Taipei, 21 Jan. (CNA) Seiring Donald Trump telah memulai masa jabatan baru sebagai presiden Amerika Serikat, analis menyoroti kebijakannya tentang bea, perdagangan, dan pertahanan serta rasa tidak suka umumnya terhadap sekutu sebagai hal yang harus diperhatikan Taiwan di tahun mendatang.
Trump, yang mulai menjabat pada Senin (waktu Washington) untuk masa jabatan keduanya yang tidak berturut-turut, telah mengatakan bahwa ia akan memberlakukan bea tanpa pandang bulu baik pada sekutu maupun nonsekutu, kata Yen Chen-shen (嚴震生), seorang peneliti di Institut Hubungan Internasional National Chengchi University.
Apakah ia akan melaksanakan janji-janji ini dan dampak potensialnya terhadap Taiwan bisa menimbulkan kekhawatiran dalam jangka pendek dalam hubungan antara Taipei dan Washington, tambah Yen.
"Pendekatannya, mari kita katakan seperti ini, tidak menunjukkan belas kasihan terhadap sekutu," kata Yen kepada CNA, menunjuk ke janji kampanye Trump untuk memberlakukan bea 10 persen pada semua impor global dan bea 60 persen pada barang-barang Tiongkok yang masuk ke Amerika Serikat.
Kepala Dewan Pengembangan Nasional Taiwan, Liu Chin-ching (劉鏡清), mengatakan bahwa jika diterapkan, bea 10 persen itu tidak akan berdampak signifikan pada Taiwan.
Menurut Liu, langkah-langkah potensial AS di bawah Trump itu justru bisa mendorong perusahaan Taiwan yang beroperasi di Tiongkok untuk pindah agar menghindari bea yang jauh lebih tinggi pada ekspor Negeri Tirai Bambu tersebut.
Di sisi lain, Wen-Ti Sung (宋文笛), seorang peneliti tidak tetap dengan Global China Hub dari Atlantic Council, mengungkapkan kekhawatiran yang lebih sedikit atas apa yang ia sebut sebagai "Bahasa utama pemilu," meragukan apakah janji-janji bea tersebut akan terwujud secara konsisten di semua sektor.
Apakah pemerintahan baru AS akan menciptakan klausul pengecualian untuk negara-negara mitranya, termasuk Taiwan, akan "Memberi kita satu atau dua indikator tentang seberapa tinggi Taiwan berada dalam [daftar prioritas] pemerintahan tersebut," katanya kepada CNA.
Juga dalam radar Sung, adalah negosiasi antara kedua belah pihak tentang "Inisiatif Perdagangan Abad ke-21 AS-Taiwan" -- sebuah kerangka kerja yang mencakup sebelas isu perdagangan yang Taipei harapkan akan berubah menjadi perjanjian perdagangan bebas.
Kendati demikian, Sung mengakui bahwa ia tidak begitu optimis tentang terobosan signifikan dalam hubungan ekonomi bilateral ke depan, berpendapat bahwa kebijakan "Proteksionis" Trump mungkin bertentangan dengan ketergantungan berat Taiwan pada perdagangan global.
Isu lain yang analis dan pengamat bersemangat untuk pantau adalah apakah pemerintahan Trump akan mendorong Taiwan untuk meningkatkan pengeluaran pertahanannya ke atas NT$647 miliar (Rp323 triliun) yang dijanjikan Taiwan untuk tahun fiskal 2025, yang akan mencakup 2,45 persen dari PDB-nya.
Pada kampanye pemilihannya, Trump mengkritik Taiwan karena tidak melakukan cukup banyak untuk membela diri terhadap agresi potensial Tiongkok, mengatakan bahwa Taiwan harus membayar AS untuk perlindungan dari Beijing.
Dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post pada September 2024, Trump mengatakan Taiwan harus meningkatkan anggaran pertahanannya menjadi 10 persen dari pendapatan nasionalnya, angka yang jauh lebih tinggi dari 4,12 persen Polandia untuk 2024, tertinggi di antara para anggota NATO, atau 3,38 persen AS.
Namun, Yen dari NCCU berhati-hati, bahwa tidak ada yang tahu apakah Trump serius terhadap kata-katanya atau ia hanya mencoba untuk menakut-nakuti Taiwan.
"Jika kita menanggapi [desakan Trump untuk meningkatkan pengeluaran], itu tidak menjamin ia akan membantu kita...Jika kita tidak, itu mungkin akan memberinya alasan yang praktis untuk menghindari intervensi jika terjadi konflik di Selat Taiwan," katanya.
Ia juga menyarankan agar Taiwan melanjutkan kebijakan saat ini untuk secara bertahap meningkatkan anggaran pertahanan, karena menurutnya itu akan menunjukkan niat baik kepada pemerintahan baru AS dan menunjukkan bahwa "Bantuannya benar-benar membantu Taiwan berdiri dengan kedua kakinya sendiri."
Selesai/JA