Jakarta, 30 Agu. (CNA) Tim Sukarelawan Internasional National Tsing Hua University (NTHU) baru-baru ini melakukan penelitian lapangan selama 3 hari di pecinan Jakarta, mengunjungi kuil-kuil Tionghoa untuk mempelajari sejarahnya dan membuat peta digital dengan informasi dwibahasa yang bisa digunakan wisatawan.
Tim Sukarelawan Internasional NTHU mengunjungi Pecinan Glodok di Jakarta pada akhir Agustus untuk memahami lebih dalam sejarah warga Tionghoa di sana, termasuk kuil dan budaya Tionghoa.
Dengan keahlian mereka, para relawan membuat peta digital berisi informasi sejarah untuk membantu komunitas lokal melestarikan warisan budaya mereka.
Tim relawan ini terdiri dari dua belas mahasiswa NTHU dari berbagai jurusan, termasuk pendidikan, seni, dan bahasa asing. Pada pertengahan Agustus, mereka dipimpin guru pembimbing, Wang Li-lan (王麗蘭), untuk melakukan layanan relawan di Jakarta.
Wang mengatakan kepada CNA, informasi tentang pecinan Jakarta di peta daring masih kurang lengkap, terutama terkait latar belakang budaya dan cara kerja kuil-kuil Tionghoa. "Sebagian besar informasi mengenai kuil-kuil, seperti detail tentang umat dan ritual, kurang jelas karena sering dianggap hanya sebagai tempat wisata," ujar Wang.
Wang percaya mahasiswa Taiwan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk membantu Indonesia melestarikan warisan budaya dan menerapkan konsep kota berkelanjutan, serta memperdalam pemahaman mereka tentang Indonesia melalui interaksi, dan memperkenalkan keunikan budaya Indonesia kepada orang Taiwan.
Anggota tim relawan, Chang Shan-yuen (張善源), mengatakan kepada CNA bahwa ia menemukan pecinan Jakarta berbeda dengan di Malaysia atau Thailand, di mana jarang terlihat tulisan dalam bahasa Tionghoa.
Selain itu, kata Chang, informasi tentang kuil-kuil di pecinan juga sangat kurang.
Chang menyebutkan bahwa setelah warga Tionghoa setempat mengetahui tim relawan tersebut akan membuat peta dua bahasa, mereka sangat antusias berbagi banyak cerita sejarah yang berharga. Peta yang sudah selesai akan diunggah ke internet untuk konsumsi publik.
Anggota tim relawan lain yang baru mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya, Lee Keng-ling (李庚陵), mengatakan sebelumnya ia memiliki kesan bahwa Indonesia adalah negara yang tertinggal, hanya karena gambaran pekerja rumah tangga atau pekerja migran.
Namun, kata Lee, setelah perjalanan ini, ia menyadari bahwa kenyataan yang ada rupanya berbeda dari apa yang ia bayangkan, menghancurkan stereotip yang ia miliki sebelumnya.
Wang menyatakan bahwa masyarakat Taiwan sangat bergantung pada pekerja rumah tangga asal Indonesia, tetapi orang Indonesia bagi orang Taiwan ibarat "Keluarga yang paling asing," di mana ada jarak dan kurangnya pemahaman terhadap komunitas dan budaya Indonesia.
Wang berharap generasi muda Taiwan dapat mendekatkan jarak antara Taiwan dan Indonesia dengan cara yang lebih inovatif.
(Oleh Zachary Lee dan Jason Cahyadi)
Selesai/JA