Taipei, 17 Agu. (CNA) Koordinasi Purna Pekerja Migran Indonesia (KOPPMI) dalam diskusi Rabu (14/8) menilai makna merdeka bagi PMI adalah jika pemerintah menyediakan lapangan kerja dengan gaji layak di dalam negeri, terutama untuk perempuan agar mereka tidak perlu meninggalkan keluarga untuk merantau.
Dalam diskusi tentang makna kemerdekaan Indonesia ke-79 bagi PMI yang digelar oleh Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), Yani dari KOPPMI menilai selama ini pemerintah menggaungkan jargon "Berangkat migran pulang juragan".
Namun, menurut Yani, fakta di lapangan menunjukkan PMI yang sudah pulang cenderung kembali lagi merantau karena ketiadaan akses pekerjaan di dalam negeri.
"Jadi, menurut saya merdeka bagi purna migran adalah tersedianya lapangan pekerjaan dengan upah layak di negeri sendiri. Tidak harus bekerja di negeri seberang meninggalkan anak yang masih kecil yang masih butuh orang tuanya," kata Yani.
Yani mengatakan pilihan untuk merantau sebagai PMI sering kali didorong oleh keputusasaan karena tak ada harapan mengais rezeki di dalam negeri.
Padahal, kerja di luar negeri sebagai PMI pun tidak mudah mengingat selain jauh dari keluarga perlakuan yang didapat di perantauan pun seringkali tidak mengenakan, kata Yani.
"Masih bekerja seperti budak. Buruh migran sebagai bentuk perbudakan modern dengan kondisi kerja yang panjang dan tidak manusiawi. Dipaksa kerja dalam kondisi sakit mengalami pelecehan seksual dan disiksa hingga menyebabkan kematian. Apa bedanya dengan jaman penjajahan?" ucap Yani.
Yani menambahkan kejadian seperti ini juga terus berulang mencerminkan belum maksimalnya penanganan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Sementara itu Fajar dari Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS) Taiwan mengatakan saat ini PMI masih terjajah oleh sistem terutama sistem agensi.
Selain itu, untuk PMI yang bekerja di Taiwan, pekerja sektor domestik rumah tangga masih mengalami diskriminasi, karena tidak masuk ke UU pekerja sektor formal, Fajar menyampaikan.
Hal ini, kata Fajar membuat situasi pekerja sektor domestik semakin rentan dieksploitasi.
"PRT (pekerja rumah tangga) yang belum ada di sektor formal sehingga sulit dilindungi dengan selisih upah 30 persen, hak libur yang masih berdasarkan kesepakatan, dengan jam kerja panjang. Di Taiwan sulitnya pindah majikan juga masih jadi masalah klasik dengan pemaksaan kerja dan biaya berangkat yang membumbung tinggi," kata Fajar.
Melihat situasi ini, Fajar mangajak pekerja migran bersolidaritas dan aktif berorganisasi sehingga langkah-langkah advokasi lebih mudah dilakukan.
Selesai/JC