Taipei, 4 Agu. (CNA) Akademisi asal Indonesia baru-baru ini menyatakan bahwa Kebijakan Baru ke Arah Selatan (NSP) Taiwan turut berkontribusi terhadap tujuan Indonesia Emas 2050, dan menyarankan peningkatan investasi Taiwan di sektor perdagangan elektronik Indonesia.
The Habibie Center Indonesia hari Kamis (1/8) mengadakan forum mengenai NSP Taiwan, mengundang para akademisi dari Taiwan dan Indonesia untuk mendiskusikan hubungan Taiwan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Ratih Kabinawa, asisten peneliti di Fakultas Ilmu Sosial University of Western Australia, mengatakan bahwa Taiwan kini memainkan peran penting di bidang chip, rantai pasokan industri, inovasi, dan teknologi canggih untuk negara-negara Asia Tenggara, dan merupakan mitra dagang terbesar kesepuluh ASEAN.
Ratih menyimpulkan bahwa NSP juga sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang menargetkan Indonesia Emas 2050, di mana "NSP membantu berkontribusi terhadap tujuan ini."
"Meskipun ada kebijakan satu Tiongkok, Kebijakan Baru ke Arah Selatan bisa memenangkan hati dan pikiran negara-negara anggota ASEAN karena [kebijakan] itu bergantung pada kekuatan lunak Taiwan," tambah Ratih.
Namun, Ratih juga menunjukkan bahwa ketegangan geopolitik di Selat Taiwan menghadapi risiko terhadap kerja sama ekonomi dan budaya yang berkembang melalui NSP.
"Hubungan saling ketergantungan yang dibangun oleh Kebijakan Baru ke Arah Selatan akan berdampak langsung pada negara-negara anggota ASEAN jika Tiongkok memutuskan untuk menggunakan kekerasan terhadap Taiwan," kata Ratih.
Rangga Aditya, Kepala Departemen Hubungan Internasional di Binus University, mengulas kebijakan diplomatik dan ekonomi Taiwan terhadap Asia Tenggara.
Rangga menunjukkan bahwa sebelum mantan Presiden Tsai Ing-wen (蔡英文) menjabat, kerja sama Taiwan dengan Asia Tenggara terutama terfokus pada bidang pertanian, pendidikan, dan pariwisata.
Sedangkan, kata Rangga, saat Tsai menjabat, selain pada bidang-bidang tersebut, Taiwan juga mendorong kerja sama di bidang kesehatan masyarakat, teknologi, dan pekerja migran.
Untuk ke depannya, Rangga menyarankan agar Taiwan juga memerhatikan sektor perdagangan elektronik Indonesia yang berkembang pesat.
Menurut Rangga, banyak investasi perusahaan perdagangan elektronik di Indonesia berasal dari Tiongkok, sementara pada masa kepresiden Tsai sektor perdagangan elektronik Taiwan kurang fokus pada sektor tersebut di Indonesia.
"Ini meninggalkan banyak ruang untuk dieksplorasi oleh Taiwan mengingat Taiwan cukup maju di [bidang] teknologi," kata Rangga, menambahkan bahwa Taiwan memiliki kemajuan teknologi yang diperlukan dalam menjalankan ekonomi digital.
Alan H. Yang (楊昊), Direktur Eksekutif Taiwan-Asia Exchange Foundation (TAEF) dan profesor di Institut Studi Timur Jauh National Chengchi University, menunjukkan bahwa dari 2016 hingga 2024, hubungan Taiwan dan negara-negara Asia Tenggara semakin dekat.
Saat ini, kata Yang, di tengah persaingan besar kekuatan dan krisis geopolitik, negara-negara besar dan kecil perlu memperkuat kerja sama untuk memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan.
Ia berpendapat bahwa NSP adalah cara yang efektif untuk membangun hubungan mitra yang beragam melalui diplomasi kekuatan hangat.
Meskipun Presiden Lai Ching-te (賴清德), yang saat ini menjabat, belum menjelaskan secara rinci visinya tentang NSP, ia telah menyatakan berkali-kali bahwa kebijakan ini akan diteruskan, kata Yang.
Ia menyarankan agar ke depannya pemerintah dapat memprioritaskan pertukaran di bidang teknologi digital, semikonduktor, serta manajemen sosial dan bencana.
(Oleh Zachary Lee dan Jason Cahyadi)