Sejumlah LSM Taiwan tanda tangani petisi solidaritas demonstrasi Indonesia

02/09/2025 17:05(Diperbaharui 03/09/2025 13:25)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Jakarta, 29 Agustus 2025. (Sumber Foto : Reuters)
Jakarta, 29 Agustus 2025. (Sumber Foto : Reuters)

Taipei, 2 Sep. (CNA) Sejumlah LSM Taiwan telah menandatangani sebuah petisi yang bertujuan untuk menyuarakan solidaritas terhadap demonstrasi yang berlangsung di Indonesia baru-baru ini terhadap kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak prorakyat dan kekerasan aparat yang mengikutinya.

Asia Citizen Future Association (ACFA) pada Senin (1/9) malam "Mengundang masyarakat sipil dan publik Taiwan bersama-sama menandatangani petisi, menyatakan solidaritas kepada rakyat Indonesia yang kebebasan berkumpulnya terlanggar, menuntut dihentikannya kekerasan polisi, serta membela hak asasi manusia (HAM) yang mendasar."

Hingga Selasa pagi, petisi tersebut telah ditandatangani 12 organisasi, menurut unggahan media sosial ACFA, sebuah kelompok masyarakat sipil yang berbasis di Taiwan. Sebelumnya, mereka juga telah mengajukan berbagai tuntutan terkait demonstrasi di Indonesia. 

ACFA meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) segera menghentikan penggunaan kekuatan berlebihan, memastikan seluruh tindakan pengendalian massa mematuhi Peraturan Kepala Polri Nomor 1 Tahun 2009 dan standar HAM internasional, serta melakukan investigasi yang adil terhadap personel yang terlibat.

Mereka juga meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) segera melakukan investigasi darurat terkait kekerasan polisi pada 28 Agustus, serta merekomendasikan pemberian sanksi disipliner dan pidana.

ACFA pun menuntut Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) segera menghentikan "penghilangan paksa", "Serta memastikan seluruh warga sipil yang ditahan secara sewenang-wenang memperoleh pembebasan dan perlindungan dengan segera."

Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus "Segera melakukan investigasi cepat, adil, dan transparan terkait penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, serta eksekusi di luar hukum yang berhubungan dengan demonstrasi, serta memberikan perlindungan bagi korban dan saksi," kata mereka.

ACFA juga meminta Komnas HAM memperkuat pemantauan pada penggunaan berlebihan senjata pengendali massa -- gas air mata, pentungan, peluru karet -- dan penggunaan kendaraan taktis, "Khususnya terkait peristiwa tewasnya seorang kurir pengantar akibat dilindas kendaraan taktis."

Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) harus sungguh-sungguh melaksanakan fungsi pengawasan legislatif, memanggil Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo untuk dengar pendapat dan memberikan penjelasan, serta memastikan pengendalian massa ke depannya benar-benar mematuhi hukum, kata mereka.

ACFA juga meminta DPR mempercepat pembahasan dan pengesahan undang-undang yang menjamin hak-hak pekerja, jaminan sosial, dan kebebasan sipil.

"DPR, sebagai pihak yang menjadi sasaran protes masyarakat, tidak boleh bersembunyi di balik penindasan, tetapi harus secara langsung menghadapi dan mendengarkan tuntutan masyarakat sipil, serta mengambil tindakan bertanggung jawab untuk memulihkan kepercayaan publik," kata mereka.

ACFA juga meminta DPR segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa, menyusun undang-undang untuk mencegah terulangnya penghilangan paksa, memastikan investigasi yang tepat, serta menuntut pertanggungjawaban pelaku.

Terakhir, ACFA menuntut Presiden RI Prabowo Subianto untuk secara terbuka mengecam kekerasan polisi, menjamin hak untuk berkumpul secara damai, serta memastikan bahwa Indonesia sepenuhnya memenuhi kewajiban di bawah hukum hak asasi manusia internasional.

"Setiap persidangan yang berkaitan dengan kekerasan polisi selama demonstrasi harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Kepolisian juga harus meninjau ulang penanganan demonstrasi dengan mengutamakan langkah-langkah nonkekerasan," kata mereka.

ACFA juga mengatakan mereka pada 16 September akan menggelar sebuah diskusi daring dengan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, "Untuk bersama-sama mempelajari apa yang bisa kita (masyarakat Taiwan) lakukan bagi Indonesia."

Sebelumnya, demonstrasi pecah pada 25 Agustus untuk memprotes kenaikan tunjangan DPR, dan berlanjut pada 28 Agustus bertepatan dengan aksi buruh. Di Pejompongan, Jakarta sebuah kendaraan taktis Korps Brigade Mobil menabrak pengemudi ojek daring dan menewaskannya. Aksi pun berlanjut hingga menyebar dan menuntun pada perusakan dan kekerasan lainnya.

Sembilan orang telah dilaporkan tewas di Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang dari 28 Agustus hingga Senin, dilansir tirto.id. Sementara itu, KontraS mengungkapkan hingga Senin ada 23 orang dilaporkan hilang oleh keluarganya.

Di Taiwan, serangkaian kejadian ini telah dilaporkan sejumlah media nasional, dari kantor berita hingga stasiun televisi, serta diedarkan berbagai unggahan media sosial.

Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO) di Indonesia pada 29 Agustus mengimbau warga Taiwan yang sedang di atau akan ke Indonesia untuk tetap memerhatikan keselamatan, selalu memantau perkembangan situasi protes, serta menghindari lokasi demonstrasi dan sekitarnya.

Pada Senin, TETO juga mengumumkan penutupan layanan loketnya selama hari itu. "Layanan normal akan kembali bergantung pada kondisi keamanan. Oleh karena itu, harap terus memantau pengumuman terbaru dari kami," kata mereka.

(Oleh Jason Cahyadi)

Selesai/IF

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.