Taipei, 13 Mar. (CNA) Greenpeace Indonesia dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Rabu (12/3) menyatakan solidaritas serta dukungan penuh terhadap sekelompok anak buah kapal (ABK) migran Indonesia yang menggugat perusahaan asal Amerika Serikat, Bumble Bee Foods, yang berafiliasi dengan sebuah perusahaan Taiwan.
Dalam pernyataan yang diterima CNA, Fildza Nabila Avianti, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, menyatakan bahwa secara global, industri makanan laut bernilai lebih dari US$350 miliar (Rp5,721 kuadriliun).
Perusahaan Taiwan Fong Chun Formosa (FCF), salah satu pihak yang punya andil di Bumble Bee Seafoods, bagian dari perusahaan induk Bumble Bee Foods di AS, tercatat memiliki pendapatan tahunan sebesar US$1 miliar, ia mencatat.
Namun, kendati pendapatan bernilai luar biasa tersebut, ABK migran Indonesia di kapal penangkap ikan Taiwan dilaporkan dijanjikan gaji sebesar US$400-600 per bulan, yang kerap dipotong besar-besaran bahkan tidak pernah mereka terima, menurut laporan Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI tahun 2024.
Tak heran kalau gugatan yang dilayangkan kelompok nelayan ini dilandaskan pada UU tentang Reautorisasi Pelindungan Korban Perdagangan Manusia (TVPRA), yang menyoroti dugaan kerja paksa dan perdagangan orang yang dialami para penggugat, yang terjadi selama mereka bekerja di kapal penangkap ikan tuna, yang hasil tangkapannya dijual Bumble Bee Foods di AS, menurut Fildza.
"Dalam gugatan ini, Bumble Bee Foods diduga tahu atau semestinya mengetahui tentang kondisi yang dialami para nelayan migran, tetapi secara sadar mendapat keuntungan dari praktik kerja paksa serta perdagangan orang," ujarnya.
Jaringan kantor Greenpeace di beberapa negara telah lama memeringatkan soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di industri perikanan skala besar. Selain itu, laporan Greenpeace Asia Tenggara berkolaborasi dengan SBMI tersebut juga menyoroti dampak lingkungan yang luas akibat praktik industri ini.
"Maka dari itu, pelindungan terhadap ekosistem laut tidak bisa dipisahkan dengan pelindungan hak asasi terhadap para pekerja di sektor laut, dalam hal ini nelayan atau AKP migran. Perlu ada perubahan sistem yang menyeluruh dan Indonesia punya peluang untuk menjadi pelopor dalam hal tersebut," kata Fildza.
"Apabila Indonesia berkomitmen membenahi tata kelola perekrutan dan penempatan AKP migran serta meningkatkan pengawasan, implikasi yang kita harapkan adalah terwujudnya rantai pasok industri perikanan yang lebih transparan dan pelindungan laut yang lebih baik," tambahnya.
Dugaan kerja paksa yang diperinci dalam gugatan meliputi kekerasan fisik dan emosional, cedera parah yang tidak diobati hingga menyebabkan kecacatan, jeratan utang, jam kerja berlebih dan gaji yang tidak dibayar, serta ancaman finansial terhadap keluarga korban.
Fildza meyakini gugatan ini sebagai yang pertama terhadap industri seafood di AS berdasarkan TVPRA.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI menilai keberanian para nelayan migran ini menjadi momen bersejarah bagi perjuangan penegakan keadilan bagi ABK migran Indonesia yang rentan terhadap eksploitasi dalam rantai pasok industri perikanan global.
Sejak beberapa waktu silam, kedua organisasi tersebut telah menerbitkan serangkaian hasil investigasi mendalam dan melakukan berbagai upaya untuk mendorong perbaikan regulasi yang berkaitan dengan pelindungan ABK migran Indonesia.
"Berkaca dari laporan-laporan yang SBMI tangani, ABK migran menghadapi dugaan praktik kerja paksa sejak sebelum keberangkatan, selama bekerja di atas kapal, hingga setelah mereka pulang ke Indonesia," kata Hariyanto.
"Proses perekrutan yang eksploitatif menjadi salah satu akar permasalahan utama–biaya tinggi yang tidak transparan, praktik penampungan tidak manusiawi, serta berbagai tipu daya berupa janji-janji menggiurkan, penipuan dan pemalsuan dokumen, yang berujung pada berbagai bentuk eksploitasi fisik, tenaga kerja, dan ekonomi," kata dia.
Sepanjang 2010-2024, SBMI menerima dan menangani 943 aduan dari ABK migran. Pada 2024, terdapat 196 kasus yang dilaporkan dengan permasalahan utama meliputi dugaan kerja paksa dan perdagangan orang berupa gaji ditahan/tidak dibayar, jeratan utang, kekerasan, pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, pembatalan keberangkatan, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Menurut Hariyanto, eksploitasi yang dialami para ABK migran ini kerap berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka, lanjutnya, menjadi sangat penting untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang diduga meraup keuntungan dari tindakan tidak manusiawi yang mengorbankan hak asasi ABK migran ini.
Selesai/JC