PMI di Hsinchu yang dianiaya pasien didenda pasca putus kontrak

18/04/2025 20:00(Diperbaharui 18/04/2025 20:01)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Foto laporan penganiayaan yang diterima GANAS. (Sumber Foto : GANAS)
Foto laporan penganiayaan yang diterima GANAS. (Sumber Foto : GANAS)

Taipei, 18 Apr. (CNA) Seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di Hsinchu yang dianiaya pasiennya dipaksa membayar denda oleh majikannya karena ia memutus kontrak kerjanya sebelum waktu, setelah ia melaporkan kejadian yang menimpanya namun tidak disertai pendampingan, tulis rilis pers Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS).

Saat dihubungi CNA melalui sambungan telepon, Fajar, Ketua GANAS mengungkapkan bahwa Ina (nama samaran) sering dicakar, dicubit, dan dipukul pasiennya yang menderita dimensia akut dan temperamental sehingga ia meminta pindah majikan.

Ina sempat mengadu kepada agensi, tetapi tidak dihiraukan, dan kemudian melapor ke saluran siaga 1955 Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan atas saran kawan-kawannya, namun ia melakukannya tanpa pendampingan sehingga hanya memberikan keterangan yang kurang lengkap dan seadanya, ujar Fajar.

Setelah pelaporan, pihak Departemen Urusan Ketenagakerjaan Hsinchu akhirnya menghubungi pemberi kerja dan agensi, kata Fajar, dan Ina memutuskan kontrak kerjanya karena ingin pindah majikan. Kini, PMI tersebut ditempatkan di sebuah rumah penampungan.

“Inilah letak kesalahannya. Terkadang teman-teman bermaksud baik untuk meminta bantuan menelepon ke 1955, tetapi kalau tanpa pendampingan kasusnya semakin rumit, seperti kasus Ina. Akibat kurangnya pelaporan yang lengkap, ia malah dikenakan denda oleh majikannya karena pemutusan kontrak belum waktunya,” ungkap Fajar kepada CNA.

Menurut keterangan Fajar, Ina dipaksa membayar denda oleh majikannya dengan alasan kontrak yang belum selesai dan uangnya akan digunakan untuk biaya mencari pekerja baru. Sementara itu, laporan kasusnya tiba-tiba ditutup tanpa persetujuan Ina, ujarnya.

“Padahal dalam kasus seperti ini hak PMI bisa pindah majikan tanpa persetujuan majikan. Artinya, denda dan larangan pindah adalah bentuk pemerasan kepada pekerja migran. Dari kasus yang makin rumit itulah Ina kemudian pengaduan ke GANAS. Dipandu oleh bagian advokasi kami untuk mendapatkan bukti bukti yang diperlukan,” jelas Fajar.

“Itu pun masih mendapatkan intimidasi akan dilaporkan kabur oleh agensi dan majikan. Namun, karena keberadaan Ina sudah atas sepengetahuan Depnaker, tentu hal tersebut sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Bahkan dalam waktu dekat akan digelar mediasi antara PMI dengan majikan serta agensi untuk menyelesaikan persoalan ini,” tutur Fajar.

Dari kasus Ina, kata Fajar, masyarakat bisa menyimpulkan bahwa pendampingan adalah hal penting, karena tanpanya, pengaduan dikhawatirkan menghasilkan laporan kurang lengkap seiring PMI tidak mengetahui cara-cara pengumpulan bukti. "Hal ini sangat diperlukan agar PMI mendapatkan hak sesuai aturan, " tuturnya.

Kadir, analis bidang ketenagakerjaan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei saat dihubungi CNA mengatakan, jika ada aduan seperti ini, langkah pertama darurat PMI biasanya adalah dengan melapor ke 1955 atau ke kepolisian Taiwan jika mengancam keselamatan, dan bisa juga menghubungi KDEI Taipei. 

“Selanjutnya kami biasanya memanggil agensinya untuk segera menyelesaikan sesuai dengan ketentuan. Kami juga bisa menyiapkan fasilitas shelter setelah ada persetujuan dari Disnaker (otoritas ketenagakerjaan kota atau kabupaten) setempat,” ujar Kadir.

(Oleh Miralux)

Selesai/JC

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.