masalah PMA, Wong mengatakan masyarakat Taiwan dapat membantu dengan menyebarkan kasus yang ada ke dunia internasional, yang nantinya dapat menekan pemerintah.
"Sebenarnya Taiwan adalah sebuah pulau imigran. Selain Penduduk Asli, mayoritas dari kita adalah keturunan imigran. Jadi, para pekerja migran yang kita lihat sekarang sebenarnya tidak begitu berbeda secara mendasar dengan kita. Kita hanya datang lebih dulu beberapa ratus tahun atau sekitar seratus tahun," ujarnya.
"Mereka datang ke Taiwan untuk bekerja, dan mungkin seperti generasi sebelum atau dua generasi sebelum kita, yang pindah dari kampung halaman di wilayah tengah atau selatan ke utara, atau ke daerah tengah untuk bekerja," lanjutnya.
Ia juga mengkritik masalah pembatasan masa kerja PMA di Taiwan, yang saat ini ditetapkan 12 tahun. Menurutnya, hal ini terjadi karena mereka yang masa iur asuransinya telah lebih dari 15 tahun dapat mendapatkan uang pensiun bulanan setelah mencapai usia pensiun.
"Sistem asuransi tenaga kerja kita -- yang dari dulu dikatakan akan bangkrut, akan runtuh -- kenapa sampai sekarang belum runtuh? ... Karena ada ratusan ribu pekerja migran yang tiap tahun membayar iuran, tetapi tidak bisa mengklaim pensiun atau manfaatnya," kata Wong.
Wong, yang juga anggota NTU Labor ketika masih berkuliah, mengatakan kepada CNA bahwa penting bagi mahasiswa untuk mengetahui persoalan PMA, seiring mereka akan masuk ke masyarakat dan menempati "Posisi-posisi penting."
"Jika sejak masa kuliah mereka sudah bisa memiliki pemahaman dan pandangan yang lebih tepat tentang PMA, menghindari diskriminasi, dan bahkan bisa memengaruhi orang di sekitar mereka agar juga tidak diskriminatif, saya pikir itu akan sangat membantu memperbaiki kondisi pekerja migran dan menghapus kerja paksa," ujarnya.
Kepada CNA, Ketua NTU Labor Chen Chang-an (陳昶安) mengatakan bahwa Wong diundang sebagai bagian dari penguatan penyatuan gerakan mahasiswa dan pekerja serta pembekalan untuk protes pembatasan masa kerja PMA yang diadakan di Taipei hari Minggu.
Selain itu, ujarnya, penting untuk membahas isu PMA seiring, menurutnya, mereka mengalami hambatan di masyarakat yang kurang mengenal mereka. "Jadi kenapa kita harus peduli? Jelas, salah satu alasannya adalah agar semakin banyak orang bisa ikut memerhatikan hal ini," ujarnya.
Selesai/ML