Taipei, 12 Nov. (CNA) Taiwan telah menolak klaim kedaulatan yang diperbaharui atas Laut Cina Selatan oleh Filipina dan Tiongkok dengan menegaskan kembali kedaulatan dan hak negara tersebut di bawah hukum internasional atas area yang disengketakan itu.
"Republik Tiongkok (Taiwan) menikmati semua hak atas kelompok pulau dan perairan sekitarnya di Laut Cina Selatan sesuai dengan hukum internasional dan hukum maritim," kata Kementerian Luar Negeri (MOFA) Taiwan dalam sebuah pernyataan pada Selasa (12/11).
Upaya negara lain untuk mengklaim kedaulatan atas Laut Cina Selatan tidak mengubah fakta bahwa ROC memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut, kata MOFA.
Pernyataan MOFA dikeluarkan setelah Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. hari Jumat menandatangani dua undang-undang untuk mendefinisikan hak maritim negaranya dan menetapkan jalur laut dan udara yang ditentukan untuk memperkuat kedaulatan Filipina atas bagian dari Laut Cina Selatan.
Tiongkok dengan cepat menanggapi klaim Filipina itu dengan menerbitkan garis dasar untuk karang yang diperebutkan di Laut Cina Selatan pada Minggu dan mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan sebagai bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (PRC).
Beijing saat ini mengklaim wilayah yang juga diklaim Filipina, Brunei, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan.
"Tiongkok akan terus mengambil semua tindakan yang diperlukan sesuai dengan hukum untuk membela kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim Tiongkok dengan tegas," kata Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Putusan tahun 2016 oleh pengadilan arbitrase internasional menemukan bahwa sebagian besar klaim Tiongkok di Laut Cina Selatan tidak valid, tetapi Beijing telah menolak untuk mematuhinya.
Kapal-kapal dari Tiongkok dan Filipina telah bertabrakan beberapa kali sebagai bagian dari konfrontasi yang meningkat antara dua pemerintah dalam beberapa bulan terakhir, termasuk Penjaga Pantai Tiongkok yang menembak kapal Filipina dengan meriam air.
Pernyataan MOFA pada Selasa menggambarkan tindakan terbaru yang diambil Tiongkok dan Filipina sebagai "Meningkatkan ketegangan regional dan berpotensi membahayakan perdamaian dan stabilitas regional."
Ini menegaskan kembali keinginan Taiwan untuk menyelesaikan sengketa teritorial melalui dialog multilateral dan mekanisme penyelesaian sengketa, dan mengatakan Taiwan harus dimasukkan dalam mekanisme tersebut dengan kedudukan yang setara.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI hari Senin menegaskan bahwa Pernyataan Bersama Indonesia-Tiongkok, yang disepakati dalam kunjungan Presiden RI Prabowo Subianto ke Beijing baru-baru ini, bukan merupakan pengakuan atas klaim sepihak Tiongkok di Laut Cina Selatan.
Kemlu RI melalui keterangan pers menyampaikan bahwa bagi Indonesia, kerja sama ini harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah undang-undang dan peraturan yang terkait.
"[Ini] termasuk yang mengatur kewilayahan; undang-undang ratifikasi perjanjian internasional kelautan...; maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan ataupun delimitasi batas maritim; peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan, dan berbagai ketentuan lainnya," menurut Kemlu RI.
Selain itu, Kemlu RI juga menyampaikan, kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan Indonesia atas klaim Tiongkok di "Sembilan Garis Putus-putus" -- yang mencakup Laut Natuna Utara yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia.
"Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) 1982," Kemlu RI menyampaikan.
Taiwan saat ini menguasai dua pulau di Laut Cina Selatan.
Salah satunya adalah Pulau Taiping. Juga dikenal sebagai Itu Aba, pulau ini adalah yang terbesar di antara Kepulauan Spratly dan terletak di 1.600 kilometer barat daya Kaohsiung, serta dikelola sebagai bagian dari Distrik Cijin Kaohsiung.
Yang lainnya adalah Pulau Dongsha, juga dikenal sebagai Pulau Pratas, yang terletak 450 km barat daya Kaohsiung.
Selesai/JA