Greenpeace-SBMI: ABK Indonesia diduga hadapi eksploitasi di kapal Taiwan

10/12/2024 10:34(Diperbaharui 10/12/2024 10:35)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Foto hanya untuk ilustrasi semata. (Sumber foto: Dokumentasi CNA)
Foto hanya untuk ilustrasi semata. (Sumber foto: Dokumentasi CNA)

Jakarta, 10 Des. (CNA) Greenpeace Asia Tenggara bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap adanya dugaan praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dialami para anak buah kapal (ABK) migran Indonesia di kapal ikan jarak jauh berbendera Taiwan, ada sepuluh aduan yang diterima dari 2019 sampai 2024.

Dalam konferensi pers di Indonesia yang juga disiarkan secara daring, tim investigasi menyebutkan mereka menemukan benang merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat. 

Tim juga berhasil mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang turut mendapatkan keuntungan dari penderitaan ABK migran.

“Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara-saudara kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern. Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya untuk membenahi pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius hak asasi manusia,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.

Ada sejumlah sorotan dari laporan yang dirangkum oleh SBMI dalam lima tahun terakhir. Di antaranya adalah perbudakan modern di laut di mana ABK migran Indonesia melaporkan beragam praktik kerja paksa menurut indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), di antaranya penipuan (100 persen),
penahanan dokumen identitas pribadi (100 persen), penyalahgunaan kerentanan (92 persen), dan jeratan utang (92 persen), kata Hariyanto.

Selain itu ada juga eksploitasi finansial di mana para nelayan migran mengaku secara ilegal diminta membayar biaya perekrutan, sekitar Rp7.657.039 sampai Rp31.042.050 setara dengan 1-4 kali gaji per bulan yang dijanjikan pada mereka. Hal ini bertentangan dengan ketentuan di UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Upah ditahan hingga 20 bulan, menyebabkan mereka tak berpenghasilan dan menempatkan ekonomi keluarga mereka dalam kondisi kritis. Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera mata tidak menerima kompensasi asuransi medis yang setara dengan nilai 25 kali lipat gaji per bulannya,” demikian disampaikan SBMI.

Selain itu ada juga enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi melakukan kegiatan seperti transshipment ilegal, beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi yang semestinya, dan menangkap ikan di kawasan konservasi.

Transshipment, atau pemindahan muatan di tengah laut, kerap dibarengi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification System) kapal untuk menyembunyikan aktivitasnya.

Para nelayan juga melaporkan praktik shark finning yang secara global sudah dilarang secara masif, di mana sirip hiu dipotong dan tubuh hiu dibuang kembali ke laut. 

SBMI dan Greenpeace juga menemukan empat kapal teridentifikasi terhubung dengan merek tuna kalengan Amerika Serikat Bumble Bee, yang dimiliki oleh perusahaan bisnis tuna Taiwan, FCF. Kapal-kapal ini adalah Chaan Ying, Guan Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan Sheng Ching Fa No. 96.

“Kapal-kapal tersebut tercatat memasok hasil tangkapan ke Bumble Bee sebanyak beberapa kali dan selama beberapa tahun–mengindikasikan relasi bisnis yang langgeng di antara kedua belah pihak,” demikian data SBMI menyebutkan.

Selama satu dekade terakhir, Greenpeace Indonesia dan SBMI telah bekerja sama dalam mengungkap dugaan praktik pelanggaran hak pekerja ini dan mendorong pemerintah Indonesia melakukan perbaikan. 

“Laporan ini merupakan seri ketiga dari laporan investigasi serupa yang terbit pada 2019 dan 2021,” kata Greenpeace.

Rekomendasi


Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI mendesak pemerintah Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret, yakni memperketat kebijakan dan regulasi industri perikanan; memastikan korporasi bertanggung jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan; menyediakan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan; serta membangun industri seafood global yang adil, manusiawi, dan lestari.

“Temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global. Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan laut kita,” kata Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/ML

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.