Taipei, 4 Jun. (CNA) Seorang mantan perwira di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok yang menyaksikan dampak langsung pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989 memperingatkan bahwa Taiwan bisa menghadapi nasib serupa jika Tiongkok mencoba menyatukan pulau itu dengan kekerasan.
Li Xiaoming (李曉明), yang dikerahkan ke Beijing sebagai perwira muda selama penindasan tersebut, mengatakan bahwa rakyat Taiwan harus mempelajari peristiwa itu secara cermat, karena menjadi gambaran apa yang dapat dilakukan Beijing untuk menekan perbedaan pendapat.
"Apa yang terjadi di Lapangan Tiananmen bisa terjadi juga di Taiwan," kata Li kepada CNA dalam sebuah wawancara pada 22 Mei, menjelang peringatan 36 tahun pembantaian tersebut.
"Jika mahasiswa atau pemuda Taiwan turun ke jalan untuk memprotes, Partai Komunis Tiongkok (CCP) bisa merespons dengan cara yang sama seperti pada 4 Juni 1989 -- dengan tank dan senapan mesin."
Penindasan
Pembantaian Lapangan Tiananmen terjadi pada malam 3 Juni dan berlanjut hingga dini hari 4 Juni 1989, setelah berminggu-minggu aksi protes damai yang dipimpin mahasiswa menuntut reformasi demokrasi, kebebasan pers dan kebebasan berbicara, serta tuntutan lainnya.
Militer Tiongkok bergerak dengan tank dan peluru tajam untuk mengosongkan lapangan, menewaskan ratusan — bahkan kemungkinan ribuan — warga sipil tak bersenjata, menurut dokumen pemerintah AS yang telah dideklasifikasi.
Meski mengejutkan dunia, peristiwa tersebut tetap menjadi topik tabu di Tiongkok.
Saat itu, Li bertugas di timur laut Tiongkok sebagai kepala stasiun radar di bawah Korps Tentara ke-39 PLA, satu tahun setelah lulus dari akademi militer. Pada 20 Mei, unitnya diperintahkan ke Beijing untuk melindungi kedutaan asing di dekat lapangan.
Sebagai salah satu unit elit PLA, pasukan Li diharapkan menjadi yang pertama memasuki Tiananmen dan melaksanakan apa yang disebut sebagai "Misi evakuasi." Namun pada malam 3 Juni, komandan mereka Xu Feng (許峰) kembali dari pengintaian dan melaporkan telah melihat tentara menembaki pengunjuk rasa.
Li percaya bahwa Xu mengalami krisis moral dan sengaja menunda pergerakan pasukan. Akibatnya, mereka tetap berada di pinggiran Beijing dan tidak ikut dalam serangan utama.
Ketika akhirnya masuk ke lapangan pada pagi 5 Juni, Li dan rekan-rekannya tidak melihat jenazah — hanya tumpukan sampah, pakaian berlumuran darah, celana berlubang peluru, dan jejak roda tank.
Memecah Keheningan
Li (61) mengatakan ia merasa terdorong untuk berbicara karena pembantaian Tiananmen bukan hanya momen penting dalam sejarah Tiongkok, tetapi juga peringatan bagi dunia. "Sebagai anggota militer Tiongkok, saya merasa saya memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengatakan kebenaran tentang apa yang terjadi," katanya.
Meski banyak mantan demonstran dan warga sipil telah membagikan kisah mereka, Li mengatakan dirinya tetap menjadi satu-satunya mantan tentara PLA yang berbicara secara terbuka.
Setelah menerima suaka pada awal 2000-an, Li menjadi warga negara Australia. Ia pertama kali membagikan kisahnya pada sebuah acara tahun 2002 di New York yang diselenggarakan oleh LSM Hak Asasi Manusia di Tiongkok.
"Banyak mantan demonstran mahasiswa telah berbicara. Tapi sejauh ini, saya satu-satunya mantan tentara yang melakukan hal yang sama," katanya.
Ingatan yang Disensor
Meski rekaman pembantaian disiarkan luas saat itu, pembicaraan tentang peristiwa tersebut sangat dibatasi di Tiongkok. Li mengatakan wajar jika warga di dalam negeri tidak tahu apa yang terjadi, mengingat sensor ketat dan kurangnya akses ke informasi independen.
Namun yang lebih mengganggunya adalah warga Tiongkok di luar negeri yang tahu fakta-fakta tersebut namun tetap membela tindakan CCP.
"Memiliki pendapat politik yang berbeda adalah hal yang normal dalam demokrasi," kata Li. "Tetapi di hadapan fakta, jika Anda bisa melihat kebenaran dan masih memuji atau membela penindasan brutal CCP, maka menurut saya Anda tidak punya rasa kemanusiaan -- lebih buruk dari binatang. Itu pandangan pribadi saya."
Ia mengatakan bahwa para pemimpin Tiongkok mengambil pelajaran penting dari Tiananmen: mempertahankan kendali penuh atas militer dan menekan ancaman sejak dini.
"Rezim menyadari bahwa selama mereka mengendalikan militer, mereka bisa melindungi diri sendiri," kata Li. "Itulah sebabnya Tiongkok sekarang menghabiskan lebih banyak untuk 'pemeliharaan stabilitas' domestik daripada untuk pertahanan nasional."
Peringatan untuk Taiwan
Li pernah mengunjungi Taiwan pada 2019 untuk menghadiri peringatan 30 tahun tragedi Tiananmen, dan bertemu Presiden saat itu, Tsai Ing-wen (蔡英文). Ia memuji Tsai dan pemerintahannya karena membawa perhatian internasional terhadap tantangan keamanan Taiwan.
"Kita perlu membawa isu Taiwan ke panggung dunia," katanya. "Hanya dengan menginternasionalisasikannya, keamanan Taiwan bisa terjamin."
Ketika ditanya mengapa rakyat Taiwan harus peduli dengan pembantaian itu, Li mengatakan peristiwa Juni 1989 bukan hanya bagian dari sejarah Tiongkok -- tetapi juga potensi gambaran tentang apa yang bisa terjadi di masa depan Taiwan.
Ancaman yang dihadapi Taiwan dari Tiongkok kini bukan lagi sekadar retorika -- sekarang didukung oleh kekuatan militer, kata Li, memperingatkan bahwa jika Tiongkok menyatukan Taiwan dengan kekerasan atau cara lain, mereka akan memberlakukan aturan otoriter yang sama di pulau itu.
"Tujuan dari menoleh ke belakang adalah agar tragedi semacam itu tidak terulang lagi."
Selesai/JA