ABK Indonesia di selatan Taiwan: Butuh tempat ibadah

12/08/2024 17:41(Diperbaharui 13/08/2024 15:12)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Foto untuk ilustrasi semata. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Foto untuk ilustrasi semata. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Kaohsiung, 12 Agu. (CNA) Pekerja migran sektor laut dari Indonesia di selatan Taiwan mengatakan mereka membutuhkan tempat ibadah yang layak serta sarana sanitasi yang baik, sementara juga menyebut pemerintah setempat di Cijin telah membuat musala, tetapi belum bisa diakses karena kunci masuk tak kunjung diberikan.

Nanto, penasihat kelompok pekerja migran sektor laut Paguyuban E’Waliao Laut dan Pabrik, menyebut saat ini sekitar 100 Anak Buah Kapal (ABK) dari Indonesia yang berbasis di pelabuhan E’Waliao harus menggantungkan berjalannya aktivitas kebersihan mereka di atas kapal.

Situasi ini jelas tidak mudah karena terbatasnya sarana yang ada, kata Nanto.

“Jadi kami kalau mandi dan buang air ya terbatas di atas kapal, kalau ada kamar mandi umum kan tentu lebih nyaman,” kata Nanto kepada CNA, Minggu (11/8).

Menurut Nanto, sejak Paguyuban berdiri pada tahun 2020-an, kebutuhan ini sudah mereka sampaikan kepada pihak berwenang, namun hingga saat ini aspirasi tersebut belum kunjung terwujud.

Adapun untuk kebutuhan musala, saat ini secara kolektif para ABK Muslim di E’Waliao menyewa sebuah bangunan dengan biaya NT$5.000 (Rp2.458.610) per bulan, yang sudah termasuk pengeluaran air dan listrik.

Harga ini bisa dipertimbangkan, kata Nanto, namun akan lebih baik jika sudah ada tempat yang khusus difungsikan untuk ibadah.

“Kalau saran dari Pemerintah Kaohsiung, kami mediasi dulu dengan pihak perikanan di E’Waliao dan mengusahakan tempatnya di mana yang akan kami bangun. Dari sana nanti bagaimana tanggapannya, apakah mereka mau memfasilitasi atau enggak,” kata Nanto.

Menurut Nanto, hal lain yang kini jadi perhatian pihaknya adalah memberi pengertian kepada pihak otoritas setempat tentang kebutuhan Muslim di E’Waliao. Soalnya, menurutnya ketidakpahaman ini kerap membuat mereka kesulitan untuk melakukan ibadah apalagi yang skalanya menengah.

“Seperti misalnya perayaan hari besar Islam, kami kan belum pernah diberi izin melakukan kegiatan. Jadi untuk hari raya kami masih harus ke Kaohsiung,” kata Nanto yang berasal dari Brebes, Jawa Tengah ini.

Tidak dikasih kunci

Hal lain terjadi di Pelabuhan Cijin. Nurdin dari Organisasi Pelaut Cijin (OPC) menyebut di tempatnya, pemerintah sudah mendirikan bangunan yang difungsikan khusus sebagai musala.

Namun, entah mengapa sampai saat ini kuncinya tidak pernah diserahkan kepada OPC, kata Nurdin.

“Sudah sekitar tiga bulan sejak bangunan itu selesai, kami tidak pernah pegang kuncinya. Jadi tidak bisa kami gunakan,” kata Nurdin.

Menurut Nurdin, ketidakmampuan ABK selaku pengguna musala mengakses ruang ini menjadi kabar miring dari pihak lain.

“Ada yang bilang sudah dikasih tempat ibadah tetapi tidak dipakai, sedangkan dari kami, ya bagaimana mau dipakai kalau kuncinya tidak ada,” kata ABK dari Indramayu ini.

Sepengetahuan Nurdin, yang membawahi proyek pembangunan musala itu adalah Pemerintah Kaohsiung. Ia pun menyatakan pihaknya berharap agar segera ada solusi sehingga musala tersebut tidak mubazir.

(Oleh Muhammad Irfan)

Selesai/JC

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.