Kisah PMI yang dilarang keluar rumah, pegang gaji, dan kirim uang hingga keluarganya meninggal

14/10/2024 20:43(Diperbaharui 14/10/2024 20:43)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

PMI dari Jawa Timur ini datang ke Taiwan pada bulan Oktober 2023 dan bekerja di Taichung. Selama 11 bulan bekerja, ia tidak diperbolehkan keluar rumah, memegang ponsel, dan mengirim uang ke Indonesia sendiri. Semuanya harus dilakukan oleh majikan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).
PMI dari Jawa Timur ini datang ke Taiwan pada bulan Oktober 2023 dan bekerja di Taichung. Selama 11 bulan bekerja, ia tidak diperbolehkan keluar rumah, memegang ponsel, dan mengirim uang ke Indonesia sendiri. Semuanya harus dilakukan oleh majikan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA).

Oleh Mira Luxita, staf reporter CNA.

Taipei, 14 Okt. (CNA) Sebut saja Lia atau Bunga (nama samaran), Pekerja migran Indonesia (PMI) dari Jawa Timur ini datang ke Taiwan pada Oktober 2023 dan bekerja di Taichung. Selama 11 bulan bekerja, ia tidak diperbolehkan keluar rumah, memegang ponsel, dan mengirim uang ke Indonesia sendiri, semua harus dilakukan oleh majikan. 

Lia atau Bunga yang bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) mengakui jika tugasnya memang sama seperti yang tertuang di kontrak kerja. Namun, perlakukan majikan terhadapnya yang membuatnya tak betah, bahkan sudah dianggap keterlaluan olehnya. 

Ia sehari-hari melakukan pekerjaan seperti memasak, bersih-bersih, dan menjaga tiga anak. Namun ia tidak tinggal di tempat yang sama dengan alamat ARC. 

“Awal mula saya tidak tahan dengan perlakuan majikan karena dari bulan pertama masuk saya tidak boleh membawa ponsel.” Ujarnya.

Dua ponsel yang dipunyai Lia, salah satunya diambil majikan dan hanya boleh membawa satu ponsel. Namun ia tidak boleh menambah daya baterai menjadi penuh. 

“Saya diperbolehkan untuk menambah daya baterai ponsel saya tidak lebih dari 30% saja atau menambah daya hanya dibatasi 1 jam saja.” Ungkapnya.

“Ponsel yang saya pegang itu baterainya rusak, jadi kalau mau ditambah dayanya 1 jam hanya sekitar 10% saja. Bayangkan, setiap hari saya hanya bisa melihat ponsel dengan daya baterai yang hanya tertinggal 10% saja.” Uajarnya dengan mimik sedih.

Suatu hari hari saat Tahun Baru Imlek, ia diminta untuk membawa barang berat dari lantai satu ke lantai 3 tanpa berhenti selama seharian. Saat mengadu pada CNA, Lia menuturkan bahwa dirinya mendapati beban mental dan "Sudah tidak kuat" terhadap perlakuan majikannya. 

“Suatu hari saya minta teman saya untuk melaporkan kasus saya ini ke 1955. Memang benar, lembaga pengaduan tersebut menanggapi, tetapi dampaknya menjadi buruk bagi saya. Majikan saya mengetahuinya dan akhirnya mereka malah memberikan beban pekerjaan yang lebih lagi, malah tidak masuk akal.” Terang Lia menjelaskan. 

Majikannya meminta Lia untuk membersihkan tempat penampungan air yang besar hingga ia harus masuk ke dalamnya. 

Pada bulan Mei atau Juni, pihak KDEI juga menghubungi agensi untuk menanyakan mengenai masalahnya. Agensi mengadukan hal ini pada majikan, dan mereka semakin menjadi. Setiap hari selalu saja ada kesalahan Lia yang dibuat-buat oleh majikan. Misalkan, memotong sayur, memasukkan minyak ke penggorengan, dimata majikan selalu salah. 

“Saya tidak pernah keluar rumah. Majikan selalu mengunci rumah ketika mereka keluar dan saya selalu terkunci di dalamnya. Selama bekerja di sana, saya tidak pernah melihat dunia luar, bahkan saya tidak boleh berkomunikasi dengan siapapun.” Ujarnya.

“Pernah saat itu ada tamu yang masuk ke rumah, dan saya diminta untuk mengambil barang dan saya berpapasan sekilas melihat tamu tersebut. Majikan mengetahuinya dan memarahi saya. Intinya, saya tidak boleh berkomunikasi dengan orang luar, sekalipun itu hanya melihat orang luar, itu tidak boleh.” Ungkap Lia.

