Taipei, 9 Okt. (CNA) Pakar militer pada Rabu (8/10) membahas langkah-langkah terbaru yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok, mengatakan bahwa Taiwan perlu lebih siap menghadapi serangan presisi dan operasi kapal induk.
Setelah kemampuan operasi PLA yang berfokus pada pesawat pengebom matang, mereka akan mampu melakukan serangan "sekali, terkontrol, dan bedah" pada target tertentu di Taiwan tanpa membahayakan warga sipil, kata Ma Chen-kun (馬振坤), seorang profesor di Institut Pascasarjana Studi Urusan Militer Tiongkok National Defense University Taiwan.
Berbicara dalam seminar di Taipei yang diselenggarakan oleh Institut Hubungan Internasional National Chengchi University (NCCU) mengenai pergerakan PLA dan implikasinya terhadap keamanan Taiwan, Ma menyampaikan pernyataan tersebut setelah mencatat peningkatan aktivitas pengebom H-6 PLA di Selat Taiwan baru-baru ini.
Pengebom serang jarak menengah hingga jauh itu terpantau di Selat Taiwan hingga 14 hari pada September, katanya.
"Dulu, pengebom H-6 biasanya muncul di wilayah udara barat daya Taiwan, lalu melintasi Selat Bashi, karena target yang dimaksud adalah Guam atau kapal angkatan laut Amerika Serikat di Pasifik Barat," kata Ma, mengindikasikan adanya perubahan pendekatan sejak September.
Menurut Ma, pengebom seri H-6 dapat membawa tidak hanya amunisi standar tetapi juga rudal serang darat supersonik bahkan hipersonik, serta rudal antikapal.
Dengan demikian, pesawat ini dapat melakukan serangan presisi sekali terhadap pantai barat Taiwan, terutama di pusat Taipei, tanpa membahayakan warga sipil, kata Ma.
Mengapa serangan presisi?
Mengenai alasan PLA melakukan serangan presisi, Ma mengatakan tujuan utamanya adalah untuk meminimalkan jejak serangan dan mengakhiri konflik dengan cepat.
"Berdasarkan semua informasi yang tersedia untuk publik, kita dapat menyimpulkan bahwa, di bidang politik, [Presiden Tiongkok] Xi Jinping (習近平) saat ini tidak berniat menggunakan cara militer untuk menyelesaikan masalah Taiwan," kata Ma, merujuk pada tujuan lama Beijing untuk mencapai unifikasi dengan Taiwan.
"Namun, petunjuk dari berbagai aspek persiapan militer menunjukkan bahwa dia (Xi) percaya mungkin perlu mengambil tindakan militer jika diperlukan, untuk mencegah apa yang disebut Beijing sebagai aktivitas separatis 'kemerdekaan Taiwan'," tambah Ma.
Pakar militer tersebut mengatakan serangan presisi serupa terjadi pada 9 September, ketika Israel melakukan serangan terarah di Doha, Qatar, yang menargetkan pemimpin politik senior Hamas yang terlibat dalam negosiasi gencatan senjata di Gaza, yang mengakibatkan enam orang tewas dan setidaknya empat luka-luka.
Ma mengatakan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Trump, sebagai tanggapan atas serangan Israel di Qatar -- yang keduanya adalah sekutu diplomatik AS -- hanya menegaskan kembali komitmen Washington terhadap keamanan Qatar, tanpa mengambil tindakan lebih lanjut.
Jika Tiongkok melakukan serangan sekali terhadap Taiwan seperti serangan Israel di Qatar tanpa tindakan militer lanjutan, "Bagaimana kita harus merespons dengan langkah-langkah militer balasan menjadi pertanyaan kunci," catat Ma.
Memperingatkan Taiwan untuk tetap waspada terhadap potensi serangan pemenggalan pada target tertentu, ia menambahkan bahwa setiap aksi militer Taiwan setelah serangan PLA semacam itu "Akan menandakan eskalasi situasi lintas selat secara keseluruhan."
"Isu lain yang perlu dinilai dengan hati-hati adalah apakah AS akan merespons dengan tindakan militer [atas nama Taiwan,]" tambah Ma.
Lebih sedikit pesawat PLA di timur Taiwan
Juga hadir dalam seminar tersebut, Lin Ying-yu (林穎佑), seorang profesor di Institut Pascasarjana Urusan Internasional dan Studi Strategis Tamkang University, mengatakan bahwa belakangan ini lebih sedikit pesawat PLA yang terlihat terbang di sebelah timur Taiwan.
"Ancaman sekarang bukan hanya dari udara," kata Lin, seraya menambahkan bahwa jika PLA menggunakan kekuatan laut untuk membangun kehadiran atau melakukan patroli di lepas pantai timur Taiwan, hal itu juga dapat memberikan tekanan.
"Dulu mungkin mengandalkan kuantitas, tapi sekarang beralih ke ancaman yang didorong oleh kualitas," kata Lin. "Selain udara dan laut, kita juga tidak boleh melupakan kapal induk."
Saat ini PLA memiliki tiga kapal induk, dan ketiganya pernah berada di dekat Taiwan. Liaoning dan Shandong telah beroperasi di perairan dekat negara pulau tersebut, sementara Fujian yang belum diresmikan melintasi Selat Taiwan pada September.
Senada dengan Lin, Chen Kuo-ming (陳國銘), pemimpin redaksi majalah Defence International, mencatat ancaman dari kapal permukaan lebih besar daripada dari pesawat karena "Anda tidak bisa mengusir kapal permukaan itu."
Pakar militer tersebut mengatakan pesawat memiliki batas waktu terbang, dengan mencatat bahwa pengebom dalam misi panjang mungkin hanya bisa bertahan di udara sekitar sepuluh jam.
"Namun kapal perang lebih sulit dihadapi, karena mereka bisa berdiam di dalam 24 mil laut [dari pantai]," tambah Chen.
Selesai/JC