Taipei, 15 Des. (CNA) Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) mendesak pemerintah Taiwan untuk memperlakukan pekerja sektor rumah tangga secara setara baik dalam upah dan hak libur dengan pekerja sektor formal, tuntutan disampaikan dalam rangka Hari Migran Internasional yang diperingati setiap tanggal 18 Desember.
Dalam aksi yang digelar di Taipei Main Station (TMS), Minggu (15/12), Ayu, seorang aktivis SBIPT menyampaikan, setiap hari, PMI sektor rumah tangga menjaga rumah tangga, merawat anak-anak, mendampingi orang tua lanjut usia, dan memberikan dukungan penuh terhadap keluarga majikan, namun upah yang diterima tidak sesuai.
Sebagai perbandingan, pekerja rumah tangga yang masuk sektor informal hanya mendapat upah NT$20.000 (Rp9.807.812), sementara sektor formal yang berada di bawah UU Standar Ketenagakerjaan Taiwan mendapat upah setara dengan upah minimum Taiwan yang berkisar di angka NT$27.000
“Sementara biaya hidup yang terus meningkat, baik di Taiwan maupun di negara asal kami yang membuat upah yang saat ini sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk menabung demi masa depan,” kata Ayu.
Oleh karena itu, pihaknya berkumpul saat ini untuk menyatakan pendapat mereka. Menurut Ayu, sudah saatnya pekerja rumah tangga mendapatkan gaji yang adil dan layak.
“Kepada para pengambil kebijakan dan pihak yang berwenang di Taiwan, kami meminta dengan tegas: dengarkan suara kami. Naikkan gaji pekerja rumah tangga sehingga kami dapat hidup dengan layak, memenuhi kebutuhan keluarga kami di tanah air, dan merasakan penghargaan atas kerja keras kami,” ucap Ayu.
Hak libur
Sementara itu, Aan, aktivis SBIPT yang lain, menyoroti pentingnya hak libur bagi pekerja sektor informal. Menurut Aan, hari libur adalah hak dasar yang bukan hanya tentang istirahat fisik, tetapi juga tentang waktu untuk memulihkan kesehatan mental, menjalin hubungan sosial, dan menjalani kehidupan yang seimbang.
Dalam wawancara CNA dengan sejumlah pekerja sektor rumah tangga di TMS, banyak dari mereka mengaku hanya dapat libur 12 jam dalam sebulan.
“Tanpa hari libur yang layak, kita tidak hanya menghadapi kelelahan fisik, tetapi juga risiko stres, isolasi, dan kehilangan identitas diri,” kata Aan.
Menurut Aan, UU ketenagakerjaan di Taiwan telah memberikan jaminan hari libur kepada pekerja formal, namun pekerja rumah tangga sering kali berada dalam situasi yang berbeda karena statusnya dianggap sebagai pekerja informal.
“Apakah ini adil? Apakah kerja kita kurang penting dibandingkan pekerja lainnya? Tentu saja tidak,” kata Aan lantang.
Selain itu, SBIPT juga menyerukan bahwa pada setiap hari libur nasional yang berlaku di Taiwan, pekerja rumah tangga harus turut mendapatkan libur.
Menurut Aan, ini adalah bentuk penghormatan terhadap kontribusi pekerja dan juga sebagai upaya untuk memberikan kesempatan bagi kita untuk beristirahat bersama komunitas atau bahkan merayakan momen penting yang juga memiliki makna bagi mereka.
“Hari libur nasional tidak hanya penting bagi warga lokal, tetapi juga bagi kita yang bekerja jauh dari keluarga dan tanah air. Hari ini, kita tidak hanya meminta, tetapi juga menyerukan kepada para pengambil kebijakan di Taiwan untuk mendengar suara kita. Kami adalah pekerja yang berkontribusi besar terhadap masyarakat Taiwan. Kami adalah manusia yang memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperlakukan dengan adil,” kata dia.
Tuntutan SBIPT
Dalam aksi tersebut, SBIPT juga merangkum tuntutannya untuk hari migran internasional nanti, di antaranya harus melindungi hak-hak dasar PRT Taiwan, termasuk hak atas upah yang layak, waktu istirahat yang cukup, serta perlindungan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
Mereka juga meminta pemerintah mendorong reformasi hukum yang lebih baik bagi pekerja migran, yang memastikan perlindungan hukum yang setara antara pekerja domestik dan pekerja lainnya, tanpa ada diskriminasi.
Selain itu, mereka menuntut peningkatkan kesadaran masyarakat akan peran penting PRT dalam masyarakat Taiwan, dan memberikan penghargaan yang pantas kepada mereka sebagai manusia yang memiliki hak yang sama untuk hidup dengan martabat.
“Kita tidak bisa lagi membiarkan ketidakadilan terus terjadi. Setiap pekerja, tanpa memandang asal usul, etnis, atau statusnya, berhak untuk diperlakukan dengan hormat. PRT Taiwan adalah pejuang yang tidak terlihat, yang bekerja keras di balik layar untuk menciptakan kesejahteraan. Mereka adalah bagian dari keluarga besar kita, dan kita harus berdiri bersama mereka untuk memastikan masa depan yang lebih baik,” kata Icha.
Selesai/JC