Taipei, 13 Feb. (CNA) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan hari Kamis (13/2) menggelar diskusi yang menghadirkan pejabat Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI, membahas urgensi penempatan pejabat kementerian itu di Taipei serta isu beasiswa dan perlindungan mahasiswa.
Sebanyak 36 peserta turut hadir dalam sebuah acara daring yang diadakan pukul 12.30 siang tersebut untuk berdiskusi bersama perwakilan dari Kemendiktisaintek RI.
Dalam pembahasan pertama, disampaikan pertanyaan mengenai beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), khususnya kasus yang diajukan Clara Lavita Angelina, seorang mahasiswa dari Kabupaten Yunlin.
Ia mengatakan, meskipun LPDP menjadi incaran banyak mahasiswa, di Taiwan saat ini hanya terdapat sepuluh perguruan tinggi yang masuk dalam daftar pendanaan, dengan ruang lingkup yang terbatas, baik untuk beasiswa mandiri maupun beasiswa dari perguruan tinggi.
Untuk itu, Clara berharap bahwa ke depannya akan ada lebih banyak universitas yang tercakup dalam program beasiswa ini.
Perwakilan Kemendiktisaintek yang hadir dalam diskusi tersebut, Plt. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi, Berry Juliandi, mengatakan beasiswa tersebut dirancang dewan penyantun LPDP dengan tim pakar yang menerapkan kriteria ketat.
Ketua PPI Korda Kansai periode 2009-2010 tersebut mengatakan, meskipun perguruan tinggi tidak harus berada pada peringkat teratas menurut QS, harus ada bukti kehadiran alumni berprestasi, dosen ternama, dan keunggulan program studi, yang sangat diperlukan Indonesia.
Berry menambahkan, untuk meyakinkan LPDP untuk memberikan beasiswa, perlu disusun daftar perguruan tinggi yang belum masuk dan menilai keunggulan mereka.
Kendala pendanaan program MOE
Seorang peserta, Samuel, juga menyampaikan tentang program International Industrial Talents Education Special (INTENSE) dari Kementerian Pendidikan (MOE) Taiwan yang memberikan beasiswa kepada para talenta untuk studi dan bekerja di Taiwan setelah lulus.
Menurutnya, program INTENSE, yang seharusnya diikuti dengan dukungan biaya kuliah dan biaya administrasi lainnya selama dua tahun oleh pemerintah Taiwan, menghadapi tantangan bagi beberapa pesertanya.
Samuel menyampaikan bahwa ada temannya yang meskipun sudah satu semester sejak kedatangan, dana yang dijanjikan belum cair, dari tiket pesawat hingga uang bulanan.
Hal ini menimbulkan tantangan keuangan yang signifikan bagi peserta program tersebut mengingat untuk musim gugur tahun 2025 masih ada kuota lebih dari 400 peserta, ujarnya.
Terkait hal ini, Berry menegaskan bahwa tindak lanjut akan dilakukan setelah data valid dan bukti-bukti kelalaian terkumpul. Menurutnya, Indonesia tidak boleh mengirim peserta beasiswa lagi jika janji yang diberikan tidak terpenuhi.
Komponen-komponen yang belum diberikan harus segera diidentifikasi, dan apabila terdapat kelalaian, pihak MOE akan ditegur, ujar Berry sekaligus menekankan pentingnya koordinasi agar pendanaan dapat berjalan dengan lancar, serta menyarankan agar permasalahan yang ada dapat disampaikan kepadanya.
Penempatan pejabat Kemendiktisaintek di Taipei
Namun, isu utama yang dibahas dalam acara yang digelar melalui Zoom ini, yang dibawakan oleh Mokhamad Luthfi, adalah mengenai penempatan pejabat Kemendiktisaintek di Taipei untuk menangani permasalahan mahasiswa, baik yang mengikuti program gelar maupun nongelar.
Menurut Luthfi, PPi/ISA di Taiwan telah mengimbau para mahasiswa untuk lapor diri melalui laman Perlindungan Warga Negara Indonesia yang disediakan oleh Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, dengan jumlah yang baru mendaftar masih terbatas, di antaranya adalah mahasiswa baru.
Vanny El Rahman, jurnalis IDN Times yang sedang menempuh studi S3 di Taiwan, juga membagikan bahwa banyak mahasiswa nongelar yang belajar bahasa Mandarin di lembaga bahasa terpisah dari universitas, yang menyebabkan tidak ada institusi yang secara langsung membawahi mereka.
Menurut Vanny, berdasarkan sumber yang ia dapatkan, jumlah pelajar Indonesia di Taiwan adalah yang terbanyak dibandingkan dengan negara-negara lain, namun belum ada pihak yang membawahi mereka secara khusus.
Ketua PPI Taiwan, Febriyati Rukmana, juga menambahkan bahwa masih banyak mahasiswa program nongelar tidak terdaftar secara resmi, sehingga apabila terjadi kendala atau permasalahan, belum terdapat pejabat yang siap memberikan bantuan.
Menanggapi hal ini, Berry mengatakan ,“Pejabat Atdikbud (Atase Pendidikan dan Kebudayaan) tidak dapat ditempatkan di Taiwan karena keterbatasan hukum internasional. Namun, yang terpenting adalah fungsi yang harus dapat dialihkan melalui organisasi lain dengan fungsi yang serupa."
Berry merujuk pada situasi di mana Indonesia dan Republik Tiongkok (Taiwan) tidak memiliki hubungan diplomatik resmi.
Atdikbud tidak berada langsung di bawah kewenangan Kemendiktisaintek, kata Berry, namun kementeriannya dapat berdiskusi dengan kementerian lainnya untuk mengusahakan agar ada perwakilan yang lebih aktif di Taiwan.
Selesai/JC