Washington, 29 Juli (CNA) Kegagalan pemungutan suara penarikan massal pada hari Sabtu (26/7) dapat membuat pemerintahan Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa semakin sulit untuk meningkatkan anggaran pertahanan Taiwan, mengingat minoritas legislatifnya, menurut seorang pakar Amerika.
DPP dan kelompok masyarakat sipil tidak berhasil memberhentikan satu pun dari 24 legislator oposisi Kuomintang (KMT) yang mereka targetkan dalam kampanye pemakzulan, yang berarti KMT dan Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang lebih kecil akan tetap mempertahankan mayoritas di badan legislatif.
Dalam balasan email atas pertanyaan CNA, Thomas Shattuck, manajer program senior di Perry World House, University of Pennsylvania, mengatakan hasil tersebut tidak akan mengubah status quo dalam hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Taiwan serta tidak akan banyak memengaruhi hubungan tersebut.
"Pemerintahan Trump kemungkinan akan terus menekan Taipei untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk pertahanan, yang mana Presiden Lai (Ching-te 賴清德) akan lebih sulit melakukannya tanpa mayoritas DPP di Yuan Legislatif," kata Shattuck.
Pada bulan April, John Noh, Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Urusan Keamanan Indo-Pasifik, mengatakan dalam sidang Komite Angkatan Bersenjata DPR bahwa Taiwan telah berjanji untuk menaikkan anggaran pertahanan hingga melebihi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya.
Menurut Noh, Taiwan harus "Melakukan jauh lebih banyak" dalam pengeluaran pertahanan untuk memperkuat kemampuan perang asimetris.
Raymond Kou (郭泓均), kepala Inisiatif Kebijakan Taiwan di lembaga think tank RAND yang berbasis di AS, mengatakan hubungan antara Washington dan Taipei akan ditentukan oleh bagaimana kubu oposisi menanggapi proposal pengeluaran pertahanan pemerintah.
Kuo mengatakan dengan adanya pemilihan lokal yang dijadwalkan pada 2026, beberapa pengamat politik, termasuk peneliti di Institute of Political Science Academia Sinica Nathan Batto, percaya kubu oposisi dapat melunakkan kebijakan dan retorika mereka.
Namun, yang lain berpikir partai oposisi bisa mengambil langkah "scorched earth" untuk semakin menghalangi pemerintahan DPP, kata Kuo.
"Jika partai oposisi melunak, maka masih ada peluang untuk kompromi, khususnya dalam meningkatkan anggaran pertahanan dan kebijakan luar negeri. Itu akan sejalan dengan prioritas AS, terutama dalam meningkatkan pertahanan konvensional dan ketahanan seluruh masyarakat."
"Namun, jika partai oposisi tidak melunak, maka kita akan menghadapi periode kebuntuan yang berkepanjangan," kata Kuo.
"Saya memperkirakan anggaran pertahanan akan tetap di bawah 3 persen dari PDB, kecuali pemerintahan Lai mengalah pada prioritas domestik yang signifikan."
Jika gagal menaikkan anggaran pertahanan, kata Kuo, Taiwan dapat menghentikan sementara beberapa program militer, seperti rencana kapal selam dalam negeri, untuk memprioritaskan area lain yang dapat meningkatkan pertahanan asimetris.
"Bagaimanapun juga, ini membuat Taiwan secara keseluruhan lebih sulit untuk menunjukkan kepada Washington bahwa mereka benar-benar serius dengan keamanannya, yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan di AS tentang sikap dan komitmennya," kata Kuo.
Anggaran pertahanan DPP tahun 2025 mengusulkan kenaikan 6,6 persen dalam pengeluaran pertahanan menjadi NT$647 miliar (Rp 356 triliun), atau sekitar 2,5 persen dari PDB.
Oposisi hanya memangkas anggaran sekitar 1,2 persen, tetapi membekukan sekitar NT$90 miliar sambil menunggu tindakan pemerintah.
Pada 2024, DPP yang berkuasa mempertahankan kursi kepresidenan dengan kemenangan Lai dalam pemilu, tetapi kehilangan mayoritas di Yuan Legislatif.
KMT memegang 52 kursi, sementara DPP memiliki 51 dan Partai Rakyat Taiwan (TPP) delapan. Dua anggota independen bersekutu dengan KMT, yang sering bekerja sama dengan TPP untuk meloloskan rancangan undang-undang yang diinginkan, sehingga menuai kritik dari DPP dan membuka jalan bagi pemungutan suara recall massal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tujuh legislator KMT lainnya akan menghadapi recall pada 23 Agustus.
Selesai/ML