Taipei, 6 Mei (CNA) Selama 34 tahun sepasang ibu guru kembar (75) asal Indonesia telah berhasil mendidik ribuan anak fakir miskin, membantu mereka melewati sekolah tingkat SD hingga SMA melalui Sekolah Darurat Kartini. Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Chou Ta-kuan, memberikan penghargaan "Medali Cinta Kehidupan Global" kepada pasangan kembar ini.
Sebuah sekolah gratis di perumahan Jakarta Utara, Indonesia dipenuhi puluhan siswa berusia 6 hingga 17 tahun yang sedang belajar di setiap sudut ruangan sesuai dengan tingkatannya. Ada siswa Sekolah Dasar (SD) yang menyanyi sambil memainkan alat musik tradisional, ada siswa Sekolah Menengah Pertama dan Atas (SMP dan SMA) yang menulis laporan menggunakan komputer, dan ada juga yang belajar matematika di bawah bimbingan guru.
Berbeda dengan kebanyakan sekolah swasta lainnya di Indonesia, Sekolah Darurat Kartini ini bersifat gratis. Sekolah ini didirikan oleh ibu guru kembar yang sekarang sudah berusia 75 tahun, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih, pada tahun 1990. Siswa yang mereka terima adalah anak-anak fakir miskin yang tidak memiliki kartu keluarga maupun kartu tanda penduduk.
Rossyati menyampaikan kepada CNA bahwa pada tahun 1990-an ada banyak anak yang berkeliaran di jalanan. Mereka tidak hanya tidak bisa bersekolah saja, mereka juga selalu kelaparan. Ia, yang tinggal di daerah elit Jakarta, pernah melihat anak-anak mencari makanan di tempat sampah. Hal tersebut membuatnya sangat sedih.
Ada banyak orang tua siswa yang tidak memiliki pekerjaan yang layak, lanjutnya, sehingga terpaksa mencuri atau menjadi pekerja seks. Bagi sekolah, tantangan terbesar mereka adalah, selain harus mendidik anak-anak mereka juga harus merubah orang tuanya. Oleh karena itu, sekolah juga menyediakan kursus kejuruan untuk orang tua.
Untuk berkontribusi dalam pendidikan publik, Irianingsih rela menjual perusahaan propertinya guna mengumpulkan dana untuk mendirikan sekolah.
Sekolah juga akan menyediakan seragam, transportasi, dan makanan secara gratis. Pihak sekolah akan mengundang orang tua untuk memasak makanan bagi siswa di sekolah, dan membiarkan siswa membawa pulang makanan.
Salah satu siswa berusia 13 tahun, Nur, mengatakan kepada CNA bahwa ia tidak bisa pergi ke sekolah negeri karena tidak memiliki akta kelahiran dan kartu identitas Jakarta. Ia mengungkapkan bahwa di sini ia bisa belajar bermain drum dan komputer, sehingga ia merasa sangat senang.
Rossyati mengungkapakan rasa bangganya kepada CNA bahwa siswa mereka ada yang menjadi guru, tentara dan polisi, sementara yang lain bekerja sebagai sales.
Yayasan CTK menyatakan kepada CNA bahwa selama 27 tahun terakhir mereka telah memberikan penghargaan ini kepada 459 orang dari 79 negara di seluruh dunia. Yayasan ini juga akan mengundang ibu guru kembar tersebut datang ke Taiwan untuk menerima penghargaan dan berpartisipasi dalam serangkaian kegiatan amal yang berfokus pada kepedulian terhadap kehidupan.
(Oleh Zachary Lee dan Antonius Agoeng Sunarto)
Selesai/JC/ ML