Taipei, 2 Agu. (CNA) Majikan melakukan pelecahan seksual terhadap seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI), anggota Yuan Legislatif (Parlemen Taiwan) menggarisbawahi kekurangan pada peraturan yang ada dan mengkritik Pemerintah Kota (Pemkot) Keelung.
Direktur Pusat Perlindungan Pekerja Migran Serve the People Association (SPA) Taoyuan Hsiao Yi-tsai (蕭以采) bersama anggota Parlemen dari Partai Progresif Demokratik (DPP) Lin Shu-fen (林淑芬) dan Hung Sun-han (洪申翰) hari Jumat (2/8) mengadakan konferensi pers di Gedung Parlemen terkait kekerasan seksual terhadap pekerja perawat migran.
Dalam konferensi pers, pekerja perawat berkewarganegaraan Indonesia yang menjadi korban melalui penerjemah mengatakan ia "Dipukul, diserang secara seksual, tidak diizinkan keluar. Bekerja selama sembilan bulan tanpa gaji. Saya tidak ingin ada korban berikutnya yang seperti saya."
Selama bercerita, ia beberapa kali terisak, sementara beberapa foto kekerasan yang dilakukan pihak majikan turut ditunjukkan.
PMI tersebut mengatakan bahwa setelah majikannya memukulinya, ia disemprot dengan obat yang tidak diketahui asal-usulnya, menyebabkan luka membusuk dan meninggalkan bekas luka.
Majikan PMI tersebut telah dicari sejak 2011 karena kasus penyerangan seksual. Untuk menghindari ditangkap kepolisian, ia tinggal di rumah untuk mengawasi dan mengendalikan pekerja migran tersebut.
Meskipun PMI itu memiliki ponsel, majikannya menggunakan aplikasi penerjemah untuk memantau komunikasinya di aplikasi pesan, dan ia dibawa jika majikannya keluar.
PMI tersebut akhirnya bisa melarikan diri setelah memanfaatkan kesempatan saat majikannya keluar sendirian, dengan meminta bantuan melalui aplikasi pesan.
Lin mengatakan kasus ini sangat tidak bisa diterima dan Pemkot Keelung harus bertanggung jawab.
Berdasarkan peraturan terkait, menurut Lin, majikan harus menyertakan dokumen dan memberi tahu pemerintah daerah untuk mengirimkan petugas ke lokasi kerja dalam waktu tiga hari setelah pekerja migran tiba di Taiwan.
Jika ada tiga kali kunjungan di mana tidak ada orang di rumah, atau jika ada satu kali kunjungan di mana pekerja migran tidak berada di tempat tersebut, maka majikan harus dikirimkan surat untuk diminta memberikan penjelasan kepada pemerintah daerah.
Lin menambahkan bahwa Pemkot Keelung tidak melakukan kunjungan dan hanya melakukan pemeriksaan melalui telepon.
"Sebelum kejadian tidak ada kunjungan, dan setelah kejadian kasus ini ditekan," kata Lin, menambahkan bahwa Pemkot baru akan menangkap buronan tersebut ketika konferensi pers akan diadakan.
Hung mengatakan tragedi ini merusak citra internasional Taiwan.
Hung juga mengingatkan Wali Kota Keelung seharusnya menjalankan tugas pengawasan dan manajemen dengan baik, bukannya malah melindungi pelaku penyerangan seksual dan membiarkan Pemkot lumpuh.
Hung menambahkan bahwa kasus ini menunjukkan adanya kekurangan dalam peraturan yang ada.
Untuk itu, kata Hung, Direktorat Jenderal Pengembangan Tenaga Kerja (WDA), Direktorat Jenderal Kepolisian (NPA), dan Direktorat Jenderal Imigrasi (NIA) harus segera menyusun kembali mekanisme terkait dan memperbaiki kekurangan peraturan.
Kepala salah satu divisi di WDA, Su Yu-kuo (蘇裕國), menyatakan bahwa jika pelaku baru berstatus buronan dan belum mencapai tahap tuntutan, menurut Undang-Undang Layanan Ketenagakerjaan, tidak ada kewenangan untuk mengatur atau menangani masalah tersebut.
Oleh karena itu, menurut Su, MOL akan bekerja sama dengan Parlemen untuk mendorong perubahan undang-undang serta mensosialisasikan saluran bantuan 1955 kepada pekerja migran, dan meminta pemerintah daerah untuk melaksanakan kunjungan lapangan.
(Oleh Lin Ching-yin dan Jason Cahyadi)
Selesai/ ML