Taipei, 5 Mei (CNA) Toko buku "Akauwbooks" hari Minggu (4/5) mengadakan tur budaya dengan mengajak masyarakat Taiwan melihat lebih dekat kehidupan sehari-hari para anak buah kapal (ABK) migran Indonesia di Kabupaten Pingtung, mulai dari mendatangi Pelabuhan Donggang, masjid, hingga tempat berkumpul mereka.
Tur perdana hari Minggu dipandu Wu Ting-kuan (吳庭寬), seorang pembaca sekaligus aktivis yang lama menaruh perhatian pada isu pekerja migran, dan diikuti 20 peserta. Perjalanan dimulai dari pelabuhan, melewati masjid, serta toko-toko Indonesia yang menjadi bagian dari kehidupan komunitas ABK migran.
Titik awal tur adalah bekas tempat lelang udang sakura. Wu menjelaskan kepada CNA bahwa lokasi yang dekat dengan kapal ini kerap digunakan sebagai lokasi acara berskala besar komunitas ABK di Donggang, seperti Idulfitri, Iduladha, Hari Kemerdekaan Indonesia, bahkan kampanye pemilihan presiden RI.
Menurut Wu, yang juga dikenal dengan nama Sima di kalangan pekerja migran, komunitas Indonesia di Donggang berjumlah setidaknya 2.000 orang, dan ada sekitar 20 toko atau tempat layanan bagi ABK migran di area pelabuhan, beberapa di antaranya menjadi tempat berkumpul mereka.
Tur ini juga memperkenalkan sejarah masjid, perkembangan organisasi ABK migran, partisipasi mereka dalam budaya lokal, serta inisiatif penyediaan Wi-Fi di kapal oleh Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia -- Pingtung Migrant Fishers Union (FOSPI-PMFU), ujar Wu.
Di sepanjang rute, tur tersebut juga memperkenalkan tokoh-tokoh yang mewakili komunitas. Salah satunya adalah seorang ABK migran asal Indonesia yang dipanggil "A Kung" (阿公) -- yang berarti "kakek" -- yang berdiri di depan kantor agensi tenaga kerja.
Wu mengatakan bahwa "A Kung" (51), yang bernama asli Ranadi dan datang ke Taiwan tahun 1999, memulai karier sebagai ABK migran dan kemudian berhasil meraih sertifikasi untuk menjadi kepala mesin kapal.
Agensi tenaga kerja "A Kung" bahkan telah membuka kantor di sebuah desa di pesisir utara Jawa Barat, sehingga jangan heran kalau di desa asalnya banyak yang memakai topi kuil Taiwan, tambah Wu.
Saat mendengar "A Kung" bisa berbahasa Hokkien, para peserta tur merasa lebih dekat secara emosional. Seorang warga Pingtung bermarga Hung (洪) (77) tertarik melihat peta kampung halamannya dan bertanya, “Pernah ada yang bilang kamu tampan?” yang langsung disambut tawa para hadirin.
Hung mengatakan bahwa ia tertarik mengikuti tur karena rasa penasaran, seiring ia sering melihat pekerja migran tetapi jarang membaca informasi tentang mereka, sehingga ingin lebih memahami budaya dan agama mereka.
Peserta lain, Chen Yu-fen (陳郁棻), warga lokal Donggang yang sejak kecil tinggal dekat pelabuhan, mengatakan keluarganya dahulu sering mengingatkan untuk tidak melewati jalan yang biasa dilalui para ABK migran.
Namun, kata Chen, ia merasa bahwa setiap orang berbeda, ada yang baik dan ada yang buruk, sehingga ia ingin mengenal mereka lebih jauh. Setelah mengikuti kegiatan ini, pandangannya pun berubah. “Mungkin ini adalah awal,” ujarnya. Kini, ketika melewati masjid, ia merasa bisa menyapa para ABK migran.
Kegiatan berakhir di markas FOSPI-PMFU, tempat di mana para peserta menikmati camilan dan sup ikan khas Indonesia yang disiapkan para ABK migran.
Ketua FOSPI-PMFU, Achmad Mudzakir, kemudian menjelaskan kondisi para ABK migran. Ia menyebutkan bahwa saat ini pelaut asing di kapal penangkap ikan laut jauh Taiwan sebagian besar berasal dari Indonesia.
Banyak dari mereka kembali ke pelabuhan setelah berlayar selama berbulan-bulan, bahkan hingga dua tahun, dan membagikan kisah tentang sulitnya berkomunikasi dengan keluarga di laut, kata Mudzakir.
Mudzakir mengatakan bahwa masalah yang sering dialami ABK migran antara lain gaji yang tidak dibayar dan sulit diverifikasi secara langsung, sakit atau cedera di laut tanpa bisa menghubungi pihak luar hingga berujung kematian, serta kehilangan kontak dengan kekasih yang ternyata telah memiliki pasangan baru.
Menurut Mudzakir, penyediaan alat komunikasi merupakan kebutuhan kemanusiaan. Untuk itu, ujarnya. mereka telah mempelajari praktik di Jepang dan Korea Selatan, di mana mayoritas kapal sudah dilengkapi Wi-Fi.
Di Taiwan, berkat dorongan dari organisasi masyarakat sipil, kini sekitar 40 persen kapal sudah memiliki fasilitas tersebut, kata Mudzakir, namun masih banyak yang belum memiliki sistem yang jelas, sehingga akses Wi-Fi sering dikendalikan kapten.
Banyak ABK kesulitan mendapatkan kata sandi, sehingga Wi-Fi seakan tidak bisa digunakan, ujarnya, sehingga ia berharap pemerintah Taiwan lebih memerhatikan kondisi ABK migran di kapal penangkap ikan laut jauh.
(Oleh Huang Yu-jing dan Jason Cahyadi)
Selesai/JA