Taipei, 2 Des. (CNA) Sebut saja Bunga (33), ia melapor ke salah satu aktivis ketenagakerjaan karena tidak bisa kembali masuk ke Taiwan karena data pada paspor lama dan paspor barunya berbeda. Ternyata Bunga pernah masuk ke Taiwan 15 tahun yang lalu mengubah data dengan cara 'Menuakan' usia demi menjadi pekerja migran, ungkap salah satu aktivis yang tidak mau disebutkan namanya ini.
Aktivis tersebut mengatakan pada CNA bahwa untuk menjadi pekerja migran ke luar negeri, salah satu syaratnya adalah usia yang cukup, yaitu 17 tahun. Bunga pada saat itu hanya berusia 15 tahun, putus sekolah dan ditawari sponsor untuk bekerja ke Arab Saudi. Akhirnya Bunga sempat bekerja di Arab Saudi selama tiga tahun dengan data umur yang dituakan.
Setelah bekerja dari Arab Saudi, Bunga juga ditawari sponsor lain untuk bekerja ke luar negeri kembali sebagai PMI dengan memakai paspor yang ia gunakan ke Arab Saudi. Bunga pun bekerja di taiwan selama enam tahun. Selang satu tahun rehat di kampung halaman, Bunga ingin kembali lagi ke Taiwan menggunakan paspor barunya, tetapi TETO menolak memberikan visa karena ada perbedaan data.
Aktivis tersebut menjelaskan bahwa Bunga saat kembali ke Indonesia sempat membuat e-KTP seumur hidup dengan memperbaharui data-datanya. Bunga memperbaharui data tersebut agar ia dapat memperoleh e-KTP yang baru dan kemudian harus mengubah paspornya. Bunga mendaftar sebagai PMI dengan paspor baru.
Namun, saat Bunga ingin mendapatkan visa dari TETO, malah ditolak karena ada perbedaan data paspor lama dan paspor baru, terutama di tahun kelahiran. Bunga akhirnya tidak bisa kembali ke Taiwan, sambung aktivis tersebut menjelaskan.
Ketika ditanya CNA, apakah Bunga suatu saat bisa kembali ke Taiwan lagi, aktivis tersebut mengatakan hal tersebut sangat sulit bahkan mungkin tidak akan bisa kembali lagi ke Taiwan.
“Kalau Bunga mau kerja jadi PMI lagi, satu-satunya cara ya bekerja ke negara lain selain Taiwan,” ujar aktivis yang berdomisili di Taoyuan ini.
CNA juga menghubungi aktivis lain, Fajar dari Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS). Ia mengungkapkan bahwa polemik kasus PMI yang memalsukan data paspor yang dituakan dikarenakan faktor desakan ekonomi.
“PMI tersebut sebenarnya tidak ada keinginan untuk memalsukan data, hanya saja karena faktor ekonomi yang membuatnya harus kerja ke luar negeri, sehingga mengubah identitas. Saya yakin PMI tersebut juga kurang pengetahuan akan resiko yang akan dihadapinya di masa depan,” ujar Fajar.
Calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang juga memiliki masalah seperti ini, tak hanya kasus umur yang dituakan saja, melainkan juga adanya perbedaan data kartu keluarga (KK), dan juga akte kelahiran, sambung Fajar.
Fajar juga menjelaskan bahwa pernah ada kejadian semenjak tahun 2019 hingga kini kasus tersebut belum tuntas. Kasus yang melibatkan seorang kepala desa dan istrinya yang mempunyai BLK (Balai Latihan Kerja) untuk persiapan menjadi pekerja migran dengan cara memalsukan data CPMI menggunakan data warga desanya.
“Zaman dahulu, dokumen itu mudah sekali diubah, untuk ubah akte kelahiran saja hanya membayar Rp300 ribu saja, kata rekan-rekan CPMI. Sekarang ini semua jadi daring, kalau sudah memperbaiki data susah diubah lagi,” ungkap Fajar sang pelopor demonstrasi di depan MOL pada hari Minggu (24/11) lalu.
Fajar memberikan saran kepada rekan-rekan CPMI agar mengikuti prosedur yang telah ditetapkan jika ingin bekerja ke luar negeri.
“Hati-hati jangan sembarangan merubah dokumen, karena resiko ke depannya pasti ada masalah,” sambung Fajar.
Kasus perubahan data paspor ini juga mencuri perhatian KDEI. Kadir, analis bidang ketenagakerjaan memberikan informasi melalui laman resminya menuliskan mengenai resiko masuk kembali ke Taiwan dengan data yang berbeda.
Kadir mengatakan bila CPMI sebelumnya pernah ke Taiwan dengan paspor lama, kemudian datang lagi dengan paspor baru yang mana terdapat perubahan data (tanggal lahir, nama, tempat lahir), maka kemungkinan akan ditolak masuk Taiwan. Hal tersebut dikategorikan dengan pemalsuan identitas dokumen.
Sebaiknya jangan merubah-rubah data tanggal lahir, nama, tempat lahir karena sesuai UU keimigrasian Taiwan pada pasal 18 ayat 2 – 3 dikatakan bahwa National Immigration Agency (NIA) melarang orang asing masuk ke Taiwan dalam kondisi memiliki paspor atau visa yang diperoleh secara tidak sah, atau dipalsukan dan memiliki paspor orang lain atau paspor yang diajukan dengan menggunakan identitas palsu, tulis Kadir.
Kadir memberikan pesan khususnya melalui CNA kepada CPMI yang akan bekerja ke luar negeri agar menggunakan data yang sebenarnya. Jika menggunakan data palsu tentunya ada implikasi panjang ke depannya, bisa jadi dicekal dan tidak bisa masuk ke tujuan penempatan.
Sementara itu, CNA juga menghubungi Hartoyo Wiwit Notonegoro, analis bidang imigrasi KDEI. Noto panggilan akrab analis imigrasi KDEI tersebut mengatakan bahwa yang bersangkutan biasanya mengganti data paspor lama dengan data baru tujuannya untuk memperbaiki data yang sebenarnya.
Jadi, untuk kasus PMI yang mengubah data paspor, seharusnya pada saat mengajukan visa masuk ke Taiwan, yang bersangkutan harus membawa bukti penggantian data (akta perubahan kelahiran, putusan pengadilan) kemudian pada saat masuk ke Taiwan diharapkan membawa bukti-bukti tersebut sebagai penguat bahwa yang bersangkutan melakukan perubahan data, menurut Noto menjelaskan.