Pembicara diskusi gerakan "Peringatan Darurat" Indonesia di Taiwan: Itu upaya perjuangkan demokrasi

16/09/2024 20:10(Diperbaharui 17/09/2024 15:54)
Zulfi Alhakim (bertopi) dan Brigitta (berkacamata), dua mahasiswa Indonesia di Taiwan yang berbagi perspektif tentang demonstrasi di Indonesia di DayBreak, Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 15 September 2024)
Zulfi Alhakim (bertopi) dan Brigitta (berkacamata), dua mahasiswa Indonesia di Taiwan yang berbagi perspektif tentang demonstrasi di Indonesia di DayBreak, Taipei, Minggu. (Sumber Foto : CNA, 15 September 2024)

Taipei, 16 Sep. (CNA) Mahasiswa Indonesia di Taiwan, dalam sebuah diskusi di Taipei hari Minggu (15/9) mengatakan bahwa unjuk rasa di Indonesia pada akhir Agustus lalu, yang menekan DPR RI agar tunduk pada putusan MK terkait Pilkada, menandai gerakan masyarakat Indonesia dalam memperjuangkan demokrasinya.

Zulfi Al Hakim, mahasiswa magister kajian budaya Universitas Indonesia yang sedang menjalani pertukaran pelajar di National Tsing Hua University (NTHU), mengatakan aksi massa ini menunjukkan masih kuatnya upaya publik Indonesia, terutama gerakan mahasiswa bersama sejumlah kekuatan publik lainnya, untuk mempertahankan demokrasi.

Zulfi, dalam diskusi Demonstrasi Agustus dan “September Hitam” Indonesia yang digelar NewBloom di ruang komunitas Daybreak di Taipei hari Minggu, menyebut gerakan yang juga disebut “Peringatan Darurat” ini merupakan akumulasi dari kekecewaan publik pada elite politik dan oligarki yang kerap mengotak-atik kebijakan untuk kepentingan mereka. 

Sebelumnya, aksi serupa juga pernah terjadi pada 2019 dengan nama gerakan “Reformasi Dikorupsi”, untuk merespons penetapan Omnibus Law dan perubahan RUU KUHP yang tengah dibahas di DPR.

Omnibus Law adalah teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi. Di Indonesia, pemerintah menilai Omnibus Law yang disusun mampu mempermudah investasi di Indonesia, namun di sisi lain dinilai eksploitatif pada pekerja.

“Jadi ini adalah gerakan yang simultan karena kekecewaan publik Indonesia pada situasi politik yang terjadi belakangan. Dalam hal ini terlihat sekali bagaimana pemerintahan Jokowi ingin mempertahankan kekuasaannya dengan memaksakan keluarganya duduk sebagai kandidat strategis di lingkungan pemerintahan,” kata Zulfi.

Berangkat dari internet, berkelindan dengan gerakan seni

Menurut Zulfi, seperti banyak gerakan sosial yang berkembang akhir-akhir ini, solidaritas gerakan “Peringatan Darurat” di Indonesia juga dipicu tren di internet.

Seperti misalnya lewat beredarnya gambar burung Garuda di media sosial, yang menjadi lambang negara Indonesia dengan latar biru dibumbui efek glitch dan tulisan “Peringatan Darurat” yang menunjukkan situasi negara sedang genting.

Irisan gerakannya, dikatakan Zulfi, berkelindan juga dengan gerakan seni yang merespons sejumlah momentum sosial yang ramai belakangan seperti isu Palestina.

“Ada misalnya aliansi musisi untuk Palestina, yang mana mereka juga ikut ambil bagian dalam aksi-aksi “Peringatan Darurat” ini,” kata Zulfi.

Menurut Zulfi, konsolidasi dan informasi aksi juga disebar melalui sosial media yang pengaksesnya sangat tinggi di Indonesia.

Peringatan “September Hitam” dan upaya agar tak mudah lupa

Brigitta Winasis, mahasiswa kajian budaya UI lainnya yang juga tengah menjalani pertukaran pelajar di NTHU menyebut gerakan “Peringatan Darurat” pada Agustus lalu dirawat juga baranya karena di bulan September ini aktivis prodemokrasi Indonesia memperingati bulan duka yang dinamakan “September Hitam”.

Menurut Brigitta, “September Hitam” merupakan momen mengingat kembali sejumlah peristiwa kelam hak asasi manusia di Indonesia yang ternyata banyak terjadi di bulan September.

Mulai dari tragedi pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan aktivis HAM Munir di tahun 2004, hingga brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi yang baru saja terjadi 2019 lalu, kata Brigitta.

Mengutip laman Komnas HAM Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat KontraS yang memberi nama peringatan ini sebagai “September Hitam”.

“Isu ini layak terus dibicarakan agar menjadi pengingat, menimbang banyak dari kita mudah sekali melupakan banyak kasus HAM yang belum selesai di masa lalu," kata Brigitta.

Menjembatani gerakan sosial di Asia

NewBloom penyelenggara sesi diskusi ini mengatakan pihaknya adalah sebuah majalah daring yang menyajikan perspektif radikal tentang Taiwan dan Asia-Pasifik, yang didirikan sekelompok mahasiswa dan aktivis setelah Gerakan Bunga Matahari 2014 di Taiwan. 

“Kami berupaya menyediakan ruang yang mendorong dialog lintas negara politik dan intelektual di kalangan Kiri,” kata Brian Hioe, salah satu pendiri NewBloom.

Berkaitan dengan topik demonstrasi Agustus dan “September Hitam” di Indonesia, Brian menilai momentum kemarin cukup besar, namun sayang tidak banyak media berbahasa Inggris, apalagi Mandarin, yang menyiarkannya.

“Berangkat dari rasa perlunya kami, aktivis prodemokrasi di Taiwan, memahami apa yang terjadi di Indonesia, membuat kami tergerak untuk menggelar diskusi ini dengan menghadirkan langsung teman-teman Indonesia yang dekat dengan gerakan tersebut,” kata Brian.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/JC

Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.