Lia juga menuturkan bahwa dirinya membersihkan 2 rumah, dari lantai 1 hingga 4 dan bahkan satu persatu barang harus dilap sampai bersih.

“Setiap hari saya juga masak untuk 5 orang dewasa, dan 3 anak kecil yang harus saya jaga. Bahkan setiap hari saya harus tahu menu kesukaan mereka, itu yang harus saya masak.” Ungkapnya. 

Isak tangis Lia pun mulai terlihat saat diwawancarai oleh CNA, ia menuturkan kesedihannya bahwa uang yang seharusnya akan dikirimkan untuk kakeknya yang memerlukan biaya pengobatan, hingga sekarang tidak dikirimkan oleh majikannya. Kakeknya pun meninggal dunia tanpa pengobatan, bahkan uang kiriman Lia pun hingga sekarang belum jelas.

Ketika ditanya CNA apakah setiap hari diberikan waktu istirahat atau hari libur, Lia mengatakan tidak ada. Setiap hari ia harus bekerja mulai pukul 6 pagi hingga 11 malam. 

“Saya hanya beristirahat malam hari saja setelah menunggu mereka mandi dan beristirahat, baru saya bisa beristirahat.” Ungkapnya.

“Mengenai libur, dari dulu hingga sekarang saya tidak pernah diberi hari libur. Saya pernah memohon ke agensi, mereka tetap tidak memberikan saya libur,” tambah Lia.

Lia juga tidak diizinkan membawa dokumen pribadi seperti ARC, paspor, bahkan buku tabungannya sendiri disita majikan. Jadi ia tidak bisa menghitung uang gaji dan lemburan. Lia hanya pasrah terhadap gaji yang disetor majikan. 

Jika Lia ingin membeli barang-barang pribadi, ia harus menunggu majikan untuk membelikannya dengan memakai uang tabungannya, bahkan bisa sampai 2 bulan baru barang yang diinginkannya datang. 

Harga barang yang ia beli jauh lebih mahal dari harga sebenarnya di pasaran. Lia pernah mengeceknya melalui temannya. 

“Pernah saya beli deodoran seharga NT$200 (Rp96.800), ternyata di pasaran Taiwan hanya NT$150.” Ujar Lia. 

Selama 11 bulan Lia sudah bekerja, ia tidak tahu bagaimana bentuk uang Taiwan, karena semua dipegang majikan. Untuk pengambilan gaji, hanya diperlihatkan di buku tabungannya sebentar, jadi ia tidak sempat mengecek. Pernah ia juga cek dengan catatan sendiri, ada kekeliruan di pemasukan gaji, tetapi majikan tidak mau membahasnya. 

Saat ditanya CNA, bagaimana caranya ia keluar dari rumah majikan tersebut, ia menuturkan bahwa awalnya ia menghubungi Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS) dan meminta agar dijemput. Sebelumnya organisasi non-profit tersebut memintanya untuk memberikan bukti-bukti. Hal tersebut awalnya sangat sulit, akhirnya alhamdulilah bisa diberikan.

Suatu hari ia akan dijemput oleh tim dari GANAS dan Taiwan International Workers Association (TIWA). Lia sudah merapikan barang-barang, dan majikan curiga. Ia pun disidang oleh keluarga majikan. Lia tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Hingga pada pukul 11, ia diminta kembali memasak dan tiba-tiba adik majikan memanggil kalau ada polisi yang datang. 

“Waktu itu saya hanya ingat perkataan kru GANAS bahwa kalau ada polisi yang jemput, barang yang harus kamu bawa yang penting adalah ponsel. Barang-barang yang lain jangan dipikirkan.” Ujar Lia menirukan pesan kru GANAS.

“Akhirnya saya turun ke kamar dan mengambil ponsel saya. Majikan masih belum membukakan pintu untuk polisi dan tim GANAS. Kemudian beberapa waktu, majikan membuka pintu dan saya mengambil kesempatan itu untuk berlari ke arah polisi dan bersembunyi di belakang mereka,” sambung Lia. 

Kemudian majikan menutup pintu rumahnya kembali. Majikan dan polisi sempat berdiskusi lewat pintu yang tertutup dan akhirnya memperbolehkan 1 polisi untuk masuk. 

“Saya sempat diminta polisi untuk kembali masuk ke rumah tersebut dan saya tidak mau. Akhirnya mereka membawa saya ke kantor polisi dan saya menceritakan semuanya. Kini saya bisa dibawa ke shelter TIWA dan kasus saya masih dalam penyelidikan kepolisian,” ungkap Lia mengakhiri wawancara.

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.